,

Ekspansi Sawit di Riau: Permintaan Pasar Dunia Rampas Hutan Rakyat

Kasus konflik lahan dan penyerobotan hutan rakyat di desa Kuala Cenaku dan Kuala Mulia, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau oleh PT Duta Palma untuk membangun perkebunan kelapa sawit, sudah dilakukan secara berkala sejak 2006 silam. Saat itu, area sepanjang 11 km dari tepian sungai Kuala Cenaku hingga ke perbatasan desa Pancur, diklaim secara sepihak oleh PT Duta Palma berbekal surat Izin Usaha yang dikeluarkan oleh Bupati Indragiri Hulu, namun belum melalui prosedur Amdal, dan mendapat izin pelepasan hutan menjadi kawasan non-hutan dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Dari pengambilan area seluas 10.000 hektar secara ilegal itu, masyarakat di kedua desa mendapat ganti lahan seluas 850 hektar, dengan perincian 450 hektar untuk desa Kuala Cenaku, dan 400 hektar untuk Kuala Mulia. Sialnya, warga mendapat pergantian lahan di bukan area desa mereka. Lahan yang diberikan ini, selain wajib ditanami sawit, juga terletak di area konflik perbatasan antara Desa Pancur dan Desa Penyaguan, yang berada di wilayah Indragiri Hilir, bukan Indragiri Hulu.

Akibat klaim Duta Palma, warga kini kehilangan akses masuk ke wilayah yang dulu hutan rakyat, kehilangan penghasilan dari hasil hutan, kehilangan sumber protein berupa ikan di sungai setelah tercemar limbah pabrk, dan kehilangan penghasilan dari perdagangan ikan serta udang air tawar. Tentu saja, yang terburuk adalah hilangnya hutan milik mereka seluas 10.000 hektar yang tidak mungkin kembali.

Syafii dan Jasmunir, warga desa yang kehilangan lahan mereka akibat penyerobotan lahan. Foto: Aji Wihardandi

“Saat perusahaan (sawit) masuk, digundul hutan kami, ditanami sawit, dan dipupuklah dengan entah apa itu, jadi air limbah ini mengalir ke sungai dan membuat ikan-ikan mati. Limbah inilah yang mengalir ke sungai Cenaku dan sungai sekitar kami,” ungkap Syafii, salah satu warga desa Kuala Cenaku.

Mengapa Duta Palma begitu agresif memakan lahan-lahan rakyat di Riau? Jawaban yang paling jelas tentu saja, karena tingginya permintaan pasar terhadap minyak kelapa sawit. Dengan status sebagai negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia kini memiliki lebih dari 8 juta hektar lahan di seluruh wilayah tanah air. Propinsi Riau, tercatat sebagai propinsi dengan perkebunan sawit terbesar di Indonesia, dengan 1.5 juta hektar.

Aksi Duta Palma merebut hutan rakyat di Indragiri Hulu, adalah sebuah potret remuknya tata guna lahan di tanah air. Ketidaksinkronan RTRW di berbagai level pemerintahan, menjadi penyakit yang justru memakan korban rakyat di tingkat akar. Kemudian tindakan pembabatan hutan dan membuka perkebunan tanpa melalui prosedur yang semestinya, adalah potret bahwa akumulasi modal bisa melewati berbagai regulasi yang harus dipenuhi, tanpa memikirkan keberlanjutan dalam proses kerja perkebunan.

Laporan dari Greenpeace menunjukkan bahwa Duta Palma, salah satu perusahaan sawit terbesar dan merupakan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) masih terus saja menghancurkan hutan hujan, lahan gambut, dan kehidupan penduduk lokal. Selama bulan Mei dan November 2011, Greenpeace melakukan analisa data satelit dari 1/5/2007 dan 20/7/2010 dan juga melakukan investigasi di lapangan, yang baru-baru ini teridentifikasi ada hutan dan lahan gambut yang dirusak oleh Duta Palma.

Indonesia, sejak tahun 2010 hingga saat ini mengekspor sekitar 18 hingga 19 juta metrik ton minyak kelapa sawit ke suluruh dunia, berdasar data dari United States Department of Agriculture. Pasar terbesar yang dituju adalah India, Cina dan Uni Eropa. India sendiri, berdasar data yang sama, mengimpor sekitar 7.7 juta metrik ton, dimana 5.8 juta metrik ton adalah dari Indonesia. Duta Palma adalah salah satu eksportir langsung maupun tidak langsung ke India.

Sejauh ini, tidak ada perusahaan India yang telah membuat komitmen untuk memastikan bahwa mereka tidak membeli kelapa sawit dari perusahaan memiliki jejak deforestasi. Sebagai aksi global untuk menangani kerusakan hutan untuk kelapa sawit dan komoditas lainnya dimulai dengan pembeli terbesar, perusahaan India juga memiliki posisi untuk menggunakan kekuatan pasar mereka untuk menekan pemasok minyak sawit mereka agar bertindak lebih konsisten dan lebih kuat untuk mencegah perusakan hutan dan lahan gambut. Upaya ini akan membantu mencegah perubahan iklim yang lebih berbahaya, yang sudah memiliki dampak yang signifikan di India dan seluruh dunia.

Buah sawit. Foto: AjI Wihardandi

Industri besar India seperti Ruchi Soya, Adani-Wilmar, ITC, Britannia, Godrej dan Parle, bersama dengan beberapa perusahaan global terbesar yang beroperasi di India, termasuk YUM! Group Kentucky Fried Chicken (KFC), PepsiCo, Louis Dreyfus dan Cargill, serta Pemerintah India, harus melakukan lebih banyak untuk memastikan bahwa mereka tidak membeli minyak kelapa sawit yang terkait dengan perusakan hutan.

“Keengganan dari pembeli minyak sawit India untuk membersihkan rantai suplai mereka dari deforestasi justru meletakkan mereka pada risiko dan berkontribusi terhadap perusakan salah satu hutan hujan tropis terkaya dunia, membahayakan habitat harimau sumatera dan orangutan, mata pencaharian penduduk lokal yang bergantung pada hutan, dan iklim global, “ kata Nandikesh Sivalingam, Jurukampanye Hutan Greenpeace India dalam rilis medianya.

Laporan Greenpeace India mengungkapkan bahwa minyak sawit Duta Palma diketahui dipakai pada beberapa produk sepertri ITC, Parle, Britannia melalui importir mereka Ruchi Soya.

Menghentikan impor kelapa sawit dari Indonesia, dan memastikan para pebisnis kelapa sawit melakukan prosedur yang baik dan ramah lingkungan, akan memberi dampak signifikan bagi kelangsungan hutan hujan tropis di Indonesia. Menjaga habitat bagi spesies-spesies langka dan terancam punah, dan yang terpenting, menghentikan laju deforestasi dan penyerobotan lahan dan hutan rakyat di berbagai wilayah Indonesia.

“Perusahaan India memiliki kekuatan pasar untuk menekan pemasok sawit mereka agar tidak merusak hutan dan lahan gambut dalam perkebunan mereka,” kata Iqbal Abisaputra, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Sejumlah perusahan global termasuk Nestle dan Unilever telah memperkenalkan kebijakan sumber bahan baku untuk mengatasi deforestasi untuk komoditas seperti kelapa sawit, tetapi anehnya perusahaan-perusahaan India justru menarik diri.

“Kami telah berdialog dengan perusahaan India untuk waktu yang lama, tapi tidak satu pun dari mereka telah membuat komitmen substansial untuk menghentikan sumber minyak kelapa sawit terkait dengan perusakan hutan Indonesia. Kami mendesak perusahaan India untuk memenuhi tanggung jawab mereka untuk menerapkan kebijakan tersebut sebelum terlambat,” tambah Sivalingam.

DPRD Kabupaten Indragiri Hulu sendiri, melalui Pansus Kasus Duta Palma ini telah merekomendasikan penghentian sementara operasi perkebunan sawit dan segala bentuk aktivitas mereka, hingga menyelesaikan kewajiban mereka terhadap rakyat yang kehilangan lahan. “Jika mereka tidak memenuhi kewajiban, dan megikuti peraturan yang ada, terpaksa kami akan merekomendasikan untuk mencabut izin mereka,” ungkap Suradji, Ketua Pansus Duta Palma kepada Mongabay Indonesia.

Hewan liar, semakin sulit ditemui di Riau setelah habitat mereka digerus perkebunan sawit. Foto: Aji Wihardandi

Tekanan terhadap rakyat di tingkat akar di beberapa wilayah Indonesia, harus diakui, adalah bagian dari sebuah rantai raksasa perdagangan global. Tingginya permintaan terhadap komoditi, dan keengganan untuk membeli produk yang memiliki catatan yang baik dari proses produksinya, membuat lingkaran setan konflik pertanahan dan penyerobotan hutan rakyat di Indonesia terus terjadi. Dari catatan USDA, pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir adalah 7 juta metrik ton, bandingkan dengan Malaysia yang dalam 5 tahun terakhir hanya menambah sekiar 1.7 juta metrik ton produksi mereka.

Tingginya target yang dipasang negara demi memenuhi devisa, sekali lagi, berbanding terbalik degan fitrah keberadaan negara yang bertugas memenuhi hak rakyat untuk hidup sejahtera. Pertumbuhan ekonomi dan tingginya nilai ekspor komoditi, harus dibayar mahal dengan hilangnya hak hidup dan akses masyarakat terhadap tanah mereka sendiri.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,