Greenpeace: Impor Kelapa Sawit India Hancurkan Hutan Indonesia

Indonesia kini adalah produsen terbesar kelapa sawit di dunia dengan jumlah total 27 juta metrik ton setiap tahun, dari jumlah tersebut 19,1 juta metrik ton diekspor ke seluruh penjuru dunia. Jauh di atas Malaysia, sebagai produsen kedua terbesar, dengan 16.9 juta metrik ton.

Pasar terbesar Indonesia saat ini, adalah India, disusul oleh Cina dan Uni Eropa.  India membeli tak kurang dari 5.8 juta metrik ton kelapa sawit Indonesia setiap tahun, dari keseluruhan total impor India sejumlah 7.2 juta metrik ton.  Namun sayang, India hingga kini masih belum berkomitmen untuk mau membeli minyak kelapa sawit dari perusahaan-perusahaan di Indonesia yang ramah lingkungan dan melakukan prosedur yang benar dalam proses produksi mereka.

“Keengganan dari pembeli minyak sawit India untuk membersihkan rantai suplai mereka dari deforestasi justru meletakkan merek mereka pada risiko dan berkontribusi terhadap perusakan salah satu hutan hujan tropis terkaya dunia, membahayakan habitat harimau sumatera dan orangutan, mata pencaharian penduduk lokal yang bergantung pada hutan, dan iklim global, “ kata Nandikesh Sivalingam, Jurukampanye Hutan Greenpeace India.

Produk kelapa sawit digunakan oleh berbagai perusahaan besar yang beroperasi di India, diantaranya adalah Ruchi Soya, Adani-Wilmar, ITC, Britannia, Godrej dan Parle, bersama dengan beberapa perusahaan global terbesar yang beroperasi di India, termasuk YUM! Group Kentucky Fried Chicken (KFC), PepsiCo, Louis Dreyfus dan Cargill.

Salah satu eksportir besar bagi pasar India adalah perusahaan PT Duta Palma, yang beroperasi di Propinsi Riau dan pulau Kalimantan. Duta Palma sendiri, hingga kini masih banyak terlibat berbagai masalah dalam proses produksi maupun pembukaan perkebunan kelapa sawit mereka. Terutama di Propinsi Riau.

Perusahaan ini masih bersengketa dengan masyarakat di dua desa di Kabupaten Indragiri Hulu, yaitu desa Kuala Cenaku dan Kuala Mulia, setelah mereka membuka hutan rakyat di dua desa tersebut tanpa izin yang legal dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Lahan seluas 10 ribu hektar ini, kini masih dihentikan izin operasinya atas rekomendasi Pansus Duta Palma DPRD Indragiri Hulu.

“Jika Duta Palma tidak menyelesaikan perselisihan tanah ini dan mengembalikan lahan kepada rakyat sesuai perjanjian mereka, yaitu 850 hektar bagi kedua desa tersebut, maka dengan terpaksa izin mereka untuk beroperasi harus dicabut,” ucap Ketua Pansus Duta Palma, Suradji kepada Mongabay Indonesia.

Tekanan kepada pembeli terbesar sawit Indonesia, terutama mitra bisnis Duta Palma di India, diyakini bisa menekan tingkat kerusakan hutan Indonesia dan menekan angka penyerobotan lahan rakyat oleh perusahaan ini.

Sayangnya sejauh ini, tidak ada perusahaan India yang telah membuat komitmen untuk memastikan bahwa mereka tidak memiliki jejak deforestasi. Sebagai aksi global untuk menangani kerusakan hutan untuk kelapa sawit dan komoditas lainnya dimulai dengan pembeli terbesar, perusahaan India juga memiliki posisi untuk menggunakan kekuatan pasar mereka untuk menekan pemasok minyak sawit mereka agar bertindak lebih konsisten dan lebih kuat untuk mencegah perusakan hutan dan lahan gambut. Ini akan membantu mencegah perubahan iklim yang lebih berbahaya, yang sudah memiliki dampak yang signifikan di India dan seluruh dunia.

“Perusahaan India memiliki kekuatan pasar untuk menekan pemasok sawit mereka agar tidak merusak hutan dan lahan gambut dalam perkebunan mereka,” kata  Iqbal Abisaputra, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Sejumlah perusahan global termasuk Nestle dan Unilever telah memperkenalkan kebijakan sumber bahan baku untuk mengatasi deforestasi untuk komoditas seperti kelapa sawit, tetapi perusahaan-perusahaan India menarik diri.

“Kami telah berdialog dengan perusahaan India untuk waktu yang lama, tapi tidak satu pun dari mereka telah membuat komitmen substansial untuk menghentikan sumber minyak kelapa sawit terkait dengan perusakan hutan Indonesia. Kami mendesak perusahaan India untuk memenuhi tanggung jawab mereka untuk menerapkan kebijakan tersebut sebelum terlambat,” tambah Sivalingam.

Perkebunan sawit di Indragiri Hulu. Propinsi Riau adalah propinsi dengan perkebunan sawit terbesar di Indonesia dengan 1.4 juta hektar lahan. Foto: Aji Wihardandi

Lewat media rilisnya, organisasi lingkungan Greenpeace meminta agar India bertindak untuk menangani perubahan iklim dengan menghentikan perusakan hutan di Indonesia, lewat desakan kepada produsen mereka di Indonesia untuk mengambil kebijakan nol deforestasi, serta meminta agar India menghentikan bisnis dengan pemasok yang tidak melakukan praktek tidak lestari di lapangan.

Dalam tuntutannya, Greenpeace juga meminta agar perusahaan-perusahaan India Menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal melalui pengimplementasian Free and Prior Informed Consent (FPIC) dari masyarakat adat dan masyarakat lain pengguna hutan tradisional, serta partisipasi masyarakat lokal dalam semua keputusan pada pembangunan dan aktivitas; Juga menetapkan penelusuran rantai pasokan dan sistem segregasi, termasuk verifikasi pihak ketiga dan pemantauan, untuk memastikan hasil hutan hanya (kelapa sawit, kertas dll) dari unit manajemen yang telah memenuhi kriteria di atas lah yang boleh memasuki rantai pasokan; Dan berinvestasi dalam praktek bisnis yang menghindari deforestasi, seperti meningkatkan panen hasil perkebunan yang ada melalui praktek ekologi dan memastikan akses pasar yang lebih besar bagi petani kecil.

Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang paling agresif memenuhi tuntutan pasar dunia akan kelapa sawit. Dalam lima tahun terakhir, produksi sawit Indonesia tumbh 7 juta metrik ton, jauh di atas Malaysia sebagai produsen kedua terbesar dengan 1.7 juta metrik ton dalam lima tahun terakhir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,