,

Abetnego: Isu Lingkungan, Pemerintah Masih Menomorduakan, Pengusaha Baru Sekadar Slogan

NAMANYA Abetnego Tarigan. Dia lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 36 tahun lalu. Kala kelas dua sekolah dasar (SD), dia bercita-cita menjadi walikota. Alasan ingin jadi walikotapun gara-gara dia sulit naik trotoar.

“Menurut saya trotoar di Kota Siantar sangat tinggi dibandingkan dengan jalan. Ini menyulitkan saya untuk naik ke trotoar. Walikota seharusnya memperhatikan ini. Jadi  berpikir kalau jadi walikota akan membuat trotoar yang lebih mudah digunakan,” katanya.

Abet masih ingat saat meminta sang ibu mengantarkan agar bisa bertemu walikota. Dia ingin menyampaikan masalah ini. “Tapi bertemu walikota tidak pernah terjadi, mungkin ibu saya tidak tahu bagaimana caranya,” kenang Abet.

Dia memang tak menjadi walikota kini. Namun, keinginan menjadi walikota karena kekritisan terhadap suatu isu, mengisyaratkan cikal bakal aktivisme sudah ada pada Abet junior dulu.

Menurut dia, dulu tak pernah terbersit menjadi aktivis lingkungan meskipun dia pecinta lingkungan. Namun, Abet memang selalu tertarik dengan gerakan sosial dan demokrasi di Indonesia.  Tak heran, dalam perjalanan hidup, dia banyak menyuarakan hal-hal yang melenceng, yang tak berjalan sesuai aturan. Akhirnya, perjalanan hidup membawa Abet memadukan dua hal: ketertarikan gerakan sosial dan kecintaan terhadap lingkungan. Jadilah dia kini aktivis yang lekat dengan isu-isu lingkungan.

Abet mulai aktif di Sawit Watch 2002. Dia mengomandoi organisasi yang aktif memantau dan mengkritisi pengembangan sawit yang tak ramah lingkungan ini selama empat tahun. Berakhir kala dia dipercaya menjadi Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mulai April 2012.

“Saya  sejak SMA mulai suka dengan isu lingkungan. Saat itu bergabung dalam remaja pecinta alam. Lebih dalam sejak bergabung dengan Sawit Watch tahun 2002,” ucap Abet.

Dia mempunyai harapan dan mimpi buat negeri ini. “ Jadi negara yang benar – benar berdaulat dan kedaulatan itu di tangan rakyat.” Terlebih, dia  melihat begitu banyak permasalahan lingkungan di nusantara ini. Lingkungan Indonesia, sudah kritis. Pemerintah berbicara ingin melaju dengan konsep pembangunan berkelanjutan, disambut pengusaha yang juga mengkampanyekan diri sudah beroperasi dengan ‘hijau.’  Namun, semua itu tak cukup hanya pada tataran konsep atau wacana maupun keinginan semata. Implementasi di lapangan yang harus benar-benar diwujudkan.

Ini sejalan dengan motto-nya. “Tak cukup hanya dengan niat baik.” Untuk  lebih banyak lagi berbicara seputar lingkungan, Mongabay Indonesia, mewawancarai Abetnego Tarigan.   Berikut petikannya.

Mongabay.co.id: Para pemimpin dunia berkumpul di Brazil, dalam  KTT Rio +20. Bagaimana Anda memandang pertemuan ini? Menurut Anda, apakah pertemuan ini bisa efektif membuahkan hasil pembangunan yang benar-benar berkelanjutan bagi semua?

Abetnego: Pertemuan ini sebenarnya pertemuan penting dan sangat strategis karena membicarakan nasib bumi dan seluruh isinya.  Ia juga dihadiri dari seluruh perwakilan negara – negara.

Ada beberapa hal yang berujung pada membesarnya pesimistis terhadap KTT untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Pertama, ketimpangan antara negara negara utara  dengan selatan, antara korporasi raksasa dan produsen kecil  yang menghasilkan konflik dan eksploitasi yang meluas sedang berjalan pada saat KTT ini berlangsung. Hal ini sudah menjadi bagian yang diperbincangkan dan dibahas sejak 20 tahun lalu.  Kedua, ruang dan kepentingan korporasi raksasa terasa sangat dominan dalam KTT. Ketiga, tata kelola di dalam negeri yang masih sarat penyimpangan dan diskriminasi.

Abetnego saat kampanye lingkungan. Foto: Dokumen pribadi

Mongabay.co.id: Banyak yang memandang pembangunan berkelanjutan atau trend dengan green economy, seakan hanya ‘hijau’ bagi pengusaha atau perusahaan tetapi kering alias menguras sumber daya alam, begitu juga masyarakat lokal, masyarakat adat, mengalami kondisi sebaliknya. Bagaimana menurut anda?

Abetnego: KTT ini sendiri dibahas oleh “elit dan penguasa politik dan ekonomi” tanpa pelibatan secara meluas dengan orang – orang yang menjadi korban dari model pembangunan dan ekonomi politik dijalankan hari ini.  Hingga dapat dipastikan bahwa kepentingan elit dan penguasa menjadi bahan pertimbangan utama dengan memasukkan masyarakat korban dan kelompok rentan hanya sebagai statistik.  Menguatnya privatisasi dan liberalisasi dalam dokumen –dokumen menjadi penguat terhadap hal ini.

Mongabay.co.id: Konflik tanah, lahan, perkebunan antara masyarakat lokal (adat) dengan pengusaha maupun pemerintah belakangan ini makin memanas dan meningkat. Menurut anda, mengapa ini bisa terus terjadi dan apa yang menjadi pemicu masalah ini?

Abetnego: Ketimpangan dan diskriminasi dalam akses dan kontrol terhadap tanah dan sumber daya alam yang menyertai sebagai akibat dari privatisasi dan liberalisasi di berbagai sektor adalah faktor utama dari dari peningkatan konflik yang ada. Selain itu, finansialisasi melalui perluasan pasar untuk kebutuhan dasar manusia makin memperparah situasi ini. Pemenuhan dan perlindungan hak warga yang seharusnya menjadi prioritas peran dan fungsi negara menjadi paling akhir yang dipenuhi.

Usai acara, santai bersama dua musisi Indonesia. Foto: Dokumen pribadi

Mongabay.co.id: Menurut Anda dalam pengeloaan hutan apakah prinsip Free, prior and informed consent (PFIC) sudah diimplementasikan dengan benar oleh pengusaha atau perusahaan?

Abetnego: FPIC belum dijalankan oleh perusahaan – perusahaan.  Pendekatan legalistik formal menjadi pendekatan umum yang dilakukan, dengan pendekatan umum yang dikenal dengan nama sosialisasi. Untuk kondisi Indonesia, yang sudah sangat massif ketimpangan struktur akses dan kontrol terhadap sumber daya alam (SDA) antara perusahaan dan masyarakat adat/lokal hingga tidak cukup hanya FPIC. Menyeimbangkan kembali struktur akses dan kontrol SDA menjadi yang mendesak segera dilakukan.

Mongabay.co.id: Bagaimana Anda melihat dan menilai etika dan keseriusan swasta dalam peran serta menjaga lingkungan lewat bisnis berelanjutan mereka? Apakah sudah dijalankan serius atau baru sekadar slogan?

Abetnego: Etika dan keseriusan swasta menjaga lingkungan gencar dikampanyekan oleh perusahan  – perusahaan yang sudah mapan. Baik dalam skala bisnis dan profit yang diperoleh. Ada kecenderungan yang kuat, hal ini dilakukan lebih kepada menjaga situasi mapan itu.  Ujian untuk hal ini tidak dapat dilihat dalam satu sampai lima tahun, membutuhkan waktu yang lebih lama. Hingga dapat dikatakan saat ini masih slogan. Pertanyaannya? Apakah ketika skala profit dan bisnis tidak sesuai dengan ditargetkan oleh perusahaan, apakah etika dan keseriusan ini terjaga? Dalam pandangan saya, perusahaan – perusaahan yang gencar melakukan pengembangan etika menjaga lingkungan ini. Setidak – tidaknya melalui media massa,  adalah perusahaan skala besar. Dalam sektor sawit, kita bisa melihat perusaahaan – perusahaan itu rata – rata memiliki kebun lebih dari 100 ribu hektare.

Mongabay.co.id: Menurut Anda, apa saja yang menjadi masalah utama dalam tata kelola kehutanan di negeri ini hingga begitu carut marut?

Abetnego: Negara melalui pemerintah menempatkan penguasaan berbasiskan klaim yang dilegitimasi melalui UU.  Saya menyebut klaim, karena ada jutaan orang yang ditetapkan hidup di dalam kawasan hutan negara yang secara faktual masyarakat itu sudah hidup turun temurun di kawasan itu, yang seharusnya tidak dapat diklaim lagi oleh pemerintah sebagai kawasan hutan negara. Tata batas kawasan hutan belum jelas  dan keterbatasan infrastruktur pemerintah dalam pengelolaan hutan. Selain itu, preferensi pemerintah juga lebih kepada investasi skala besar, hingga pemberian hak kelola lebih diarahkan kepada perusahaan. Masih ada kekosongan instrumen hukum untuk mengakui keberadaan masyakat dalam pengelolaan kawasan hutan tertentu, seperti kawasan hutan adat.

Diskusi pembentukan kembali Walhi Papua. Foto: Dokumen pribadi

Mongabay.co.id: Banyak masukan dan remomendasi yang diberikan lembaga non pemerintah yang konsern lingkungan kepada pemerintah. Bagaimana Anda menilai pemerintah dalam menyikapi atau merespon masukan-masukan dari kalangan non government organization (NGO)?

Abetnego: Pemerintah sampai hari ini memilih rekomendasi – rekomendasi yang “nyaman” dari NGO-NGO. Hal ini terlihat ketika rekomendasi – rekomendasi yang mengarah kepada perubahan fundamental dan struktural tidak mendapat respon yang cukup.

Mongabay.co.id: Sebagai aktivis lingkungan, bagaimana Anda mencermati kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Apakah sudah sensitif atau peduli terhadap kelestarian alam dan lingkungan? Bagaimana juga anda menilai implementasi dari kebijakan-kebijakan itu di lapangan?

Abetnego: Kebijakan lingkungan masih menjadi nomor dua dibandingkan kebijakan ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan dan investasi.  Hingga pengembangan kebijakan lingkungan sangat terbatas. Ada begitu banyak kebijakan yang harus dikeluarkan pemerintah untuk implementasi UU PPLH thn 2009, masih tidak jelas keberadaannya.  Dengan kebijakan lingkungan yang terbatas itu saja, implementasi masih jauh dari yang diharapkan. Adanya praktik – praktik bisnis tanpa analisis dampak lingkungan (Amdal) dan tanpa kelengkapan perizinan yang sesuai per UU-an. Ini merupakan bukti lemahnya implementasi kebijakan.

Dengan alasan menghambat atau mengganggu  investasi menjadi ketakutan (setidak – tidaknya yang terekspresikan ) pemerintah untuk melakukan pengembangan kebijakan lingkungan.

Mongabay.co.id: Melihat kondisi lingkungan Indonesia yang kritis saat ini, menurut Anda, apakah masih bisa diperbaiki?  Jika iya, bagian mana yang harus dibenahi terlebih dahulu?

Abetnego: Masih ada peluang untuk diperbaiki dengan catatan, persoalan lingkungan tidak lagi ditempatkan dalam area peri – peri dalam kebijakan di Indonesia. Lingkungan hidup harus bagian yang integral dari seluruh kebijakan yang dikembangkan pemerintah Indonesia. Menempatkan prioritas keselamatan warga negara dan menjamin keberlanjutan asset dan produktivitas rakyat dalam mengelola sumber daya alam menjadi titik pangkal dalam pengembangan kebijakan itu.

Saat di Seatle. Foto: Dokumen pribadi

Mongabay.co.id: Sebagai orang yang sudah lama berkecipung di dunia lingkungan, bisa diceritakan pengalaman paling berkesan atau kisah paling Anda kenang selama menjadi aktivis lingkungan?

Abetnego: Hampir semua pengalaman berkesan karena ada dinamika yang cukup tinggi dalam isu lingkungan khusus di tingkat lapangan. Ada begitu banyak pengetahuan yang diperoleh dari masyarakat di akar rumput tentang bagaimana mereka mengelola tanah dan sumber daya alam di wilayah. Kalau dipaksa harus memilih satu pengalaman, saya punya pengalaman yang menarik ketika bersama satu orang pastor di perbatasan kalimantan Barat dengan Malaysia mengadakan pertemuan para dukun. Istilah dukun biasa digunakan oleh masyarakat Dayak yang memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit. Hanya dukun menjadi penyebutan yang negatif bagian banyak orang saat ini karena dianggap mistis.  Mungkin istilah yang lebih aman adalah tabib. Selain pertemuan itu, bersama para dukun ini melakukan perjalanan ke hutan untuk mengenal berbagai tanaman yang dapat dijadikan berbagai obat. Tidak mudah memahami para dukun itu menjelaskan apa yang mereka ketahui karena ada begitu banyak penamaan lokal baik terhadap tanaman dan penyakit.

Ada begitu banyak jenis tanaman yang bermanfaat sebagai obat tidak dapat tumbuh di luar ekosistem hutan.  Pengalaman ini memperkuat keyakinan, pengetahuan dan kearifan lokal telah berkembang dalam spektrum yang luas dan memiliki peran penting dalam keberlanjutan manusia dan lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,