, , ,

Indah di Konsep Pemerintah, Konflik Lahan bagi Masyarakat

PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Center for International Forestry Research (CIFOR) sebelum berangkat ke KTT Rio+20 di Brazil, begitu indah.  Presiden mengenalkan konsep: sustainable growth with equity.

Sayangnya, keindahan baru di konsep dan paparan. Masih banyak masalah muncul dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Salah satu, konflik penguasaan lahan. Ribuan bahkan jutaan masyarakat lokal, maupun adat merasakan langsung kepahitan dampak ‘pembangunan berkelanjutan’ itu. Betapa tidak, 99,5 persen dari pemanfaatan dan penggunaan hutan negara dialokasikan bagi pengusaha besar. Hanya 0,5 persen untuk masyarakat lokal (adat) maupun usaha kecil.

Melihat masalah yang seakan terlupakan ini, Epistema Institute dan Centre for Forestry Organization Capacity and Institution Development (FORCI) Fakultas Kehutanan, dan Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamis(21/6/12) menyelenggarakan diskusi pakar. Tema diskusi ini,” Indonesia dan Paradoks Pembangunan Berkelanjutan: Pertumbuhan ekonomi di atas konflik tenurial dan tata kelola yang lemah.”

Sudarsono Soedomo dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, arah kebijakan penurunan emisi 26 persen yang dicanangkan Presiden SBY tak didukung kebijakan secara nyata.  Kondisi ini, kata Doktor Ekonomi, dari Universitas Missouri Amerika Serikat ini, bisa dilihat dari beberapa hal.

Pertama, politik anggaran. Jumlah subsidi  bahan bakar minyak (BBM) selama periode 2006-2012 sebesar Rp667,8 triliun, sedang anggaran kegiatan penyelamatan lingkungan hidup, untuk Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup Rp78,7 triliun. Nilai ini, kurang 12 persen dari subsidi itu. “Fakta ini menunjukkan, kebijakan pembangunan selama ini lebih mendorong terjadinya emisi melalui subsidi daripada peningkatan biaya penyerap emisi,” katanya.

Dia mengkalkulasi, bila subsidi  BBM selama tiga tahun (2006, 2007 dan 2008) sebesar Rp287,1 triliun menghasilkan BBM 63,7 Gliter atau menghasilkan CO2 148,4 Gton untuk membangun hutan tanaman, akan diperoleh hutan tanaman seluas 14,4 juta hektare. “Biaya per ha Rp.20 juta. Ini akan mampu menyerap 1.291,5 Gton CO2.”

Kedua, tidak ada upaya mewujudkan keadilan ekonomi. “Tanpa intervensi pemerintah terlalu besar, perkebunan kelapa, kopi, karet dan kakao berkembang secara signifikan. Sebagian besar pelaku masyarakat lokal.

Sebaliknya, hutan negara, 99,5 persen diberikan kepada pengusaha besar, hanya 0,5 persen masyarakat lokal atau adat.

Ketiga, terdapat sentralisasi manfaat dan desentralisasi risiko. Besaran iuran produksi untuk usaha tambang dari berbagai jenis antara tiga sampai tujuh persen  dari nilai produksi yang dihasilkan. Meskipun daerah mendapatkan 80 persen dari iuran itu, tetapi daerah mendapatkan bagian hanya 20 persen revenue dari pajak. “Bagaimana proporsi penerimaan dari pajak dan non-pajak akan menentukan bagaimana perimbangan pembagian penerimaan dari tambang antara pemerintah pusat dan daerah. Perlu dicatat, daerah masih menanggung dampak dari kerusakan lingkungan,” ucap Sudarsono.

Keempat, kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan. Tak hanya menyebabkan ketimpangan alokasi manfaat hutan dengan 99,5 persen usaha besar dan 0,5 persen usaha rakyat juga kerusakan tidak terkendali. Terutama keberadaan tambang di dalam kawasan hutan negara.

Prof Dr Hariadi Kartodihardjo (paling kiri), dan Dr Sudarsono Soedomo dari IPB serta Dr Myrna A Safitri dari Epistema Institute dalam diskusi Indonesia dan Paradoks Pembangunan Perkelanjutan. Foto: Sapariah Saturi

Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB, Hariadi Kartodihardjo, menilai ada tiga kelompok persoalan yang menjadi penyebab timbulnya beragam masalah tata kelola SDA.

Pertama, sektoralisme. Situasi ini, ujar dia, tidak memungkinkan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup mempunyai irisan atau dipertimbangkan secara simultan dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan. “Setiap sektor yang mempunyai target pembangunan sendiri-sendiri cenderung trade off satu terhadap yang lain dan melupakan penyelesaian persoalan tenurial,” ucap Ketua Dewan Kehutanan Nasional ini.

Menurut Hariadi, di kawasan hutan yang dikuasai negara, 99,5 persen dialokasikan kepada perusahaan besar, hanya 0,5 persen bagi masyarakat lokal dalam bentuk hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan desa.

Pada sisi lain, hutan rakyat yang dikelola rakyat dan status berada di luar kawasan hutan negara, terbukti lebih berkembang daripada hutan adat dan skema kehutanan masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan negara. Kemenhut mencatat, perkembangan hutan rakyat sampai akhir tahun 2010 seluas 3,6 juta ha.

Ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan hutan maupun lahan, diposisikan sebagai dampak pembangunan yang ditangani secara parsial dan adhoc. “Selesainya persoalan konflik tenurial tidak secara kuat menjadi ukuran kinerja pembangunan.”

Kedua, tata kelola kepemerintahan khusus dalam pengelolaan SDA (natural resources governance) tidak disertai kekuatan perangkat kelembagaan yang mampu mengendalikan eksploitasi. Sejauh ini, tak ada tolok ukur pengendalian eksploitasi SDA berdasarkan daya dukung lingkungan.

Kebijakan terkait hubungan pusat-daerah, juga tak menyatukan mereka untuk bersama-sama bertanggungjawab pada kerusakan lingkungan hidup. “Kebijakan yang ada malah mendukung pemerintah pusat dan daerah mengeksploitasi SDA dan memanfatkan untuk memperoleh keuntungan politik.”

Ketiga, politik-ekonomi mempertahankan status quo. Ketidaklengkapan informasi sebagai dasar pengambilan keputusan, tumpang-tindih peraturan, maupun konflik pemanfaatan SDA, kata Hariadi, menjadi sumber lahirnya kesempatan politik mempertahankan kekuasaan melalui hak maupun akses terhadap SDA. “Ketidakpastian yang tinggi ini memungkinkan alokasi manfaat SDA berdasarkan jaringan kekuasaan dan bukan kebijakan publik.” Dalam kondisi ini, peran kelompok masyarakat sipil yaitu masyarakat-LSM-Perguruan Tinggi sebagai kontrol sosial diharapkan terus ditingkatkan.

Warga Mesuji beraktivitas. Konflik lahan di Mesuji menyebabkan jatuh korban. Foto: KPA

Dengan beragam masalah ini, agar pembangunan berkelanjutan bisa berjalan, pemerintah harus memiliki keberanian dan keseriusan. Pendekatan ekonomi dan politik mainstream, tidak cukup mengatasi masalah SDA di Indonesia. “Ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi maupun keberhasilan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, menanam bibit pohon, serta kompensasi reduksi emisi karbon tidak dapat menjawab persoalan keadilan sosial.”

Masih terjadi tumpang-tindih, ketidakpastian dan konflik hak dan kuasa atas SDA. “Masalah-masalah tenuarial harus selesai.” Menurut Hariadi, kepastian hak penting, karena bisa mengendalikan perilaku masyarakat. “Tata kelola pengelolaan SDA harus dilaksanakan secara serius. Pendekatan ini perlu didukung semua pihak. Ini bukan pendekatan mainstream dalam pertumbuhan ekonomi saat ini dilakukan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,