, ,

Editorial: Mengapa Kelompok Masyarakat Adat Menolak REDD dan Konsep Green Economy?

Kelompok masyarakat adat adalah kelompok yang paling menderita dari dampak kerusakan lingkungan, dimana mereka tergantung kepada sumberdaya alam, hutan yang berada di teritori tradisional mereka.

Dari KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil dilaporkan bahwa kelompok masyarakat adat yang bergabung dalam kelompok Mother Earth Kari-Oka Púku menyatakan diri menolak skema pembayaran karbon yang dikenal dengan nama REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) termasuk konsep pembangunan rendah karbon atau yang dikenal dengan ekonomi hijau (Green Economy) yang mengabaikan hak masyarakat adat.

Dalam pertemuan Rio+20 ini, kembali kelompok-kelompok masyarakat adat dari seluruh dunia aktif melakukan lobi untuk menegaskan kembali pengakuan terhadap hak-hak mereka, respek terhadap budaya dan respek terhadap keragaman ekonomi lokal yang dimilikinya.

Meskipun telah mendapat pengakuan tentang keberadaannya di tingkat internasional seperti yang tercantum dalam UNDRIP (United Nation  Declaration of Right Indigenous People), namun hingga saat ini, konstitusi dan berbagai produk undang-undang di tingkat nasional negara, maka selama ini keberadaan masyarakat adat umumnya belum diakui dalam konstitusi nasional.

Dalam pernyataannya, masyarakat adat menolak segala bentuk kapitalisme global yang masuk ke wilayah adat atas ijin dan restu pemerintah setempat.  Masyarakat adat menyerukan bahwa konsep FPIC (Free Prior Inform Consent), atau: Persetujuan Bebas Tanpa Paksaan, Didahulukan dan Diinformasikan, yaitu sebuah prasyarat yang harus diberlakukan sebelum sebuah proyek investasi dalam wilayah masyarakat adat harus dilaksanakan.

Dengan adanya implementasi FPIC ini, maka masyarakat adat terlebih dahulu berhak untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya, sebelum diberlakukannya suatu proyek, dapat bebas tanpa tekanan (free) dalam menyatakan persetujuan atau menolak sebuah proyek di wilayah teritori mereka.  Pengakuan terhadap FPIC, otomatis terdapat pengakuan negara terhadap keberadaan suatu kelompok masyarakat adat.

Tanpa adanya pengakuan terhadap kelompok masyarakat adat, terbukti selama ini investasi dari kekuatan global telah merusak teritori dan lingkungan yang mereka miliki, termasuk kedalamnya adalah ekspansi dan over eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang, ekspoitasi minyak dan gas, pembalakan hutan untuk eksploitasi kayu, pembukaan hutan menjadi perkebunan skala raksasa dan pembangunan hutan tanaman industri serta pembangunan bendungan raksasa.

Terkait dengan pelaksanaan REDD dan REDD+, kelompok masyarakat adat bersikeras menolak kedok bertopeng yang menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan dan solusi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan melalui pendekatan rejim ekonomi termasuk didalamnya rejim pengelolaan rendah karbon REDD.

Konsep REDD, yang pertamakali dibicarakan secara serius di Bali dalam pertemuan UNFCCC 2007, merupakan upaya solusi untuk melakukan mekanisme pengereman laju emisi global dengan cara menawarkan insentif finansial kepada negara-negara yang terbukti dapat menjaga kelestarian hutan mereka sebagai paru-paru dunia. Hingga saat ini REDD dan REDD+ menjadi konsep yang kontroversial karena berbagai konsep dan implementasinya yang meragukan.

Pembayaran kompensasi karbon ditengarai sarat terhadap praktek negosiasi dan manipulasi, dimana konsep pembayaran karbon baru akan dibayarkan oleh pihak terkait setelah terdapat verifikasi yang disetujui.  Demikian pula, REDD tidak menjamin dana yang dikompensasikan akan menyesejahterakan masyarakat.  Serta dikuatirkan akan memutus akses masyarakat adat untuk mengelola sumberdaya hutannya, termasuk stigma kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

REDD, Pengakuan dan Masyarakat Adat di Indonesia

Meskipun telah terdapat definisi tentang masyarakat hukum adat, namun demikian, hingga saat ini Pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan yang menyeluruh terkait dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Salah satunya adalah UU no 41/1999 tentang Kehutanan, dimana pemerintah dalam ini menganggap bahwa hutan adat adalah merupakan hutan negara, sehingga dengan demikian status penguasaannya berada di bawah hukum negara.

Pertemuan COP-17 di Durban dimana Kelompok-Kelompok Masyarakat Adat Menolak Konsep REDD yang Dianggap Merupakan Bentuk Lain dari Kapitalisasi Hutan. Foto: Petermann/GJEP-GFC.

Inilah yang kemudian menjadi akar permasalahan, bahwa selama keberadaannya tidak diakui maka kelompok masyarakat adat akan tersingkirkan dari wilayah teritorinya karena tidak memiliki kekuatan hukum yang disahkan oleh negara.

Terkait dengan REDD, Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggarisbawahi bahwa REDD tidak akan dapat dilaksanakan dan mustahil dilaksanakan di Indonesia, selama tidak ada undang-undang yang mengatur perlindungan masyarakat adat serta selama terus berlakunya paradigma lama bahwa upaya konservasi oleh negara dapat dilakukan tanpa adanya pengakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang telah bergenerasi tinggal di wilayah hutan tersebut.

Seperti mengamini apa yang diramalkan apa yang dikatakan oleh Abdon, maka Senator Australia Christine Milne (Mongabay.co.id, 13 Juni 2012) menyatakan bahwa proyek REDD yang dibiayai oleh Australia di Kalimantan sebagai sebuah kegagalan total, bahkan masyarakat di tingkat lokal pun kini mulai kesal dengan program yang dinilai tidak jelas. Uang jutaan dollar Australia pun tidak berbekas dalam proyek ambisius ini.

Sebagai kumpulan  dari  1.696  komunitas  masyarakat  adat  dari seluruh Indonesia, AMAN dalam pernyataan resminya menyampaikan bahwa AMAN akan mendukung REDD dalam skema mitigasi mengatasi dampak perubahan iklim, jika terdapat syarat-syarat yang menyertainya, yaitu:

  • 1. Kepastian hak kepemilikan dan pengelolaan wilayah adat
  • 2. Pengetahuan dan kearifan tradisional sebagai alternatif solusi
  • 3. Komunitas masyarakat adat yang solid dan memiliki kapasitas keorganisasian.

Lebih lanjut, untuk mengetahui tentang skema REDD, silakan lihat video animasi yang dibuat oleh FERN di sini atau poster PDF nya disini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,