PERTEMUAN Rio+20 di Brazil yang diniatkan untuk agenda pembangunan berkelanjutan, ternyata jauh dari harapan. Yang ada malah Rio-20. Demikian diungkapkan Kumi Naidoo, Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional dalam blognya.
Naidoo mengatakan, banyak orang menaruh harapan besar pada pertemuan ini. Duapuluh tahun lalu di tempat sama, para pemimpin dunia bersepakat meletakkan dasar-dasar pembangungan berkelanjutan. Pembangunan yang diharapkan kuat mempertimbangkan keberlangsungan lingkungan dan keadilan sosial.
“Masa depan yang kita inginkan, tema pertemuan Rio+20. Namun, masa depan yang diinginkan itu tidak kita temukan dalam naskah hasil pertemuan. Kehadiran pemimpin-pemimpin dunia telah menjadi stempel greenwashing,” katanya
Pada saat pemimpin dunia memberikan stempel dalam hasil pertemuan Rio+20, sekitar 20.000 orang protes di jalan utama Rio. Mereka mendorong kepemimpinan pada pemimpin dunia untuk mengubah”masa depan yang kita inginkan”.
Presiden SBY, kata Naidoo, salah satu yang paling bersemangat mendorong kesuksesan pertemuan Rio+20. Presiden SBY ingin mengukuhkan, Indonesia ingin menjadi contoh pembangunan berkelanjutan. “Upaya ini tentu diapreasiasi oleh Greenpeace. Tantangan besar untuk benar-benar mengimplementasikan komitmen ini.”
Menurut Naidoo, realitas pertemuan Rio+20, bagi sebagian aktivis masyarakat sipil bukan Rio+20 melainkan Rio-20.
“Tidak ada kemajuan berarti, seharusnya menjadi lompatan besar revolusi pembangunan lebih adil bagi lingkungan dan masyarakat marjinal,” ucap Naidoo.
Pertemuan utama Rio+20 terisolasi sejauh lebih dari 40 kilometer (km) dari lokasi masyarakat sipil berkumpul.
Dalam tenda-tenda, masyarakat sipil membahas ide-ide kreatif dan harapan menghadapi tantangan krisis lingkungan, keadilan dan ekologi. “Masyarakat adat datang dari berbagai pelosok menyampaikan realitas perubahan iklim serta realitas ancaman perampasan ruang hidup.”
Namun, para pemimpin dunia mereka memilih mengisolasikan diri dan mendekat pada konglomerasi global yang mengarahkan pertemuan Rio+20.