SIDANG lanjutan pengajuan judicial review Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) terhadap UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, Rabu(27/6/12) menghadirkan saksi ahli Dr Maruarar Siahaan.
Maruarar menjelaskan, hak-hak masyarakat hukum adat yang menjadi identitas budaya harus dihormati. “Karena konstitusi menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dikenal juga dalam konvensi internasional,” katanya saat bersaksi.
Untuk itu, hak ini harus dapat ditentukan secara konseptual, lalu dilindungi secara efektif. Menurut dia, pengakuan juridis secara internasional ditemukan dalam Konvensi ILO Nomor 169 tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries.
Semangat melindungi lemah, hingga kerap kali mereka berhadapan perusahaan. Jadi, perlindungan harus relevan dengan perlindungan masyarakat hukum adat.
Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau dan Jaelani dari komunitas adat Orang Rimba juga hadir sebagai saksi korban.
Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau mengatakan, masyarakat adat Punan memiliki ketergantungan tinggi pada hutan. Ini tergambar dari falsafah,” Lunang telang otah ine. Artinya, hutan adalah air susu ibu, tak ada hutan, matilah orang Punan.
Masyarakat adat Punan Dulau adalah korban dari kebijakan pemindahan penduduk lokal. Mereka dipindahkan pada 1970-an oleh Departemen Sosial. Alasannya, agar masyarakat yang tinggal di pedalaman mendapatkan akses dan fasilitas yang bisa dijangkau program pemerintah.
Namun, kata Kaharuddin, tak semua masyarakat Punan Dulau pindah ke wilayah yang sudah ditentukan pemerintah. Ada 40 keluarga memilih bertahan dan tetap tinggal di wilayah adat yang memiliki hutan luas. “Masih lebat lestari di hulu sungai Magong itu,” katanya.
Tahun 1988, salah satu perusahaan kayu besar bernama PT. Intracawood Manufacturing beroperasi wilayah hutan adat milik orang Punan Dulau. Perusahaan ini mengantongi izin konsesi hak pengelolaan hutan (HPH) seluas 226.326 hektare (ha), berlaku 75 tahun. Setelah diprotes, Menteri Kehutanan merevisi izin ini menjadi 45 tahun.
“Masyarakat adat Punan Dulau sudah kehilangan sumber kehidupan akibat operasi perusahaan kayu itu. Kini tak ada lagi yang tersisa di hutan. Semua sumber daya hutan habis dibabat. Kini orang Punan Dulau hidup miskin di atas tanah adatnya.” Kaharuddin kepala desa di sana.
Saksi korban kedua dari komunitas adat Orang Rimba. Jaelani, atau akrab disapa Tumenggung Tarib, mengungkapkan, kehidupan komunitas mereka hidup bergantung pada sumber daya hutan.
Orang Rimba adalah komunitas adat yang hidup dari hasil meramu hutan. Mereka tinggal dan hidup di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi. Sejak ruang hidup mereka dinyatakan sebagai kawasan konservasi, akses Orang Rimba terhadap hutan dibatasi.
“Kami menempati hutan yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.”
Hingga akhir tahun 2010, paling sedikit ada 50 kelompok kecil Orang Rimbo menyebar di kawasan TNBD. “Bahkan kami terpaksa tinggal di desa-desa sekitar TNBD untuk memulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa,” ucap Temenggung Tarib.
Mereka makin terpinggirkan karena luasan hutan tempat tinggal dan mencari kehidupan makin sedikit.
Bagi Orang Rimbo, hutan adalah rumah dan sumber kehidupan. Sebagian besar Orang Rimba tinggal di hutan dan menerapkan kearifan lokal dan hukum adat warisan leluhur mereka.