Akibat hilangnya tutupan hutan di Sumatera, krisis air kini mulai melanda beberapa wilayah. Direktur Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar mengatakan bahwa krisis air kini menghantui wilayah Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh. Ribuan warga di Aceh terancam kekurangan air, akibat konflik rantai pangan dengan komunitas lain dan perebutan wilayah antara manusia dan satwa.
“Krisis air bersih ini tak hanya dampak dari konversi hutan menjadi perumahan namun juga masuknya tambang ke dalam area hutan lindung di Kawasan Ekosistem Leuser.” ungkap Zulfikar kepada The Jakarta Post.
Data dari Dinas Pertambangan dan Energi menunjukkan bahwa 40 perusahaan tambang te;ah mendapat izin operasi di Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, semua wilayah tersebut masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser. “Sejumlah penambang emas ilegal di Aceh telah memasuki zona ini, seperti terjadi di hutan lindung Alue Trenggadeng Lebah Sabil dan Kabupaten Aceh Tenggara,” ungkap Zulfikar lebih lanjut.
Berdasar laporan yang dibuat secara kolaboratif antara pemerintah dan beberapa LSM, seperti PanEco Swiss, Yayasan Ekosistem Lestari dan Frankfurt Zoological Society (FZS) dari Jerman, dalam kurun waku dua tiga tahun belakangan, orangutan Sumatera banyak ditangkapi di perkebunan sawit di Sumatera Utara dan daerah perbatasan dengan propinsi Aceh.
Menurut laporan Orangutan Information Center (OIC) jumlah total orangutan yang dibunuh dan ditangkap di Kawasan Ekosistem Leuser mencapai 300 ekor setiap tahun, termasuk jenis primata lainnya seperto gibbons dan monyet ekor panjang. Pendiri OIC, Panut Hadisiswoyo menyatakan bahwa primata-primata tersebut dianggap sebagai ancaman bagi perkebunan sawit, kendati orangutan termasuk dalam 25 satwa paling terancam punah menurut daftar yang dikeluarkan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN).
“Pekerja perkebunan melihat orangutan sedang mencari makan di perkebunan seiring dengan hilangnya habitat mereka,” tambahnya Harga seekor orangutan Sumatra di pasaran internasional mencapai 5000 Dollar AS di Singapura, sementara primata lainnya di pasar lokal Indonesia hanya dijual Rp 150.000 per ekor.
“Pemerintah sendiri belum mewajibkan perusahaan-perusahaan sawit ini untuk merestorasi kembali habitat yang mereka rusak di Leuser,” jelas Panut lebih lanjut. Selain orangutan, badak Sumatera di Leuser, Way Kabas dan Taman Nasional Bukit Barisan juga terus berkurang jumlahnya antara 210 hingga 275 ekor dari jumlah sebelumnya yaitu antara 420 hingga 875 ekor.
Tingginya angka kerusakan hutan di Indonesia sudah diprediksi sebelumnya dalam World Water Forum II di Den Haag, Belanda bulan Maret 2000, yang saat itu menyatakan bahwa indonesia adalah salah satu dari beberapa negara yang akan mengalami krisis air di tahun 2025. Dengan kurangnya komitmen dalam perlindungan alam, Amerika Srikat melalui badan lingkungan mereka, Environmental Protection Agency (EPA) mengeluarkan Notice of Data Availability tahun 2012 yang fokus pada emisi karbon dalam proses produksi minyak sawit, dan menyatakan bahwa minyak sawit Indonesia tidak memenuhi standar minimum emisi yang ditetapkan AS dala peraturan baru tersebut, dan mereka menganjurkan penggunaan biofuel.
“Kami berharap pemerintah lebih serius menangani konservasi di Leuser apalagi Presiden SBY sudah mendeklarasikan bahwa tahun 2012 sebagai tahun badak,” ucap anggota dewan direksi Leuser International Foundation, Jamal M Gawi. Sementara itu Direktur Eksekutif GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Fadhil Hasan menyatakan bahwa semua perusahaan sawit di Indonesia akan berkomitmen pada lingkungan dan akan mematuhi regulasi yag digariskan pemerintah.