Pemetaaan Hutan Tropis 3D Dengan Terobosan Sensor Terbaru

Di atas udara hutan Amazon di Peru, sejumlah peneliti dan ahli teknis sedang melakukan sebuah ujicoba ambisius: mereka melakukan survey biologis di sebuah wilayah yang belum pernah tersentuh dan tidak bisa diakses di hutan hujan tropis yang tertutup. Mereka melakukan ujicoba ini dengan mengandalkan sebuah sistem yang sangat maju yang memungkinkan mereka memetakan hutan dalam bentuk peta tiga dimensi yang memberi gambaran jelas struktur hutan, termasuk kandungan kimiawi dan property optikalnya. Para peneliti berharap tak hanya bisa mengetahui spesies apa saja yang ada di dalam hutan tersebut, namun juga mengetahui bagaimana ekosistem setempat merespons kekeringan parah yang terjadi tahun lalu -sebuah kekeringan terburuk yang pernah terjadi di Amazon- dan sekaligus membantu Peru membangun sebuah mekanisme untuk memonitor deforestasi dan degradasi hutan.

Sistem ini -yang ditemukan oleh Greg Asner, seorang peneliti di Carnegie Institute of Science- sangat berpotensi mengubah bagaimana penelitian di hutan tropis dilakukan. Sistem ini juga mampu menekan ketidakpastian angka emisi karbon akibat deforestasi dan berbagai bentuk yang berbeda dalam manajemen kehutanan, kedua hal yang sangat penting dalam program REDD, sebuah program yang didesain untuk memberi kompensasi bagi negara-negara di wilayah tropis untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan. Dan terakhir, sistem baru ini bisa seara signifikan meningkatkan pemahaman terhadap eksosistem tropis.

Asner melakukan penelitian kerja untuk gelar kesarjanaannya sebagai seorang insinyur dan terlatih dalam bidang ekologi dan kimia biogeologi. Dengan menerapkan kemampuan teknis ke dalam ranah biologi, dia membangun sistem bernama Carnegie Airborne Observatory (CAO) tahun 2006 untuk mengukur karakteristik kunci hutan hujan tropis. CAO adalah sebuah pesawat khusus yang dilengkapi dengan sensor optik, kimia dan laser, dan digabungkan dengan AToMS (The Airborne Taxonomic Mapping System), membuat Asner dan timnya menciptakan sebuah peta dengan resolusi tinggi, berbentuk struktur vegetasi tiga dimensi dan kumpulan pohon.

Saat sistem satelit kehutanan masih menyediakan gambaran kasar, CAO memberikan detail. Dimana satelit seperti MODIS atau LandSat bisa memungkinkan pemetaan dalam jarak ukuran resolusi sejauh hitungan meter hingga kilometer, CAO bisa bisa menangkap detail hingga keberadaan setiap pohon dengan kecepatan sekitar 500.000 gambar per menit. Tak ada pesawat dengan tingkat kemajuan sistem seperti yang dimiliki CAO, kendati demikian Asner kini berbicara lebih lanjut dengan National Science Foundation untuk membangun sistem ini, dan dalam tahap pembicaraan dengan NASA untuk mengusahakan bisa melengkapi sistem ini dengan satelit.

Pesawat CAO, Tim peneliti, dan Greg Asner ketua tim pengembangan CAO. Foto: Carnegie Airborne Observatory

“Ide dasarnya adalah mengukur setiap tanaman yang diukur para ahli ekologi yang ada di permukaan bumi untuk mengevaluasi keanekaragaman hayati,” ungkap Asner, saat kami terbang di ketinggian 7000 kaki di atas Amazon, yang berjarak sekitar satu jam terbang dari Cuzco, Peru. “Tak ada satu pun teknologi yang bisa mengukur fitur-fitur yang kami butuhkan, jadi kami putuskan kami menggabungkan teknologi yang mirip untuk bisa melakukan hal-hal tersebut. Sambil jalan, kami juga terus mengembangkan teknologi-teknologi baru.”

Untuk memahami ekologi hutan tropis, salah satu hal paling mendasar yang harus diketahui oleh para peneliti jika mereka ingin memahami bentang alamnya mereka harus memahami habitat yang ada disitu. CAO dilengkapi dengan sistem LiDAR yang sangat kuat dengan sepasang sinar laser yang mengirim 400.000 denyutan per detik ke permukaan bumi. Sinar ini menembus kanopi, dan mencapai permukaan hutan, dan mengirim balik struktur hutan tersebut. Tergantung tinggi rendahnya pesawat, sensor-sensor ini bisa memetakan hutan dari resolusi beragam, mulai dari 10 centimeter hingga satu meter, sangat jelas untuk melihat semak-semak dan dedaunan di puncak pohon. LiDAR juga sangat bagus untuk mengukur kadar biomassa di atas permukaan tanah, ata jumlah karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan, demikian juga dengan hidrologi atau kandungan air -sistem ini bisa melihat naik turunnya permukaan bumi untuk mengidentifikasi Daerah Aliran Sungai dan aliran air.

Kemampuan-kemampuan ini membuat LiDAR menjadi sebuah alat yang sangat kuat untuk memetakan habitat di kanopi hutan hujan tropis. Sensor-sensor ini sudah digunakan oleh para ahli primata di Amazon untuk melihat bagaimana ranting-ranting pohon dan memahami mengapa primata memilih habitat tertentu.

Namun LiDAR ini hanyalah satu dari berbagai kekuatan sistem CAO ini. Untuk memahami lebih dalam sebuah ekosistem, para ahli harus memahami karakteristik wilayahnya, termasuk berbagai aspek yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Inilah keunggulan CAO yang tidak dimiliki sistem lain – yaitu adanya VSWIR Imaging Spectrometer yang bisa menangkap unsur-unsur kimia dan pendaran cahaya  dari setiap pohon yang berdiri dalam jarak ribuan kaki di bawah.

Sensor ini -yang diciptakan oleh para ahli di NASA di Jet Propulsion Laboratory- adalah yang pertama di kelasnya. Spectrometer ini bisa mendeteksi lusinan sinyal seprti konsentrasi jumlah pigmen dalam proses fotosintesis, kandungan air di dalam daun, serta unsur-unsur yang kecil seprti fenol, struktur kompon seperti lignin dan selulosa, dan juga fosfir dan mikro nutrien lainnya. Sinyal-sinyal ini bisa membedakan setiap satu spesies pohon  dan juga pengukuran-pengukuran kondisi hutan lainnya. Hasilnya adalah sebuah sistem yang bisa memetakan kandungan kimia dan pendaran  cahaya dari sebuah hutan yang memiliki lebih dari 200 spesies dan wilayah seluas 50 hektar.

Foto atas, adalah kanopi hutan Madre de Dios. Sementara foto bawah diambil dengan sistem CAO di Cagar Biosfer Manu. Penggunaan sistem CAO memberi bandingan sangat jelas. Sistem ini memberikan informasi yang jauh lebih jelas dengan gradasi warna yang dihasilkan, dibandingkan dengan melihat dengan mata telanjang. Foto: Carnegie Airborne Obervatory

“Saat daun berinteraksi dengan sinar matahari, senyawanya bergerak, meregang dan bergetar dalam pola dan hitungan yang berbeda. Hitungan-hitungan yang berbeda ini menghasilkan hamburan cahaya yang berbeda,” ungkap Asner lebih jauh. “Spektrometer memilh hal ini dan kami bisa melihat kandungan kimiawi dari perbedaan-perbedaan warna cahaya yang tertangkap.”

“Ini adalah pintu gerbang untuk memahami kimiawi dalam sistem ini,” ungkapnya. “Kita bisa membuat peta dimana lokasi  pohon-pohon yang tumbuh paling cepat. Spektrometer adalah sensor dengan terobosan baru.”

Robin Martin, ahli biokimia di Carnegie yang membantu mengembangkan CAO dan juga istri Asner, mengatakan bahwa deteksi kimiawi ini “memberitahu kita tentang kesehatan sebuah hutan dan fungsi hutan.”

“CAO membuat kita bisa menggabungkan pengukuran kimiawi dengan informasi struktural hutan untuk mengubah sinyal-sinyal kimiawi tadi menjadi perkiraan-perkiraan keanekaragaman hayati.”

Spektrometer VSWIR ini masih ditambah dengan sensor ketiga, yang juga adalah spektrometer, yang memiliki lensa zoom, dan memungkinkan para peneliti untuk membawa kimiawi pertumbuhan dari hutan tersebut dengan resolusi spasial yang tinggi.

“seringkali spesies bercampur di kanopi hutan,” kata Asner. “Sensor besar emas ini bisa melihat mahkota pohon, sementara lensa zoomnya membuat kita bisa melihat apa yang ada di dalamya, termasuk tanaman merambat dan kulit pohon.”

Pesawat yang membawa sistem ini membuat Asner dan timnya memetakan area yang sangat luas, kadang lebih dari 48.500 hektar hutan dalam sehari. Di tahun 2009, dengan menggunakan alat yang lama Asner telah memetakan 4.3 juta hektar hutan di Departemen Madre de Dios, Peru. Kini ia tengah mengerjakan skala yang lebih besar: nyaris sluruh hutan Amazon di Peru. Setelah ini ia akan ke Colombia dan Panama. Asner juga menggunakan sistem yang sama di Madagaskar.

Namun agar CAO bisa melakukan penilaian keanekaragaman hayati secara akurat, tim Asner harus melakukan kerja di lapangan dulu. Di Amazon, Asner dan tim membangun sebuah katalog kimia dan daftar pendaran cahaya dari lebih dari 5000 spesies yang dikoleksi sepanjang kerja lapangan yang lama.

Cekungan di sisi barat hutan Rio Madre de Dios, Peru. Foto: Carnegie Airborne Observatory

Menambah informasi pohon dari survey udara

Pendekatan tradisional untuk memetakan hutan dan melakukan survey biologi melibatkan pekerjaan di lapangan. Namun permukaan tanah sangat membatasi eksplorasi di wilayah yang sangat kecil akibat terbatasnya jalan, airan air yang bisa ternavigasi, atau dalam beberapa kasus, helipad. Alasan-alasan tersebut yang membuat sebagian besar area di Amazon dan hutan hujan tropis lain, termasuk hutan di Peru, tak pernah tersentuh oleh para ahli. Sebagian besar dari hal-hal yang diketahui tentang hutan Amazon di area sub-montane berasal dari satu lembah di luar wilayah Cuzco, Peru.

Tim Asner masih bekerja di lapangan, namun setelah para ahli botani mereka selelsai dengan pekerjaan memanjat pohon ini, mereka bisa mengaplikasikan teknologi baru ini di area-area yang selama ini tidak bisa dimasuki. CAO memungkinkan kerja tim Asner meningkatkan kinerja lapangan mereka.

“Kami memiliki tim pemanjat pohon terbaik di dunia,” ucap Asner. “Mereka bisa memanjat 75 pohon sehari, untuk mengambil sampel.”

Setelah para pemanjat ini mengumpulkan sampel dari kanopi pohon-pohon ini, data kemudian dimasukkan ke dalam perpusatakaan basis data CAO tentang informasi dan spesies tunggal tanaman, yang akan membantu survey udara yang dilakukan.

Gambaran peta CAO tentang jalan tol Interoceanic yang akan menghubungkan antara Amazon dan daerah lainnya. Asner menemukan bahwa pembangunan jalan tol seringkali merusak keanekaragaman hayati di sekitar proyek pembangunan tersebut. Foto: Carnegie Airborne Observatory

Meningkatkan akurasi perhitungan karbon untuk Program REDD

Salah satu yang paling jelas dan aplikasi terdekat dari penelitian ini adalah untuk mengukur kandungan karbon di hutan untuk mendukung program karbon hutan REDD. CAO menawarkan resolusi yang jauh lebih tinggi dibanding peta karbon yang digunakan oleh PBB untuk IPCC Tier II mereka. Misalnya, jika peta karbon IPCC menunjukkan warna hijau untuk laut, peta karbon Asner menunjukkan beragam warna, yang menggambarkan kandungan karbon yang berbeda-beda, yang memberikan gambaran fungsi tanah dan sejarah perairan tersebut.

“Hutan di wilayah Peru memiliki tanah dari masa Plesitocene dan menyimpan kurang dari 20% karbon,” katanya, sambil menunjukkan ke wilayah hutan. “Satu-satunya cara untuk mengetahui ini adalah menggunakan sensor itu, kalau dilihat dari atas udara, semua terlihat sama.”

Data ini bisa digunakan untuk mengkalibrasi data karbon yang dioeroleh dari satelit dan sistem monitoring. Laboratorium Asner sudah membangun salah satu platform yang secara luas digunakan, yaitu CLASlite, yang menggunakan data dari satelit Landsat NASA.

Kerja sistem CAO ini untuk membantu Kementerian Lingkungan di Peru untuk meningkatkan kemampuannya memonitor deforestasi dan degradasi hutan. Peru, seperti kebanyakan negara dengan hutan tropis memiliki harapan ambisius bahwa REDD akan menjadi sumber pendapatan baru dengan tidak merugikan sumber daya alam, termasuk menjaga jasa lingkungan yang penting termasuk melindungi Daerah Aliran Sungai. Data vegetasi dari CAO akan diberikan kepada Kementerian Lingkungan Peru untuk meningkatkan kemampuan monitoring hutan mereka.

“Hasil yang diharapkan dari penggunaan CAO adalah untuk meningkatkan protokol kami dalam memonitor deforestasi dan degradasi hutan,” kata Doris Rueda dari pihak kementerian. “Informasi yang selalu baru akan membantu memperkirakan kandungan karbon di wilayah ini dan untuk mengidentifikasi wilayah yang terdapat aktivitas ilegal seperti penanaman pohon koka dan pertambangan.”

“CAP juga memberikan dukungan teknis dan keahlian dan membantu pelatihan para tenaga ahli kami untuk melakukan implementasi dari teknologi tersebut.”

Kanopi yang berwarna merah konstan menunjukkan jumlah kandungan biomassa yang tidak terlalu tinggi, kanopi yang berwarna lebih banyak, menunjukkan kandungan biomassa lebih tinggi. Foto: Carnegie Airborne Obervatory

Pemetaan keanekaragaman hayati

Sektor utama yang menjadi ketertarikan Asner lewat penelitian ini adalah, eksplorasi saintifik. “Kami meneliti keanekaragaman hayati di wilayah ini yang belum pernah masuk ke dalam peta.”

Jika terming melintasi area perbatasan antara Amazon dan pegunungan Andes, kia bisa memahami mengapa daerah ini belum pernah dieksplorasi keanekaragaman hayatinya -atau untuk tujuan lain. Permukaannya sulit. Banyak area pegunungan dengan tebing yang curam, dan sungai-sungai yang mengalir sangat deras. Dengan wilayah yang tertutup awan nyaris sepanjang waktu, kendati kini CAO sudah menaklukkanya – kini langitnya bersih. (Belakangan saya baru tahu ini bukan keberuntungan, ini adalah hasil kerja satelit pemecah awan yang bekerja sangat terencana).

Pilot menaiki pesawat dengan melihat garis poin pada rencana penerbangan. Proses penerbangan ini sangat akurat -tim menggunakan sistem GPS yang kuat untuk mengoreksi ketidakakuratan dari sistem on-board. jalur transek tertentu ada di sisi-pendek beberapa mil jauhnya. Jalur penerbangan harus tetap sepenuhnya bebas dari awan agar sensor bekerja maksimal untuk membaca spektral dan kimia hamparan hutan di bawah. Kami terbang bertahap menuruni lereng berhutan. Para pilot harus mempertahankan ketinggian konstan 7.000 meter di atas tanah.

“Kami terbang di atas 500.000 mahkota pohon menit sekarang,” kata Asner sesaat setelah sensor diaktifkan. “Ketika kita mencapai ketinggian yang lebih rendah dari transek, kami akan terbang lebih dari 250.000 pucuk pohon per menit karena pohon-pohon lebih besar di dataran rendah.”

Berada di dalam pesawat jauh lebih mudah daripada memerangi panas, kelembaban, dan hutan di tanah. Tapi pekerjaan ini tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan studi lapangan. Asner berencana untuk memperluas survey ke tempat-tempat di luar Amazon dan akan memerlukan kerja lapangan lebih banyak. Untuk mempercepat proses ini, Asner telah bermitra dengan beberapa kelompok peneliti ilmiah seperti Smithsonian Tropical Research Institute (STRI), yang memiliki lokasi lahan di berbagai negara, dan Missouri Botanical Garden, yang memiliki beberapa ahli botani dunia yang paling mampu.

Pete Lowry, Kepala Departemen Missouri Botanical Garden Afrika dan Madagaskar yang bekerja dengan Asner dan timnya di Madagaskar pada 2010, mengatakan CAO memiliki potensi besar asalkan disertai dengan kerja yang sangat teliti di lapangan.

“Keragaman botani di dua lokasi di mana kita bekerja sangat terdokumentasi dengan baik,” katanya. “Namun, menerapkan metode ini di daerah baru akan membutuhkan uji lapangan yang sangat hati-hati.”

Lowry percaya CAO bisa sangat berguna untuk melihat keragaman jenis pohon total dan dominasi, dan untuk memprioritaskan daerah untuk penelitian lebih lanjut.

“Ini sangat keren, teknologi mutakhir, tetapi kita harus tetap menyadari kenyataan bahwa sementara metodologi yang sedang disempurnakan itu harus sepenuhnya berakar pada pengetahuan tingkat tinggi tentang keanekaragaman botani di tanah.”

Adrian Forsyth, seorang ahli ekologi yang mendirikan dan mengepalai Amazon Conservation Association, yang bekerja di Peru, mengatakan bahwa CAO bisa sangat berguna dalam melakukan penelitian pendahuluan, serta penilaian biologis yang cepat dari daerah yang belum dikenal.

“Hanya ada segelintir ahli biologi lapangan yang mampu melakukan kerja yang baik pada daerah terpencil Amazon, Kongo, dan New Guinea, sehingga permintaan jauh melebihi pasokan,” katanya. “Setiap alat yang memberikan anda pendekatan baru dari besarnya keanekaragaman hayati di dunia, tanpa biaya tinggi dan tanpa harus membawa tim ekspedisi besar, akan menjadi alat yang berharga. Alat ini berguna terutama berlaku di medan yang sangat sulit. Seperti pegunungan New Guinea dan Peru, di mana tidak ada akses jalan tetapi akses sungai. ”

“Dengan kemampuannya yang luas, sistem CAO baru ini membantu kita memahami kimia, struktur, dan keanekaragaman hayati dari hutan di bawah,” kata Asner. “Ini juga dapat memberikan indikasi kesehatan hutan-termasuk bukti air stres serta potensi ancaman dari aktivitas manusia.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,