GREENPEACE mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak memberikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Greenpeace meminta KKP menggunakan wewenang untuk menyelamatkan nasib 10 ribu nelayan yang menggantungkan mata pencaharian mereka dari kawasan konservasi laut itu.
Pemerintah berencana membangun PLTU Batubara, yang diklaim terbesar di kawasan Asia Tenggara. PLTU Batubara akan dibangun di kawasan konservasi laut ini berkapasitas 2 X 1000 MW.
Konsorsium PT.Bhimasena Power Indonesia yang beranggotakan PT. Adaro Power, J-Power, dan Itochu yang ditetapkan pemerintah sebagai perusahaan yang akan membangun PLTU ini.
Puluhan aktivis Greenpeace mendatangani KKP, Rabu(4/7/12) dan melakukan aksi teratrikal dengan membawa replika perahu raksasa kandas. Perahu kandas menggambarkan kehidupan nelayan tak akan berjalan alias kandas dampak PLTU.
Tampak nelayan dan petani, sebagai masyarakat di sekitar akan mengalami kehancuran mata pencaharian. Sebab, kawasan konservasi itu merupakan daerah tangkapan ikan dan lahan pertanian produktif mereka.
Arif Fiyanto, selaku Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia juga berdiskusi dengan KKP, dihadiri Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) KKP Sudirman Saad.
Arif menanyakan, tentang ungkapan Bupati Batang, minggu lalu usai berkunjung ke KKP, bahwa telah mengantongi rekomendasi dari kementerian itu.
Namun, Sudirman tak bersedia menjawab. Dia malah meminta, bukti surat rekomendasi itu. Sudirman hanya memastikan, jika KKP ikut survei susunan wilayah. Nanti, kata dia, naskah akademik ini akan ada uji publik dan presentasi di Jakarta dan Batang. “Silakan Greenpeace juga ikut mengkiritisi.”
Menurut Sudirman, survei ini sudah memasukkan berbagai unsur seperti aspek sosial, dan ekonomi termasuk politik. “Aspek politik prosesnya yang perlu dikawal.” Dia sependapat, jika negeri ini tak boleh jatuh pada segelintir orang-orang yang membahayakan.
Menurut Arif, tanggapan Sudirman, tak menjawab apa yang disampaikan Greenpeace. Dia khawatir, karena di Pemerintah Batang sudah ada peraturan daerah yang memungkinkan PLTU dibangun di kawasan konservasi.
Pembangunan PLTU ini melewati tiga kementerian, KKP, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kawasan ini masuk wilayah konservasi. Kalau mereka bisa dapat izin lokasi dari KKP, maka akan lanjut ke KLH untuk amdal.” Untuk itu, mereka meminta, KKP bisa mengamankan kawasan konservasi dari pembangunan PLTU ini.
Rencana pembanunan PLTU Batubara ini pun, menunjukkan keengganan pemerintah menghentikan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. “Rencana ini jelas bertentangan dengan komitmen Presiden SBY mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia 26 persen tahun 2020,” ujar dia.

Batubara adalah bahan bakar terkotor di planet ini. Selain sebagai penyumbang utama gas rumah kaca, pembakaran batubara menyebabkan dampak kesehatan luar biasa akibat polutan yang dihasilkan seperti Sox, Nox, Mercury, dan PM2.5.
Di India, korban tewas akibat polusi batubara diperkirakan mencapai 85.000 setiap tahun. Di Amerika Serikat, meskipun banyak PLTU Batubara mengklaim menggunakan teknologi lebih bersih, namun kenyataan sekitar 13.000 orang tewas akibat terpapar polutan yang dilepaskan PLTU Batubara.
Kawasan konservasi laut daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Batang, telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut Daerah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Juga Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang RTRW .
“Pengalihgunaan kawasan konservasi ini menjadi lokasi pembangunan PLTU Batubara jelas melanggar perundang-undangan, dan mengancam nasib ribuan masyarakat Batang yang menggantungkan penghidupan mereka dari kawasan kaya ikan ini.”
Tak hanya itu. Pemberian izin pembangunan PLTU Batubara di kawasan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip blue economy yang diusung KKP. “Keberadaan PLTU Batubara di kawasan ini jelas akan merusak ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat setempat.”
