,

Proyek REDD+ Kalteng Banyak Langgar Hak Masyarakat Adat

HAK-hak masyarakat lokal maupun masyarakat adat kerap terabaikan dalam pelaksanaan proyek Demonstration Activities–Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (DA-REDD+) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Misradi, warga Sei Ahas, Mantangai, Kapuas, Kalteng, mengatakan, di lapangan norma hak-hak Free Prior Inform Consent (FPIC) alias persetujuan bebas tanpa paksaan, kerap diabaikan. “Atau dilaksanakan dengan penafsiran sempit, baik itu hak mendapatkan informasi memadai, hak mengambil keputusan secara bebas, dan hak berpartisipasi penuh dalam proyek,” katanya. Misradi mengungkapkan ini dalam workshop membangun dan memperkuat inisiatif masyarakat dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 7 Juli.

Tindakan ini, katanya, melanggar serangkaian kebebasan dasar yang diakui dalam hukum hak asasi manusia nasional dan internasional. Termasuk hak berpendapat, hak atas informasi, hak berkumpul secara damai, dan hak berorganisasi. “Juga hak setara di depan hukum dan peradilan yang adil.”

Misradi mengungkapkan, hak-hak mencari, mendapatkan dan menyebar informasi, di wilayah kerja Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP) di tujuh desa, lima dusun, dua dukuh, seluas 120 ribu ribu hektare, banyak dilanggar. “Korban kebanyakan kaum perempuan,” ujar dia.

Mereka tak pernah mendapat informasi memadai terkait proyek DA-REDD atau REDD+. “Bagaimana pelaksanaan dan siapa pelaksana REDD+, lalu akibat-akibat negatif yang akan diterima serta keuntungan yang akan didapat? Mereka tak tahu.”

Alhasil, pelibatan masyarakat dalam mengambil keputusan dan persetujuan secara bebas tanpa paksaan, dalam proyek pembanguan dan investasi, sering dilanggar. Kondisi ini sudah berjalan sejak orde baru.

Kala orde baru pernah ada proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektare. “Ini juga tak melibatkan masyarakat.” Di Sei Ahas, kata Misradi, sebagian besar masyarakat tak pernah diajak konsultasi pemerintah pusat maupun daerah terkait rencana penetapan wilayah proyek DA-REDD. “Apalagi dimintai persetujuan.”

Masyarakat, baru mengetahui wilayah mereka jadi kawasan DA-REDD setelah para pegawai KFCP sosialisasi program pertengahan 2010. Hingga kini, meski sebagian warga dilibatkan penanaman pohon, namun mereka masih khawatir status kepemilikan tanah dan akses terhadap tanah dan hutan.

DA-REDD di Kalteng merupakan proyek kerja sama antara Indonesia-Australia untuk perubahan iklim atau Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Kevin Rudd, perdana menteri Australia menandatangani perjanjian ini, pada 13 Juni 2008.

Australia mengucurkan $40 juta Australia. Komposisinya, $10 juta Australia untuk persiapan REDD dan $30 juta Australia untuk pengembangan pilot project di Kapuas melalui KFCP. Ada dua misi dalam proyek ini. Pertama, menyusun model pendanaan menggunakan pendekatan berbasis inisiatif pasar carbon. Kedua, merumuskan rencana langkah-langkah pelaksanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Kebijakan pemerintah Australia, proyek ini harus menaati kewajiban-kewajiban HAM internasional, termasuk deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP). Dilaporkan Basri H.D, dari Penggiat Yayasan Petak Danum

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,