,

Penegakan Hukum Kasus Rawa Tripa Lamban

PENEGAKAN hukum dalam kasus rawa tripa seakan tak ada kejelasan dan lamban. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kerusakan lebih parah lagi di kawasan hutan gambut itu. Bahkan, saat ini terjadi pembakaran lagi di rawa tripa.

Demikian diungkapkan Deddy Ratih, Manajer Kampanye Hutan Walhi Nasional. Dia mengatakan, terlihat ada diskriminasi penegakan hukum. Kala pelaku korporasi penegakan hukum lamban. Hukum hanya cepat ketika mengena masyarakat kecil.

Jika kasus seperti ini dibiarkan berlarut, efek jera bagi pelanggar UU Kehutanan, tidak ada. “Setiap pelanggaran mereka bisa selesaikan d atas meja.”Di rawa tripa, justru kejadian pelanggaran terulang. “Pembakaran lahan terjadi lagi,” katanya. “Bagaimana sudah ada bukti tapi penegakan hukum berlarut.”

Contoh seperti ini bisa jadi preseden buruk. “Lamban, hingga bisa jadi penghancuran hutan lebih luas,” ujar dia. Kelambanan inilah yang menyebabkan apapun aturan dibuat pemerintah tak akan efektif.

Dalam pertemuan Satgas REDD+ dan tim Pusat dengan masyarakat dan organisasi masyarakat di Aceh, awal Juli 2012, juga terungkap masalah sama.

Adnan NS, Ketua Yas Sigom Aceh di Nagan Raya mengatakan, proses penegakan hukum terhadap para pelanggar dalam kasus rawa tripa lamban hingga makin menambah kehancuran ekosistem di kawasan itu. “Juga terjadi konflik masyarakat dengan banyak pihak yang memiliki kepentingan terhadap rawa tripa,” katanya.
Senada disampaikan Halim Bangun, perwakilan dari Yayasan Rkosistem Lestari (YEL). Menurut dia, tekanan dirasakan mereka selama kasus Rawa Tripa ini mulai muncul terutama kepada tokoh masyarakat, Ibduh. Ibduh kepala desa yang mendapat intimidasi dari aparat militer di wilayah Darul Makmur – Nagan Raya.

“TNI atas nama Danramil Kecamatan Darul Makmur pada 4 Mei 2012 menelepon Pak Ibduh untuk datang ke Koramil. Danramil menginterogasi banyak pertanyaan seputar pelaporan beliau ke Mabes Polri di Jakarta.”

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar juga menyatakan, penegakan hukum lemah ibarat hukum mata pisau, hanya tajam ke bawah. “Pelaku pelanggaran ini justru belum disentuh.”

Irsadi Aristora Juru Bicara Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) mengharapkan, Satgas REDD dan tim yang bekerja dalam kasus rawa tripa jangan hanya diam.

“Sudah jelas tim menemukan tiga pelanggaran UU atas penerbitan ini yang ditulis dalam rilis Satgas REDD 13 April 2012. Hukum harus ditegakkan.”

Koalisi berharap, segera menindak ataupun mempidanakan Gubernur Aceh dan kroni yang terlibat penerbitan izin di rawa tripa.

Dalam penelusuran, TKPRT menemukan ada 24 pelanggaran atas penerbitan izin ini. “Kami meminta tim dapat menjerat kasus ini dengan pasal korupsi agar efek jera terhadap pelaku menjadi tegas. Hingga tak ada lagi pejabat yang berani melakukan kesalahan ini.”

Dalam pertemuan itu, Direktur Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Gatot Subiaktoro menyatakan, penyidikan kasus rawa tripa oleh Polda aceh dan di-back up langsung oleh Bareskrim Mabes Polri.

“Di lapangan perusahan telah land clearing sebelum ada izin perkebunan telah kami temukan,” katanya. Saat ini, akan diperiksa saksi dan ahli dalam perkebunan dan akan mengirim mereka ke sana. “Tapi sampai saat ini masih belum.”

Gubernur Aceh pada 25 Agustus 2011 mengeluarkan izin usaha perkebunan budidaya kepada PT. Kalista Alam di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya Aceh seluas 1.605 hektare.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,