Kerusakan hutan mangrove Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di nusantara. Luas hutan mangrove Indonesia, berdasarkan survei Kementerian Kehutanan tahun 2006, adalah 7,7 juta hektar, namun dalam survei lanjutan yang digelar tahun 2010 silam hutan mangrove Indonesia kini tersisa tinggal sekitar 3 juta hektar. Hilangnya hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi menjadi lahan perkebunan, pertambakan, dan areal untuk tinggal manusia.
Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Ditjen BPDAS Kementerian Kehutanan RI, Billy Indra mengatakan, 70% kerusakan itu terjadi di luar hutan, dan sisanya terjadi di dalam kawasan hutan.
Kerusakan mangrove di Indonesia, kini merata di berbagai wilayah. Di Riau hutan mangrove mengalami kegundulan cukup parah, antara lain di pinggiran pantai sejumlah pulau di Kabupaten Bengkalis, Meranti, dan Kota Dumai.
“Informasi di lapangan, kegundulan hutan mangrove ini disebabkan maraknya pembalakan dari warga sekitar dengan tidak melakukan penanaman kembali,” ungkap Direktur Kepolisian Perairan Polda Riau Kombes Lukas Gunawan.
Pemerhati lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, kondisi demikian sangat merugikan karena minimnya hutan mangrove di tepian pantai akan berdampak pada luasan abrasi yang pastinya akan semakin parah. “Sebaiknya pemerintah daerah segera melakukan evaluasi dengan meninjau wilayah-wilayah yang mengalami kegundulan. Setelah itu, lakukan penanaman kembali sebelum pulau-pulau di Riau ini tenggelam,” papar Ariful yang juga Direktur Rona Lingkungan Universitas Riau.
Sementara di pesisir utara Jawa Tengah, di sekitar kota Semarang. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, dari luasan hutan mangrove sekitar 5.000 hektar, 90% wilayah ini mengalami kerusakan parah.
Di wilayah Sumatera Utara, sekitar 1.385 hektar hutan mangrove yang berada di kecamatan Bandan Barat Kabupaten Langkat Sumatera Utara, kini rusak, akibat dijadikan kebun kelapa sawit, oleh pengusaha swasta.
“Kerusakan hutan mangrove di Brandan Barat karena dijadikan perkebunan kelapa sawit,” kata Presedium Nasional Reg Sumatera Kelompok Nelayan Tradisionil Indonesia, Tajruddin Hasibuan di Pangkalan Brandan. Tokoh nelayan Langkat itu menjelaskan bahwa kerusakan hutan mangrove karena dijarah dijadikan perkebunan kelapa sawit.
“Terutama yang berada di Desa Lubuk Kertang, Desa Perlis, Desa Kelantan, dan dibeberapa desa lainnya, diperkirakan mencapai 1.385 hektar,” katanya.
Kerusakan itu diperparah pula, dengan penanaman sawit, dan membuat benteng-benteng penahan air, sehingga membuat ratusan nelayan tidak bisa lagi mendapatkan ikan disekitar wilayah mangrove. “Kerusakan itu, dilakukan oleh salah satu perusahaan swasta UD Harapan Sawita, dan KUD Mina Murni,” tegasnya.
Perusahaan swasta UD Harapan Sawita diduga membabat hutan mangrove yang ada mencapai 1.000 hektar, sedangkan KUD Mina Murni, membabat hutan seluas 385 hektar.
Di Kalimantan, hal yang sama juga terjadi. Sebagian hutan mangrove di sepanjang pesisir Kabupaten Kubu Raya hingga ke Kayong Utara, Kalimantan Barat, dirusak. Di sejumlah titik, mangrove yang sudah cukup besar dipotong dan diambil kayunya. Sebagian kayu sudah dipotong dan tunggulnya dibiarkan.
Mangrove di pesisir Kalbar merupakan benteng alam untuk menahan abrasi. Wilayah ini juga merupakan habitat ikan langka Irrawady dolphin atau ikan pesut yang jumlahnya semakin menyusut seiring hilangnya mangrove di wilayah ini.
Kematian hutan mangrove di berbagai wilayah ini, memang secara langsung memberikan dampak bagi masyarakat sekitar. Hutan mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang.
Secara ekonomi, Mangrove membantu dalam pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu tumbuhan di hutan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti
Padahal menurut Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Ditjen BPDAS Kementerian Kehutanan RI, Billy Indra, nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari pelestarian mangrove per hektar cukup tinggi. Jika semuanya dirupiahkan, nilainya mencapai angka Rp1,6 miliar per ha per tahun.
Selain itu, berdasar penelitian yang dilakukan oleh CIFOR dan USDA, hutan mangrove memiliki kemampuan empat kali lipat lebih besar dalam menyimpan karbon dibanding hutan hujan tropis daratan, yaitu antara 800 hingga 1200 ton per hektar.
Dari data satelit terakhir, hutan mangrove Indonesia kini adalah seluas 3,1 juta hektar, atau nomor dua terbesar di dunia setelah Brasil. Luas hutan mangrove Indonesia ini adalah 22.6% dari keseluruhan hutan mangrove yang tersisa di dunia.
Bisa dibayangkan, jika hutan mangrove Indonesia terus menyusut, dunia akan kehilangan nyaris seperempat cadangan karbon dunia dari lahan mangrove Indonesia, plus bonus hilangnya berbagai spesies langka yang mendiami kawasan sekitar mangrove seperti bekantan (Nasalis larvatus) yang hanya ada di Kalimantan, dan ikan pesut yang semakin tidak jelas keberadaannya.