,

Konservasi Orangutan Memerlukan Sebuah Pendekatan Baru


Orangutan di Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler

Konservasi orangutan kini membutuhkan sebuah pendekatan baru. Hal ini terungkap dalam studi di Annals of the New York Academy of Sciences. Kendati ancaman terhadap spesies ini sudah dipahami secara luas di seluruh dunia konservasi –mendapatkan perhatian internasional dalam berbagai bentuk, baik itu penelitian ilmiah, pendanaan, dan upaya-upaya lapangan oleh LSM- para penulis berargumen bahwa ‘kemajuannya sangat lamban’.

Para ahli memprediksi, sebagian besar orangutan akan hilang pada tahun 2025. Hal ini tidak mengejutkan, mengingat ancaman yang serius terus memusnahkan orangutan hingga mencapai 5.250 ekor setiap tahun. Kendati berbagai upaya untuk melindungi hutan sudah dilakukan, namun para penulis melhat bahwa ancaman lainnya justru diabaikan.

Bagi negara kaya, orangutan telah menjadi sebuah symbol deforestasi di Indonesia dan Malaysia, dengan perkebunan kelapa sawit sebagai ancaman utama bagi hilangnya spesies orangutan’, menurut tulisan tersebut. Kelapa sawit menghancurkan hutan tempat bergantungnya orangutan; penelitian ini memperkirakan bahwa 5% dari jarak orangutan telah dikonversi menjadi perkebunan sawit dalam sepuluh tahun terakhir.

Kasus kontroversial terbaru yang terjadi di Rawa Tripa, dimana hutan gambut Sumatera diubah menjadi kebun kelapa sawit, memperlihatkan bahwa upaya pemerintah untuk mencegah konversi hutan menjadi perkebunan telah diabaikan. Kendati demikian, tulisan ini menekankan bahwa meski kelapa sawit memberikan ancaman serius terhadap habitat orangutan, tetapi berbahaya jika kita hanya focus pada satu masalah saja. Dalam penelitian baru-baru ini memperlihatkan bahwa angka perburuan orangutan telah meningkat tajam dan menurunkan kemampuan reproduksi orangutan, yang semakin rendah dibanding mamalia lainnya. Misalnya, antara 700 hingga 3500 orangutan telah dibunuh di Kalimantan, Indonesia, menurut para ahli.

Harus disadari bahwa sumber daya konservasi sangat terbatas, jadi upaya memahami bagaimana orangutan bisa merespons ancaman menjadi sangat penting bagi spesies ini untuk bisa hidup berdampingan dengan manusia.

“(Menyelamatkan orangutan) akan membutuhkan lebih dari sekedar memahami konservasi dalam hitam dan putih, tidak sekedar melihatnya sebagai terlindungi atau tidak terlindungi atau alami atau tidak alami,” ungkap para penulis.

Saat ini, para ahli konservasi seringkali membuat area perlindungan baru dengan asumsi bahwa orangutan tidak bisa menyesuaikan diri dengan kerusakan habitatnya. Tulisan ini membuktikan sebaliknya, dalam penelitian dibuktikan bahwa orangutan bisa bertahan di hutan yang pernah ditebang dan perkebunan monokultur. Menurut para penulis, hal ini membuktikan bahwa orangutan adalah  spesies dengan ‘fleksibilitas ekologis yang baik’.

Saat ini 75% orangutan hidup di bukan wilayah lindung, yang bisa sewaktu-waktu dikonversi, kemampuan toleransi orangutan terhadap gangguan membuat ada harapan tetap hidup saat kesempatan untuk membuat area lindung tidak memungkinkan. Daripada harus mencari habitat lindung baru, para ahli merekomendasikan bahwa penelitian dan sumber daya harus diarahkan pada pembentukan wilayah multifungsi yang menyediakan ‘habitat orangutan yang bak sekaligus bag manusia.’ Dengan pengetahuan yang lebih baik tentang perilaku orangutan terhadap ancaman, manajemen yang baik bisa diterapkan di wilayah non-lindung, dan pada saat bersamaan mengakomodir kepentingan masyarakat lokal, pertanian dan proyek pembangunan.

“Saya ingin melihat adanya keterlibatan manusia, tata guna lahan, nilai ekonomis, peran bisnis dalam konservasi, dan semua hal itu dalam membuat sebuah perubahan,” ungkap penulis utama, Erik Meijaard kepada Mongabay.com. Pada akhirnya, kasus-kasus hilangnya habitat dan perburuan adalah kesalahan manusia: yaitu tata guna lahan yang tidak efisien dan manajemen hutan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia yang memungkinkan terjadinya kerusakan dan degradasi habitat orangutan. Penegakan hukum yang masih lemah juga menjadi penyebabnya, akrena para pelaku bisa melenggangan tanpa hukuman.

Dengan lebih dari 20 tahun pengalaman konservasi di Indonesia, Meijarrd mengatakan bahwa komunitas konservasi harus membangun pendekatan multi-disipliner yang akan menentukan tujuan baru, seperti membangun wilayah multifungsi yang berkelanjutan. Hal ini akan menjadi pemutus dari pendekatan tradisional yang terfokus pada penelitian perilaku dan ekologi yang membuat aktivitas konservasi menjadi “sesuatu yang kebetulan muncul setelah dipikirkan’ dibanding menjadikannya tujuan utama. Di satu sisi upaya para ahli orangutan dan LSM bisa meningkat, para penulis menekankan bahwa tanggung jawab utama untuk melindungi orangutan ada di tangan pemerintah Indonesia dan Malaysia.

Orangutan Kalimantan. Foto:Rhett A. Butler

“Menekan ancaman terhadap orangutan adalah pilihan politik yang memerlukan keterlibatan social dan kerjasama untuk mencari solusi komprehensif yang melibatkan perlindungan yang ketat terhadap habitat kunci., penegakan hukum yang efektif terhadap aktivitas illegal yang berbahaya, dan praktek-praktek penggunaan lahan yang terseleksi,” ungkap penulis.

Sebagai tambahan, tulisan ini juga menekankan adanya sebuah kebutuhan mendesak akan keterlibatan para ahli dari Indonesia dan Malaysia. Seperti dalam tulisan sebelumnya, hanya kira-kira 1% peneliti Indonesia yang muncul jika kita mencari dengan kata kunci “orangutan/orang-utam” dan konservasi”. Para peneliti lokal bisa memainkan peran sangat penting dalam membentuk perubahan social di lapangan dan memancing keterlibatan politis dalam konservasi.

“Kehilangan kera besar dari alam liar akan menjadi sebuah symbol kegagalan,” ungkap para penulis. Diluar adanya kedekatan genetic antara orangutan dan manusia, spesies ini memainkan peran sangat penting dalam ekologi sebagai penyebar benih tanaman dan insinyur ekosistem. Hilangnya habitat orangutan juga merupakan hilangnya habitat bagi spesies-spesies lain yang tak terhitung jumlahnya yang ada di dalam hutan, termasuk spesies-spesies khas Indonesia dan Malaysia. Dan tentu saja, orang-orang yang hidup di sekitar hutan dan tergantung pada sumber daya alam bagi kehidupan mereka.

Dan sama seperti upaya melindungi lainnya, para penulis menekankan bahwa konservasi orangutan tidak hanya sekedar riset, namun juga kreativitas, pemikiran multi-disipliner yang mempertimbangkan ekosistem dan pemegang kepentingan lainnya. Dedikasi para pekerja konservasi telah membawa kesuksesan –seperti memberlakukan perlindungan hukum bagi habitat orangutan- namun jika tujuannya agar spesies ini bertahan di alam liar, maka paradigmanya sudah harus diubah.

CITATION: Meijaard, E., Wich, S., Ancrenaz, M. and Marshall, A. J. (2012), Not by science alone: why orangutan conservationists must think outside the box. Annals of the New York Academy of Sciences, 1249: 29–44.


Cynthia Malone adalah ahli Zoologi dan Antropologi yang tengah melakukan penelitian industri kelapa sawit di Indonesia sebagai rekanan peneliti musim panas di  Center for Sustainability and the Global Environment (SAGE) di University of Wisconsin-Madison.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,