MASYARAKAT adat Tiga Batu Tungku, yakni, Amanatun, Amanuban, dan Molo, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar Festival Ningkam Haumeni. Acara kali ketiga pada 24-26 Juli 2012 ini akan diadakan di Bukit Keramat Mollo, Anjaf-Nausus, Desa Naususu, dengan tema Menuju Kedaulatan Pangan, Air dan Energi.
Festival kali ini, bukan sekadar ajang berkumpul menari dan menyanyi tetapi suatu kesadaran dalam mengedepankan sebuah komitmen adat. Masyarakat Tiga Batu membangun slogan perjuangan dalam festival ini yaitu, “Kami tidak menjual apa yang tidak kami buat.” Di festival ini nanti ada penganan lokal. Orang Kolbano akan membawa ikan. Orang Molo akan membawa pisang, dan lain-lain.
Pantoro Tri Kuswardono, Ketua Panitia yang juga Direktur Lingkar Belajar Masyarakat Bervisi dalam pernyataan pers yang diterima Mongabay di Jakarta, Senin(23/7/12) mengatakan, slogan yang dibangun masyarakat Tiga Batu ini bermakna dalam.
“Batu atau bahan tambang tidak dibuat manusia, jadi tidak ada hak masyarakat Tiga Batu Tungku menjual. Mereka harus membuat sesuatu dahulu baru bisa menjual, maka itulah yang membuat mereka menjadi manusia,” katanya.
Festival ini, katanya, sebuah proses, semacam perayaan peneguhan komitmen masyarakat adat Tiga Batu Tungku tentang komitmen orang-orang yang telah gugur berjuang yang harus dihargai. “Ini juga perayaan komitmen untuk masa depan atas dasar budaya yang telah merek miliki.”
Acara kali ini membahas tentang tenun dan pangan. Kesadaran itu membuat orang berpikir kembali berproduktivitas lewat pertanian dan tenun. Kedua sektor ini merupakan sangat berpeluang dilakukan masyarakat terkait pengelolaan alam. “Tenun bukan sekadar menjadi nilai komersil, lebih dari itu mempunyai nilai filosofi yang dalam.”
Menenun, bukan hanya kerajinan dari benang. Menggunakan kapas dan warna-warna alami menjadi penting. “Ketika pewarna alam itu dari hutan dan hutan tidak ada, tidak ada tenun ikat yang indah dan mahal. Lebih dari itu sejarah identitas dari masyarakat juga punah,” ujar Torry, begitu pria ini biasa dipanggil.
Dalam kegiatan ini, juga menjadi ajang membangun solidaritas antartiga wilayah dalam bertukar pengalaman dalam pertanian. “Misal, mereka saling bertukar bibit, bertukar pengalaman panganan khas, makanan pokok khas, serta bagaimana mereka bisa memiliki dengan rasa bangga.”
Torry mencontohkan, di Fatumnasi, orang tua sudah mengeringkan susu untuk sarapan anak-anak mereka. “Ini jauh lebih hebat dibandingkan yang didapat anak di kota dengan keju pabrik.”
Herry Bertus Naif, wakil panitia juga Direktur Eksekutif Walhi NTT menambahkan, festival ini bagian dari integrasi kekuatan masyarakat adat Tiga Batu Tungku. Ningkam Haumeni itu sendiri menjelaskan bagaimana Ningkam (madu) Haumeni (cendana) adalah sesuatu yang nyaris punah di Timor. “Ini sesuatu yang harus sering diingatkan.”
Jadi, hal-hal bernilai yang nyaris hilang dari peradaban akan terungkap di festival ini. Kegiatan ini juga pengingat, NTT merupakan gugusan pulau kecil hingga tidak cocok bagi pengembangan sektor tambang. “Masyarakat akan menunjukkan pertanian dan yang bisa dibuat untuk menghidupi mereka.”