Hilangkan Stigma ‘Bangsa Maling’ Kemenhut Tingkatkan Sertifikasi Kayu Indonesia

Kendati Kementerian Kehutanan telah mengingatkan kembali tenggat waktu hingga hingga 21 Desember 2012 bagi pengelola hutan untuk memperoleh sertifikat legalitas kayu (LK) berdasarkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan tenggat waktu bagi industri pengolahan hingga 21 Desember 2013, namun sejumlah keberatan masih disampaikan oleh beberapa pihak, terutama pengusaha mebel di Jawa Tengah.

“Kami memperkirakan, jika sertifikasi sistem verifikasi legalitasi kayu (SVLK) diberlakukan sekarang berpotensi mengganggu industri permebelan nasional, termasuk di Kabupaten Jepara,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono kepada AntaraNews.com bulan Maret silam.

Pemberlakuan sertifikat SVLK mulai Maret 2013, menurutnya, terkesan terlalu dipaksakan mengingat masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi, di antaranya pemberkasan SVLK harus melibatkan 22 orang, pembukuan selama setahun juga harus disiapkan, serta biaya pengurusan sertifikat SVLK juga terlalu tinggi karena mencapai Rp50 juta.

Namun di tempat terpisah, PT Sucofindo (Persero) sebagai lembaga sertifikasi kayu menampik pernyataan Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) soal besaran biaya verifikasi kayu dalam implementasi SVLK (sistem verifikasi legalitas kayu) tersebut. Arief Safari, Presiden Direktur PT Sucofindo menyatakan, biaya verifikasi legalitas kayu itu hanyalah Rp 30 juta. ”Kalau Asmindo menuduh biayanya terlalu besar, (disebut) hingga diatas Rp 70 juta, maka itu tidak benar,” kata Arief kepada KONTAN Maret silam.

Kayu siap proses di gudang. Foto: Aji Wihardandi

Arief mengatakan lebih lanjut, biaya verifikasi SVLK mengacu pada standar ISO Guide 65 & 17011, ISO 17011. Tahapan ini mulai dari proses akreditasi petugas, sampai tahapan pengawasan dan akreditasi kayu. Setelah itu, petugas audit dari Sucofindo juga menyelenggarakan periodic audits. Verifikasi yang sudah dilakukan Sucofindo sudah mencakup 48 harmonized system atau pos tarif produk kayu sampai produk panel kayu. Proses verifikasi diwajibkan pemerintah, karena sejumlah pasar ekspor seperti Uni Eropa akan mewajibkan eksportir memiliki SVLK.

Sementara itu bisnis-jateng.com melaporkan, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komisariat Daerah Jepara, Akhmad Fauzi mengatakan sertifikasi SVLK siftanya wajib yang diberlakukan mulai Maret 2013, sehingga  kesamaan visi dan misi semua pemangku kepentingan dalam pengurusan SVLK ini sangat dibutuhkan pengusaha mebel yang berorientasi ekspor. Dengan demikian, lanjutnya, sangat diharapkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut bisa diterima kalangan pengusaha dan dipastikan tidak terlalu memberatkan pengusaha mebel.

Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah harus bertanggung jawab atas kebijakannya itu, dengan memfasilitasi pengusaha mebel, khususnya kalangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam mengurus sertifikasi SLVK tersebut. “Untuk itu, pemerintah diminta memberikan kemudahan bagi kalangan pengusaha mebel dalam mendapatkan sertifikasi SLVK,” ujarnya lebih lanjut.

Berdasar data yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, hingga Juli 2012 baru 63 unit pengelola hutan yang memperoleh sertifikat LK. Padahal terdapat 295 unit HPH, 247 HTI, 4 unit hutan restorasi, dan 3.262 unit hutan tanaman rakyat. Meski masih minim, namun pihaknya yakin dalam waktu dekat pelaku usaha bisa memenuhi ketentuan tersebut.Program sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu yang akan diberlakukan pemerintah pusat mulai 2013 dianggap sebagai ancaman terhadap industri permebelan di Tanah Air. Menurut dia, kewajiban untuk memenuhi sertifikat LK berlaku bagi seluruh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) baik hutan alam (HPH), hutan tanaman industri (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR) maupun hutan rakyat.

Pengumpulan hasil tebangan sebelum diberi barcode. Foto: Aji Wihardandi

Pemerintah Indonesia sendiri, mulai 2009 mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 2,5 hingga Rp3 triliun dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). “Dan semuanya kembali kepada program penanaman kembali,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan kepada AntaraNews.com pada 14 Februari 2012 silam di Balikpapan saat menemani rombongan Menteri Pembangunan Internasional (Department For International Development/DFID) Kerajaan Inggris Andrew Mitchell. DFID mengucurkan tidak kurang dari 2 juta poundsterling selama tahun 2011 untuk membantu berbagai prograk kehutanan Indonesia, termasuk program SVLK.

Tanda kayu tebangan perusahaan sudah mengikuti SVLK adalah dengan dipasangnya bar code (kode batang) pada kayu tebangan tersebut. Selain berisi data tentang kayu yang bersangkutan seperti panjang, diameter, spesies, bahkan hingga hari dan tanggal pohon ditebang dan dari blok tebangan mana, bar code juga berisi tentang iuran dan kewajiban apa saja yang sudah dipenuhi perusahaan.

Bar code-nya baru bisa diterbitkan setelah perusahaan memenuhi semua kewajiban yang digariskan berdasarkan tata niaga kayu,” kata Listya Kusumawardhani, Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan (BIK-PHH) Kementerian Kehutanan RI kepada AntaraNews.com.

Iuran yang wajib dibayar itu antara lain Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) atau disebut juga Iuran Hasil Hutan (IHH). SVLK baru wajib bagi perusahaan yang mencapai produksi atau menghasilkan tebangan hingga 60.000 kubik kayu per tahun.

Perusahaan yang mengikuti SVLK mendapat keuntungan karena kayu produknya atau barang-barang yang dibuat dari bahan baku produknya tersebut mendapat sertifikat Indonesia Legal Wood atau V-Legal Marking.

Lembaga Ekolabel Indonesia, sebagai salah satu lembaga yang mempromosikan serfifikasi kayu dan mendorong manajemen hutan yang berkelanjutan, menyoroti lima poin utama pentingnya penerbitan sertifikat bagi komoditas kayu ekspor Indonesia ke luar negeri. pertama, mencegah illegal logging, karena secara teoritis semua kayu yang lulus verifikasi SVLK statusnya pasti legal.

Kedua, tentu saja, Indonesia akhirnya mempunyai alat yang kuat untuk menyatakan kepada negara konsumen seperti Uni Eropa, Amerika, Jepang, dll bahwa kayu dan produk kayu yang diekspor dari Indonesia terpercaya legalitasnya.

Ketiga, tidak kalah penting, mendidik para pelaku usaha dan juga kalangan pemerintah untuk melakukan praktek pengelolaan hutan yang lebih tertib dan taat aturan main.

Keempat, SVLK menanamkan dasar yang kuat untuk melanjutkan praktek yang benar ini menjadi praktek yang berkelanjutan alias adil dan lestari. Pelaku usaha yang telah lulus SVLK tidak akan terlalu kesulitan untuk melanjutkan kebijakan manajemen perusahaan menjadi kebijakan manajemen hutan yang adil dan lestari.

Kelima, memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah yang mengatur tata kelola hutan dan perdagangan kayu.

Penurunan kayu hasil tebangan di pabrik. Foto: Aji Wihardandi

Sebagai langkah percepatan untuk meningkaykan jumlah perusahaan kayu yang memiliki sertifikat legal, Kemenhut mendorong tumbuhnya lembaga verifikasi legalitas kayu yang menjadi lembaga auditor penerapan SVLK. Pihaknya juga menganggarkan Rp 3 miliar untuk bantuan sertifikasi pengelola hutan skala rakyat.

“Kami  akan mendorong agar donor dari Inggris sebesar 10 juta Poundsterling bisa mendukung sertifikasi usaha skala rakyat,” papar Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Departemen Kehutanan RI, Dwi Sudharto kepada Harian Terbit tanggal 24 Juli 2012 silam.

Dia juga memaparkan, SVLK memberi kepastian bagi pasar Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi Indonesia merupakan produk yang legal.

“SVLK ini untuk menghilangkan stigma negatif yang menyatakan bahwa Indonesia ‘bangsa maling’, karena berdasarkan hasil survei, 80 % kayu dari Indonesia dipasar dunia adalah ilegal,” sambung Dwi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,