Produsen Makanan Norwegia Tekan Belanja Minyak Sawit Hingga 64%

Kampanye lingkungan yang terus digaungkan oleh para aktivis di Norwegia akhirnya membawa hasil. Norwegia, salah satu negara importir kelapa sawit di Eropa Utara kini menekan penggunaan kelapa sawit di 8 perusahaan terbesar penghasil makanan di negara ini hingga 64%.

Yayasan Rainforest Norway dan Green Living yang telah melancarkan kampanye sejak musim gugur tahun lalu telah menjelaskan kaitan erat antara konsumsi kelapa sawit dengan deforestasi yang terjadi di Asia Tenggara. Kampanye ini bertujuan untuk menekan penggunaan dan permintaan minyak kelapa sawit di negara-negara Skandinavia, dimana konsumsi minyak kelapa sawit mencapai 3kilogram per tahun per orang, dan kebanyakan melalui makanan jadi.

Kampanye ini meminta para perusahaan makanan jadi itu untuk membuka penggunaan minyak kelapa sawit mereka, apakah sudah melalui standar ramah lingkungan yang ditetapkan lewat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah sertifikasi yang menetapkan kelapa sawit itu ramah lingkungan atau tidak. Menyusul survey yang telah dilakukan, para aktivis lingkungan ini juga menerbitkan sebuah ‘Panduan Soal Kelapa Sawit’ dimana para konsumen bisa melihat produk apa saja yang  mereka gunakan mengandung minyak kelapa sawit. Upaya ini berjalan melewati standar labeling yang mengizinkan minyak kelapa sawit digolongkan sebagai ‘minyak sayur’ atau ‘lemak sayur’.

Tabel penggunaan minyak kelapa sawit di delapan perusahaan produsen makanan jadi terbesar Norwegia antara 1995 hingga 2011.

Berdasarkan keterangan dari Yayasan Rainforest Norway, kampanye ini berdampak sangat cepat -para produsen makanan di Norwegia mulai megurangi atau bahkan tidak menggunakan minyak kelapa sawit. Stabburet, salah satu pembeli minyak kelapa sawit terbesar di Norwegia kini telah menghilangkan produk ini dari daftar belanja mereka secara total. Sementara Mills, yang kini menjadi pembeli terbesar kelapa sawit di Norwegia, telah memotong penggunaan minyak ini hingga 95%. Secara keseluruhan perusahaan makanan di Norwegia kini hanya membeli 9.600 metrik ton atau hanya 64% dari belanja minyak kelapa sawit sebesar 15.000 metrik ton tahun lalu. Sementara konsumsi per kapita untuk kelapa sawit di Norway, kini tinggal 1 kilogram per tahun.

Kampanye ini hanya menyasar produsen makanan, bukan jaringan makanan cepat saji atau restoran, produsen kosmetik atau produsen makanan hewan.

Lars Lovold, Direktur Yayasan Rainforest Norway, bsa menjadi model yang bisa ditiru di negara-negara lain.

“Para produsen makanan di Norwegia sudah berhasil membuktikan bahwa sangat mungkin menjual dan memproduksi makanan tanpa minyak kelapa sawit, demi menghindari keruskan hutan hujan tropis,” ungkap Lovold. “Pelajaran dari Norwegia ini bisa menginspirasi konsumen di negara-negara lain untuk meminta produk pangan yang tidak berkontribusi dalam kerusakan hutan tropis.”

Minyak kelapa sawit adalah sumber biji yang paling komersial sekaligus produktif, namun telah berdampak pada kerusakan yang parah terhadap hutan tropis dan lahan gambut di Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini menguasai produksi sawit dunia hingga 90%. Para aktivis lingkungan telah menyasar pembeli komoditi ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku industri dunia menuju ke praktek yang tidak merusak alam. Sebagai responnya, para produsen minyak kelapa sawit bekerjasama dengan organisasi lingkungan menciptakan sebuah standar bernama RSPO yang memberikan batasan ramah lingkungan dan sosial bagi para produsen minyak kelapa sawit. Harapannya agar para pembeli bisa mendapatkan minyak kelapa sawit yang baik lewat sertifikasi RSPO. Namun sejumlah aktivis lingkungan mengkritik RSPO karena dianggap tidak cukup tegas dan meminta agar membuat sebuah aturan yang lebih kuat bagi mereka.

Norwegia sendiri adalah salah satu negara yang paling aktif mendukung konservasi hutan tropis. Mereka telah memberikan bantuan dana 3 miliar krone (500 juta dollar) tia tahun untuk menekan deforestasi, termasuk miliaran dollar yang diberikan pada Indonesia dan Brasil untuk berbagai program perlindungan hutan mereka. Namun sayangnya dana pensiun di negara ini masih berinvestasi di sejumlah perusahaan yang terlibat dalam konversi hutan, dan hal ini masih menjadi target bagi para aktivis lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,