Komitmen Negara Maju Buram, Kemenhut Tetap Siapkan Sistem Informasi REDD+

Skema REDD+ yang diyakini bisa menekan tingkat deforestasi di negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis seperti Indonesia masih simpang siur. Mekanisme pembayaran dan penghitungan karbon yang berhasil diselamatkan dalam satuan waktu tertentu oleh negara-negara berkembang ini, masih terus menjadi bahasan yang belum kunjung usai.  Belum lagi terkait dengan masalah komitmen negara maju soal keterlibatan mereka secara serius dalam skema ini.

Aslinya, skema ini direncanakan sebagai sebuah ‘balas jasa’ negara-negara maju terhadap sejumlah negara berkembang yang berhasil menjaga hutan hujan mereka, dengan memberikan insentif yang dihitung berdasar kandungan karbon yang berhasil disimpan dalam tutupan hutan. Namun, hingga kini, komitmen sejumlah negara maju justru tidak jelas.

Seperti dilaporkan oleh Suara Karya tangga 26 Juli 2012 silam, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto menjelaskan, dalam komitmen awal, negara-negara maju akan memberikan bantuan pendanaan kepada negara-negara berkembang hingga 100 miliar dolar AS sampai tahun 2020. Untuk 2012, mereka menjanjikan ada dana 30 miliar dolar AS untuk proyek penurunan emisi gas buang tersebut.

“Namun sampai saat ini, dana itu belum ada juga. Negara-negara maju ternyata mengenakan syarat ketat, terutama perihal pembiayaan, pembangunan kapasitas, dan transfer teknologi,” kata Hadi. Hal ini bertolak belakang dengan komitmen yang disampaikan sebelumnya, tambah Hadi kepada Bisnis Indonesia.

“Sebelumnya, negara-negara maju menyatakan akan memberikan bantuan ke negara berkembang yang berkontribusi pada penurunan emisi CO2. Tapi, sampai sekarang dana itu belum cair juga,” ungkap Hadi Daryanto usai membuka workshop “Pembangunan Sistem Informasi Pelaksanaan REDD+”.

Long Duhung, Berau, Kalimantan Timur. Salah satu wilayah yang menjadi area proyek REDD di Indonesia. Foto: Aji Wihardandi

Kendati belum jelas, Pemerintah Indonesia tetap menyiapkan sebuah sistem informasi safeguards REDD+ yang diharapkan bisa mengantisipasi penyimpangan penyaluran bantuan asing terkait skema REDD+ di Indonesia. Sistem ini diharapkan bisa selesai akhir tahun ini.

Sistem Informasi Safeguards, seperti dilaporkan AntaraNews.com merupakan panduan umum implementasi REDD+ yang disesuaikan dengan kondisi dan kapabilitas nasional masing-masing negara. Selanjutnya evaluasi pelaksanaan safeguards akan dibahas pada forum internasional. Beberapa prinsip safeguards, yaitu tersedianya informasi yang transparan dan konsisten, fleksibel, implementable di tingkat nasional serta dibangun melalui sistem yang sudah ada.

Sejak tahun 2011, Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan GIZ-Forclime telah melaksanakan serangkaian Workshop dan “Focus Group Discussion’ untuk memfasilitasi proses pengembangan sistem informasi tentang implementasi safeguards dimaksud. Workshop yang pertama pada bulan Maret 2011 telah dilakukan identifikasi terhadap instrumen-instrumen dan kebijakan safeguards yang ada di sektor kehutanan di Indonesia. Workshop kedua pada bulan Januari 2012 selain membahas kriteria dan indicator, juga meratifikasi beberapa konvensi internasional yang terintegrasi dengan program kehutanan nasional, penataan kelembagaan untuk mendukung tata kelola yang transparan dan efektif. Terbukanya informasi dan mekanisme partisipasi indigenous peoples dan masyarakat lokal juga menjadi salah satu kriteria yang perlu diaplikasikan pada safeguards REDD+.

Grafik kenaikan emisi karbon di Indonesia. Peta: Land Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF)

Sementara itu terkait upaya penghitungan kandungan karbon di hutan hujan tropis Indonesia, pemerintah berencana memanfaatkan perangkat teknologi Allometric Equation. Bisnis Indonesia melaporkan bahwa kalkulasi volume karbon ini akan menentukan potensi perdagangan karbon yang terus dibahas melalui mekanisme REDD+. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga dapat memperoleh patokan indikator penyerapan karbon dioksida (CO2) dari hutan alam sebagai upaya berpartisipasi menurunkan emisi dunia.

Dirjen Planologi Kemenhut Bambang Soepijanto mengungkapkan peran Indonesia sangat strategis dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dengan menguasai hutan tropis terluas ketiga di dunia. Apalagi, pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada 2020, ditambah dukungan internasional sebesar 41%.

“Penyerapan karbon akan semakin  meningkat apabila nanti sudah terbentuk pasar karbon dalam mekanisme REDD+,” ucapnya dalam workshop Allometric Equation hari ini, Senin 23 Juli 2012 kepada Bisnis Indonesia.

Kementerian Kehutanan menargetkan mampu menyerap 1,24 giga ton CO2 melalui program penanaman 500.000 hektar per tahun. Peningkatan stok karbon itu juga akan mendongkrak potensi ekonomi komoditas karbon dalam beberapa tahun ke depan.

Potensi karbon di hutan Indonesia diperkirakan mencapai 250 ton per hektar dengan proyeksi keuntungan sekitar Rp 20 juta per hektar. Pemerintah tengah mendorong nilai acuan karbon dapat dihargai US$ 8 per ton.

Skema REDD+ sendiri masih menimbulkan pro-kontra di kalangan aktivis lingkungan di Indonesia. Direktur Walhi Kaltim Fathur Roziqin Fen tanggal 18 Juli 2012 silam menyatakan REDD+ merupakan bentuk kesepakatan yang tidak adil. Menurutnya, REDD bukan solusi terhadap persoalan perubahan iklim dan kerusakan hutan. Fathur menilai, skema REDD dimanfaatkan negara maju berbasis industri untuk cuci tangan dari tanggung jawab menurunkan emisi di negara mereka sendiri.

Emisi karbon Indonesia per kapita. Peta: Land Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF)

“Dengan REDD, negara seperti Amerika, China, belakangan menyusul Norwegia dan Australia tidak perlu lagi menurunkan emisi akibat industrinya karena sudah merasa membayar kepada negara berkembang,” jelas Fathur kepada Tribun Kaltim.

Dijelaskan Fathur, REDD merupakan mekanisme insentif ekonomi (dana hibah) yang diberikan kepada negara berkembang guna mendorong pengelolaan hutan secara lestari.

“Ini dana besar dengan nilai triliunan. Apalagi dengan pola REDD +, di mana pihak ketiga (swasta) bisa ikut di dalamnya. Tidak hanya swasta luar negeri, tapi lokal juga bisa. Akibatnya, industri lokal bisa saja sesuka hati melakukan eksploitasi alam, karena merasa sudah memberikan dana hibah,” tegasnya.

Tidak hanya itu, menurut Walhi, REDD akan memperpanjang rentetan konflik masyarakat adat dengan lingkungannya. Skema REDD dianggap akan mengikis kearifan lokal masyarakat sekitar hutan.

Emisi karbon Indonesia dari tahun ke tahun.
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,