,

Komnas HAM Kirim Tim Investigasi ke Ogan Ilir

KOMISI Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Senin(30/7) akan menurunkan tim investigasi menyelidiki kasus penembakan warga Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), yang menyebabkan seorang anak 12 tahun tewas tertembak dan, lima warga luka-luka.  “Tim akan dipimpin Nurcholis dan tiga staf lain,” kata Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu(29/7/12). Sebenarnya, Komnas HAM akan menurunkan tim mediasi. “Tapi sudah terjadi kekerasan dan jatuh korban. Jadi, yang diturunkan diganti tim penyelidikan.”

Guna mencegah tindakan kekerasan berlanjut, Komnas HAM mendesak Kapolri menarik seluruh pasukan birmob dan menghentikan segera bentuk tindakan represif dalam penyelesaian konflik. “Kedepankan upaya dialogis,” ujar dia. Komnas HAM mendesak Kapolri mengusut peristiwa 27 Juli yang menyebabkan satu anak tewas, lima luka-luka.

Komnas HAM juga mendesak Kapolri segera mengevaluasi manajemen pengamanan dalam menangani konflik agraria dan sumber daya alam. Komnas HAM pun mempertanyakan urgensi penurunan brimob dalam penanganan konflik ini.

Dalam Mei-Juli tahun ini, konflik agraria dan sumber daya alam, telah merenggut sekitar lima korban tewas, dan belasan luka-luka. Kasus terakhir, di Kabupaten Ogan Ilir. “Kapan satu kasus harus turun brimob, kapan tidak perlu brimob.  Penempatan brimob pada konflik-konlfik agraria harus dilihat lagi,” ucap Ifdhal.

Dia menilai, penempatan birmob dalam konflik agraria, kurang tepat. Di Kepolisian ada Dalmas, yang lebih memiliki kemampuan pendekatan dialogis dengan warga. “Konflik agraria itu perlu pendekatan, dialog. Perlu negoisasi. Brimob tidak punya kemampuan negoisasi dengan masyarakat,” ucap Ifdhal. Polisi berdalih, saat datang ke Desa Limbang Jaya, warga melempari brimob dengan batu. “Itu bukan alasan untuk membalas dengan tembakan kepada warga.”

Rida Saleh, Wakil Ketua Komnas HAM, mengatakan, kewenangan penurunan birmob ada di tangan Kapolda. Untuk itu, sistem penempatan otoritas juga perlu dievaluasi kembali.

Dia khawatir, hanya karena permintaan dari perusahaan agar menurunkan pengamanan tambahan, seperti brimob, Kapolda langsung menggunakan kewenangan itu. Dia mencontohkan, di Balaesang, Donggala, sebenarnya konflik warga dan perusahaan tambang bisa ditangani oleh Polres.  “Namun, Kapolda langsung menurunkan brimob.”  Begitu juga di Ogan Ilir. Konflik warga dan PTPN VII itu sebenarnya cukup ditangani Polres.

“Sebelumnya juga Polres yang menangani, ada penangkapan memang, tapi tidak sampai kekerasan seperti ini. Tapi, Wakapolda menempatkan birmob. Apa urgensi penempatan brimob ini?” tanya Rida.

Ifdhal mengatakan, insiden 27  Juli, sebenarnya bisa dihindari jika pemerintah dan kepolisian bisa belajar dari kasus terdahulu. “Harusnya itu jadi pelajaran untuk tidak terulang lagi. Ini menyedihkan, terulang.” “Ada Mesuji, Balaesang. Tapi masih terus terulang.”

Melihat konflik agraria makin meningkat, Komnas HAM mendesak Presiden segera merealisasikan Tim Penanganan Konflik Agraria. “Segera evaluasi tumpang tindih kebijakan  yang menjadi sumber konflik agraria.”

Tak hanya itu. Komnas HAM mendesak Menteri BUMN, Dahlan Iskan,  mengevaluasi dan penyelesaian seluruh konflik yang melibatkan PTPN, khusus PTPN VII. “PTPN itu kan perusahaan negara, Menteri BUMN mestinya mengantisipasi dengan mencari jalan penyelesaian,” kata Ifdhal.

Konflik lahan antara warga Ogan Ilir dan PTPN VII sejak 1982. Konflik muncul, karena lahan PTPN VII unit Cinta Manis, diperoleh dengan memaksa masyarakat tani di 20 desa, dalam enam kecamatan menyerahkan lahan kebun karet dan nenas mereka.  Pencaplokan lahan petani secara umum hampir sama. Lahan kebun warga digusur tanpa ganti rugi layak, diwarnai tekanan, intimidasi dan represif aparat keamanan saat itu.

Kekerasan oleh kepolisian bukan kali pertama bagi warga desa Ogan Ilir yang lahan kebun mereka diklaim milik PTPN. Pada 4 Desember 2009,  terjadi pembongkaran pondok-pondok petani yang berbuntut penembakan warga Desa Rengas oleh brimob.

Awal Juli 2012, sekitar 600 petani Ogan Ilir, datang aksi damai ke Jakarta.  Para petani yang tergabung dalam Gabungan Petani Penesak Bersatu (GPPB) ini dari daerah sudah membawa beberapa hasil positif dari perjuangan di daerah.

Pada 29 Desember 2009, BPN Sumsel mengeluarkan surat yang menyatakan, areal PTPN VII di Ogan Ilir yang mempunyai hak guna  usaha (HGU) hanya 4.881, 24 hektare (ha). Izin prinsip mereka seluas 20 ribu hektare. BPN tak akan memproses HGU  sebelum ada penyelesaian klaim dari masyarakat.

Surat yang menguatkan posisi warga juga keluar dari Gubernur Sumsel, 15 Juni 2012. Dalam surat yang ditandatangani Wakil Gubernur Sumsel, Eddy Yusuf ini meminta lahan PTPN VII yang telah diterbitkan HGU di unit usaha Cinta Manis agar dievaluasi. Lahan PTPN VII yang belum terbit HGU agar dikembalikan ke masyarakat. Dalam surat itu, Gubernur meminta agar Kementerian BUMN memperhatikan tuntutan para petani.

Mereka datang ke BPN. Hasilnya, BPN Pusat tak akan mengeluarkan hak guna usaha kepada PTPN sebelum konflik dengan masyarakat selesai. Mereka ke Mabes Polri meminta Polri tak menggunakan kekuatan senjata menghadapi petani. Sebab, lahan itu memang masih dalam konflik. Apalagi, PTPN beroperasi di kebun itu, hampir 30 tahun, sekitar 13 ribuan hektare, belum memiliki HGU. Dari  Kepolisian berjanji akan bersikap netral.

Lalu, mereka mendatangi Kementerian BUMN dan istana negara. Di Kementerian BUMN pada pertemuan pertama tak ada hasil. Lalu, Kementerian BUMN menggagas pertemuan pada 16 Juli.  Pertemuan ini hadir perwakilan petani, jajaran direksi PTPN VII dan Kementerian BUMN. Setelah bicara panjang lebar, dari perwakilan petani, berharap, minimal Kementerian BUMN membentuk tim verifikasi data lahan.  Namun, usulan ini tak dapat diterima. Pertemuan kali inipun kembali tanpa ada kata sepakat.

Petisi di charge.org, yang meminta TNI/Polri menghentikan kekerasan dalam penanganan konflik agraria.

Kekerasan Jangan Terulang di PTPN XIV

Konflik warga dan PTPN tak hanya di Ogan Ilir.  Di PTPN XIV juga terjadi, baik di markas perusahaan di Sulawesi  Selatan (Sulsel) maupun di Maluku. PTPN XIV memiliki tiga wilayah kerja di Sulsel, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Komnas HAM juga mengingatkan, jangan sampai kekerasan sama terjadi di wilayah perkebunan yang tengah berkonflik dengan warga ini. “Di Nahu, Maluku, HGU PTPN sudah selesai. Warga minta lahan dikembalikan, tapi PTPN mulai menanam lagi. Ini potensi pecah konflik,” ucap Ifdhal.

Tuntutan sama terjadi di Takalar, Sulsel. Pada 22 Januari 2012, warga melakukan aksi lagi. Seperti dikutip dari Tempo.co, ratusan warga Polongbangkeng, Takalar, Sulse, pawai di lahan yang dikuasai PTPN XIV di lokasi pabrik gula Takalar. Warga menuntut lahan seluas 4.500 hektare lebih karena  HGU perkebunan itu sudah tidak berlaku lagi.

Sedikitnya ada 400 warga di Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Selatan aksi pawai. Dua kecamatan itu meliputi tujuh desa yang lahannya dikuasai PTPN XIV. Warga berpawai mengendarai sepeda motor dan mematok plang di atas lahan yang dikuasai PTPN XIV. Sengketa lahan antara warga dan PTPN telah berlangsung sejak 2009. Warga mengklaim sertifikat hak guna HGU perusahaan ini sudah habis sejak 2006.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,