RI Bentuk Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Pertama di Asia

KEMENTERIAN Kehutanan, Rabu(1/8/12) mencanangkan Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu (SIVLK) atau License Information Unit (LIU). Sistem online pengelolaan informasi penerbitan V-Legal ini rencana siap beroperasi akhir tahun 2012, guna mendukung implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Indonesia, merupakan negara pertama di Asia, yang menerapkan sistem yang diklaim mampu menekan laju illegal logging maupun logging laundering ini. Dengan sistem ini, kayu, diyakini bisa dilacak mulai tebang sampai produk akhir.

Sistem ini, hasil kerja sama enam kementerian, yakni, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Koordinator Perekonomian.

Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan mengatakan, intensitas perdagangan kayu ilegal di pasar internasional ada kaitan dengan kayu ilegal (illegal logging) di negara produsen seperti Indonesia. Untuk itu, Indonesia, berkomitmen memberikan sertifikasi legalitas kayu dalam sistem administrasi dan pengelolaan kehutanan.

Pengembangan sistem sertifikasi kayu legal Indonesia, sudah dimulai sejak 2001. Ia mendasarkan pada Deklarasi Bali tentang Forest Law, Enforcement, Governance (FLEG) yang dilanjutkan melalui pembicaraan mengenai Forest Law, Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) untuk menekan laju illegal logging dan perdagangan kayu terkait.

Dengan penerapan SVLK ini, kayu-kayu yang dijual maupun diekspor Indonesia, dari asal usul jelas. Pasar kayupun harus adil, dengan tak menerima kayu-kayu ilegal. Negara-negara konsumen utama seperti Amerika Serikat sudah mengamandemen Lacey Act, Uni Eropa dengan Timber Regulation dan Jepang lewat Goho-Wood. Mereka telah memberlakukan aturan yang menegaskan, hanya produk hasil hutan terjamin legal bisa masuk dan diperdagangkan di negara-negara itu.

“Menyusul Australia. Mudah-mudahan dalam waktu dekat Malaysia, China dan negara-negara lain,” katanya di Jakarta, Rabu (1/8/12).

Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, mengatakan, SVLK ini di Asia, Indonesia, merupakan negara pertama kali yang menerapkan. Jadi, kala negara pengimpor, mewajibkan hal sama, Indonesia, akan memiliki keunggulan. “Pasar bisa jauh lebih besar.”  Jika, sistem sertifikasi ini tak dijalankan, pasar kayu Indonesia, jadi tertutup.

Menurut Bayu, untuk perdagangan berbasis sumber daya alam, tak perlu jor-joran tambah volume, tetapi hasil legal dan lewat kelola alam yang baik hingga tak ada eksplorasi berlebihan. “Nilainya akan tinggi.”

Subsidi UKM Rp3 Miliar

Sementara itu, guna memberikan kemudahan kepada usaha kecil dan menengah (UKM) kayu dan produk kayu, pemerintah memberikan subsidi dalam proses pembuatan sertifikasi. Untuk tahun ini, kata Zulkifli, pemerintah mengalokasikan Rp 3 miliar. Namun,  dana ini tak diberikan kepada orang per orang, tetapi asosiasi UKM. Jadi, para UKM kayu dan produk kayu diharapkan bergabung pada asosiasi hingga bisa mengakses subsidi ini.

Menurut Bayu, di Kementerian Perdagangan, juga tengah membahas masalah UKM ini. “Proses memang lebih lama untuk menentukan kode yang pas dalam pemberian SVLK.”  “Kita tidak mau UKM menjadi sulit.”

Dia mencontohkan, perajin kayu di Bali. Jumlah mereka banyak dan kecil-kecil, dengan beragam bahan kayu yang digunakan. “Jadi sekarang sedang dicari sistem yang sama seperti apa.” Namun, dia berharap, awal tahun depan,  sudah selesai.

Menhut, Zulkifli Hasan, dua dari kanan, Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, dan pejabat lain saat jumpa pers di Jakarta, Rabu(1/8/12), usai pencanangan Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu. Foto: Sapariah Saturi

Tak Menjamin

Deddy Ratih, Manajer Kampanye Hutan Walhi Nasional, mengatakan,  jika merujuk pada sistem informasi legalitas kayu (LIU) yang meletakkan harapan akan terjadinya proses perbaikan tata kelola  kayu dan reformasi birokrasi, maka seharusnya di situ, terdapat jaminan kredibilitas, transparansi, akuntabilitas dan ramah terhadap pelaku usaha. “Nah ini kan sama dengan jaminan berusaha buat si pelaku, (namun) di mana letak jaminan legalitas (kayu) nya?

Lalu, dalam SVLK, disebutkan, bahan baku yang dianggap legal atau legalitas, jelas ini merujuk pada prasyarat legal formal dokumen. Dengan kata lain, selama memiliki dokumen legalitas yang dikeluarkan otoritas tertentu, maka kayu itu legal.  Untuk dasar legalitas, dari skema sertifikasi hutan dan industri kehutanan.  “Apa yang dinilai dalam unit sertifikasi?” Yang dinilai atau dilihat oleh sistem ini, yakni, unit manajemen pengelolaan hutan dan atau poduk hasil hutan.  “Apakah unit  ini beroperasi legal atau tidak? “Gimana membuktikan kalau unit ini legal?” tanya Deddy.  Pembuktian, menurutnya adalah melalui dokumen legalitas.

Dia kembali bertanya. “Bagaimana membuktikan jika kayu itu legal atau tidak? Darimana bisa tahu kalau kayu itu tidak dari aktivitas ilegal? Bagaimana lacak balaknya?  Ga jelas.  Jadi, di mana guna sertifikasi itu?”

Menurut Deddy, guna sertifikasi ini, hanya untuk melegalkan bahan baku kayu. “Kan yang seperti ini berbahaya banget. Karena bisa saja kayu dari aktivitas ilegal, dicuci dengan dokumen legalitas.” Tak hanya itu. Jika unit manajemen tidak  melakukan VLK pun tak ada sanksi.  “Lha terus ini apa gunanya? Kan ga ada guna kalau ini ga ada sanksi.” Ditambah lagi, VLK ini belumlah terikat secara internasional.  Dari beberapa kelemahan itu, skema ini dinilai Deddy, tak mampu menjamin kayu itu benar-benar dari aktivitas legal. Ia juga tak bisa menjamin kelestarian hutan.

Lebih lanjut tentang Sistem Informasi Legalitas Kayu, dapat dilihat di sini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,