,

Kasus Ogan Ilir, Komnas HAM Diminta Lakukan Penyelidikan Pro Justisia

SEKRETARIAT Bersama Pemulihan Hak Rakyat Indonesia mendesak  Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan pro Justisia atas penembakan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Konflik PTPN VII dengan warga 20 desa ini menyebabkan penembakan brimob yang menewaskan Angga (12).

Koordinator KontraS, Haris Azhar mengatakan, menurut UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyelidikan pro justisia bisa terhadap sebuah kejahatan kemanusiaan. “Ciri utama dari kejahatan ini serangan ke populasi sipil secara sistematis atau meluas,” katanya dalam pernyataan pers di Jakarta, Sabtu(4/8/12).

Komnas HAM telah mengirimkan tim ke Ogan Ilir, guna menyelidiki penembakan terhadap warga di Desa Limbang Jaya, 27 Juli 2012.  Sekber meminta,  Komnas HAM meningkatkan temuan hasil kunjungan lima hari di Ogan Ilir menjadi upaya pro justisia. “Hingga bisa ditingkatkan ke proses hukum pengadilan HAM kelak.”

Upaya ini penting agar bisa memberikan efek jera yang jujur, bukan sekedar 21 hari atas tindakan pembunuhan terhadap warga. Efek jera penting untuk memastikan polisi tak gegabah memberikan perlindungan kepada kelompok usaha terlebih dengan menerjunkan brimob yang terkenal kerap melakukan kekerasan.

Haris mengatakan, berdasarkan pemantauan Sekber  ada sejumlah hal patut dipertimbangkan oleh Komnas HAM segera melakukan penyelidikan pro justisia.

Tembakan yang mengenai Angga diduga kuat dari jarak dekat. Indikasi ini terlihat dari model luka akibat tembakan yang menembus kepala. Dalam banyak pengalaman forensik, kata Haris, penembakan terhadap Angga diduga dari 30-60 meter menggunakan peluru tajam.  Fakta ini, sesuai temuan masyarakat dan Komnas HAM yang sudah  memeriksa lapangan, dimana ada selongsong peluru tajam.

Temuan dan fakta-fakta  ini, sekaligus membantah pernyataan Polri melalui Kepala Biro Penerangan Umum, Boy Amar Rafli, yang mengatakan jarak angga dan lokasi itu 200 meter.  “Setelah diperiksa, luka di kepala yang membuat Angga meninggal bukan seperti terkena peluru. Luka bocah 12 tahun itu seperti terkena senjata tajam,”  begitu ungkapan Boya Rafli.

Selain itu, upaya Polri memeriksa internal anggota-anggota yang terlibat tidaklah tepat. Pertama, kepolisian tidak akan menerapkan delik kejahatan terhadap kemanusiaan,  sebagaimana diatur dalam UU 26 Nomor 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua, dalam banyak kasus serupa, penghukuman paling tinggi hanya pengurungan selama 21 hari.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,