SEKITAR 570 ribu hektare kawasan hutan di Indonesia, berpotensi hilang alias dilepas fungsi maupun peruntukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2012. Kebijakan ini merupakan perubahan atas PP No 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Lewat aturan ini, keterlanjuran investasi alias izin-izin perusahaan yang kadung diberikan pemerintah daerah (pemda) di dalam kawasan hutan bisa tetap berjalan.
Tri Jojo Mulyono, Direktur Pengukuhan dan Penataan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengatakan, sebelum ada peraturan ini, izin perusahaan-perusahaan ini tak sah karena bertentangan dengan UU Kehutanan. Sebab, izin-izin itu yang ‘terlanjur’ diberikan itu masuk kawasan hutan.
Tri menjelaskan, pemerintah daerah memiliki peraturan daerah (perda) yang kebetulan pola ruang berbeda dengan kawasan hutan setelah revisi tata ruang. Ini dampak pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mencabut UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Pemda, terlanjur memberikan izin-izin kepada perusahaan berdasarkan perda itu, yang ternyata dengan UU Penataan Ruang baru, masuk kawasan hutan. Otomatis, izin-izin itu menjadi tak sah.
Menurut dia, perda itu, sebenarnya sah, karena Kementerian Dalam Negeri tidak pernah membatalkan. Meskipun begitu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi harus tunduk pada UU Kehutanan. “Ini yang akan kita selesaikan lewat PP 60,” katanya di Jakarta, Selasa(7/8/12).
Tri mengungkapkan, ada sekitar 44 perusahaan pemohon pelepasan kawasan hutan yang pernah ditolak Kemenhut, dengan luasan sekitar 570 ribu hektare. Setelah PP keluar , Kemenhut menunggu permohonan dari perusahaan yang pernah ditolak ini. “Selama enam bulan tunggu permohonan mereka. Jika tidak enam bulan tak dikasih pelayanan.”
Jadi, kata Tri, tak berarti seluas 570 ribu hektare kawasan hutan itu serta merta dilepas. Hanya, perusahaan yang masuk skema alias izin sesuai rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP). “Kalau RTRWP sesuai, itu masuk . Kalau selingkuh (izin tak sesuai) RTRWP berarti ditindak,” ujar dia.
Meskipun ada PP ini, katanya, Kemenhut tetap akan mengacu pada aturan umum. Artinya, izin-izin terlanjur ini akan dilihat apakah melanggar perda atau tidak. “Kalau izin sudah melanggar perda, tidak akan ada skema. Bukan dilayani begitu saja…akan dilihat juga izin bupati ini bagaimana,” ucap Tri.
Guna mengantisipasi ‘kebanjiran’ permohonan pelepasan hutan ini, Kemenhut telah membentuk tim adhoc. “Ini untuk menjaga segala kemungkinan.”
Tri membantah, jika aturan ini keluar sebagai wujud kekalahan Kemenhut terhadap perusahaan. Sebab, jika izin-izin terlanjur ini memang melanggar, akan tetap kena sanksi. “Ini bukan kekalahan pemerintah.” “Kemenhut tak ada semangat? Sebetulnya tidak juga.”
Dia menjelaskan, betapa daerah berupaya keras agar RTRWP mereka diterima. Dia mencontohkan, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), menolak hasil tim terpadu. Sebab, tim tidak merekomendasikan investasi ketelanjuran di kawasan hutan menjadi hak penggunaan lain (HPL). “Ini proses lama. Menteri tetap dalam posisi sesuai tim terpadu. Walaupun terakhir ada surat Gubernur ke Presiden.”
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi mengatakan, dengan ada PP ini, setidaknya pemanfaatan kayu yang dulu gratis, kini harus bayar. Juga kebun-kebun sawit di hutan produksi tetap, akan ada lahan pengganti, hingga luasan kawasan hutan untuk hutan produksi tidak menyusut.
Jadi, penerapan PP 60/2012 ini tidak gratis. Sebab, perusahaan sawit yang telah memanfaatkan kawasan hutan dengan izin-izin yang dikeluarkan oleh pemda, tetap harus membayar ganti rugi tegakan atas kayu yang telah dibersihkan tanpa izin pemanfaatan kayu (IPK).
Terhadap kebun-kebun sawit di areal hutan produksi konversi (HPK), tidak perlu lahan pengganti, karena HPK memang merupakan hutan produksi untuk pembangunan non-kehutanan. Namun, kayu-kayu yang telah ditebang di areal HPK oleh pelaku kebun sawit, tetap harus dibayar ketika mereka diberi izin pelepasan kawasan hutan (IPKH). “Jadi, tidak gratis. Negara tidak boleh dirugikan atas kayu yang telah ditebang atau dibersihkan, tanpa izin itu,” kata Elfian.
Terhadap kebun-kebun sawit di hutan produksi tetap atau hutan produksi dan hutan produksi terbatas, pelaku kebun sawit harus mencari lahan pengganti dengan diberi waktu dua tahun. Tentu, tetap harus bayar ganti rugi tegakan atas kayu yang telah ditebang atau dibersihkan oleh pelaku sawit saat mengantongi izin perkebunan sawit dari pemerintah daerah di kawasan hutan.
“Ya, PP ini berusaha menjadi sebagai dasar hukum yang mencoba mengatasi masalah yang menggantung bertahun-tahun.”
Peraturan Pemerintah terkait bisa dilihat di sini