Perubahan RTRW Bogor Berpotensi Ancam Perekonomian Ibukota

Rencana Pemerintah Kabupaten Bogor mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah menuai kecaman berbagai pihak. Seperti dilansir oleh detikNews, Peraturan yang akan direvisi adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Dalam peraturan tersebut, ditetapkan hutan lindung di kawasan Puncak, Bogor, adalah seluas 133.548,41 ha. Dari jumlah 133.548,41 hektar itu, termasuk hutan konservasi 14,24 persen atau seluas 45.559 hektar dan hutan lindung 2,93 persen setara 8.745 hektar.

Sementara revisi RTRW Pemda Bogor bahwa hutan lindung seluas 8.745 hektar di kawasan Puncak akan dikonversi menjadi hutan produksi, pemukiman dan perkebunan. Jika revisi tersebut jadi dilaksanakan, maka hutan lindung di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, terancam hilang. Hutan lindung yang akan diubah menjadi hutan produksi mencakup wilayah Cisarua, Mega Mendung, dan sebagian kawasan Ciawi.

Dengan adanya perubahan ini, maka dikhawatirkan tidak hanya mempengaruhi kondisi di wilayah Bogor sendiri, namun juga wilayah-wilayah di hilir yang bergantung pada kondisi alam di Bogor. Terutama ibukota Jakarta. Berdasar laporan yang dilansir oleh sebuah perusahaan asuransi bernama Swiss Re, Jakarta adalah salah satu wilayah di dunia yang rawan dihantam bencana banjir karena berbagai sebab. Jakarta yang berada di pinggir pantai ini, memiliki 13 sungai dan selalu menghadapi risiko kenaikan permukaan laut. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena kawasan industri Cikarang, di sebelah timur Jakarta, menampung lebih dari 3.000 pabrik yang menghidupi lebih dari 1 juta orang.

Terjadinya banjir di Jakarta, ungkap laporan itu, pada dasarnya disebabkan lima faktor utama. Kelima faktor itu adalah aliran air dari hulu yang melebihi kapasitas sungai, tidak memadainya fungsi saluran drainase serta berkurangnya daerah resapan, sulitnya pemeliharaan sungai karena sebagian bantaran telah berganti menjadi permukiman Dua penyebab lainnya adalah pola pengelolaan sampah yang buruk dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam kebersihan lingkungan, serta kerusakan lingkungan daerah tangkapan air di bagian hulu sungai akibat pemanfaatan yang kurang terkendali.

Terkait dua penyebab utama teratas, perubahan RTRW Bogor tampaknya pantas untuk ditentang oleh banyak pihak. Seperti dilansir oleh Viva News, berkaca dari kasus banjir besar tahun 2007, dampak bencana alam itu memang sangat mencengangkan. Banjir setidaknya telah merendam 454,8 km2 wilayah Jakarta. Belum lagi 221 km2 kawasan di Tangerang, 250 km2 wilayah Depok, Bogor, dan Bekasi. Luasnya terjangan banjir menyebabkan sekitar 590.407 orang menjadi pengungsi. Sementara jumlah korban meninggal mencapai 79 orang.

Dari sisi ekonomi, Bappenas mencatat sejumlah industri, pasar serta PKL (pedagang kaki lima) yang menderita kerugian karena terendamnya pabrik, pasar serta fasilitas perekonomian lainnya. Tercatat kerusakan dialami oleh 75 industri besar, terutama industri otomotif dan elektronik, 560 industri tekstil di sentra industri Cipulir, 2.100 unit usaha mebel yang berada di 24 sentra industri mebel di Jakarta Timur dan Pondok Aren Tangerang, 16.240 PKL di lima wilayah di DKI Jakarta serta 40 pasar tradisional. Perkiraan kerusakan dan kerugian setidaknya mencapai Rp2,9 Triliun.

Dari seluruh perkiraan kerugian yang hampir mencapai Rp5,2 triliun, pemerintah belum menghitung kerugian ekonomi yang dialami sektor usaha dan asuransi yang diperkirakan mencapai US$400 juta atau setara dengan Rp3,6 triliun selama 7-10 hari terjadinya bencana banjir di wilayah Jabodetabek ini.

Tak heran jika Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menentang keras rencana tersebut. Menurut Hatta, perubahan perda yang akan mengalihfungsikan hutan lindung menjadi hutan produksi itu hanya akan membuat bencana bagi warga Bogor, hingga Ibukota Negara, Jakarta. Terlebih, hutan Bogor miliki biota nan langka. “Saya sangat tidak setuju. Apalagi sampai mengubah fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi. Menurut saya, alih fungsi itu akan banyak menimbulkan dampak negatifnya, akan sering terjadi longsor dan banjir,” tutur Hatta kepada JPNN.com

Hatta mengingatkan, sesuai namanya, hutan lindung merupakan kawasan yang harus dilindungi. Di kawasan itu terdapat berbagai cadangan sumber daya alam yang sudah punah di daerah lain. Menurut dia, jika revisi tersebut tetap dilaksanakan, maka akan menjadi ancaman besar bagi masyarakat di sekitar dan bahkan dunia. Mengingat, hutan lindung berfungsi sebagai paru-paru dunia.

“Jangan sampai hutan lindung diubah. Kalau Pemkab Bogor mengubah peruntukan hutan lindung menjadi hutan produksi, maka akan banyak tanaman langka yang hilang. Jadi saya minta perubahan itu tidak perlu dilakukan!” sambung Hatta.

Hal senada juga diutarakan oleh Asisten Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Heru Waluyo yang meminta Pemkab Bogor mengkaji ulang rencana revisi tersebut. Ia menilai, kalaupun jadi melakukan revisi, maka kontrol pemerintah dalam penerapan peraturan itu harus lebih kuat. “Kontrol pemerintah harus diperkuat,” tuturnya kepada detikNews.com.

Heru mengatakan, perlu adanya peningkatan pengawasan perizinan di wilayah Puncak agar kawasan lindung tidak beralih fungsi menjadi pemukiman. Pengawasan yang kurang teliti, akan menyebabkan terjadinya penyimpangan. Seperti yang saat ini marak, bertebaran vila-vila di kawasan hutan lindung. Menurut Heru, banyak kawasan liar di Puncak menjadi beban, dan lambat laun akan dirasakan oleh Jakarta yang merupakan wilayah hilir. Hal itu dirasa perlu menjadi perhatian serius, mengingat kondisi lingkungan di Puncak semakin mengkhawatirkan.

Senada dengan Heru, Kepala Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan wilayah (P4W) LPPM IPB, Setia Hadi berpendapat bahwa revisi tersebut berpotensi menimbulkan banjir besar di wilayah Bogor dan sekitarnya. Setia menentang keras revisi perda untuk kawasan Puncak, terlebih status hutan lindung di wilayah tersebut tidak mengganggu rencana tata ruang yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Bogor.

“Polemik ini kan ternyata tidak menyentuh persoalan mendasar tata ruang kawasan Puncak, karena belum ada dokumen rencana tata ruang wilayah yang dapat menjadi pegangan para pihak terkait pemanfaatan ruang kawasan Puncak,” jelasnya.

Setia mencatat, telah terjadi peningkatan frekuensi banjir di kawasan hilir sejak banyaknya bangunan liar di Puncak. Sehingga masalah itu harus segera ditertibkan. Banyak kawasan hutan lindung yang beralih fungsi menjadi hutan produksi, pemukiman dan kebun. Ia memandang hal itu terjadi akibat tatanan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Alih fungsi lahan merupakan persoalan utama kerusakan ekosistem Puncak.

Namun, rencana tampaknya akan terus berjalan. Menurut jadual, dalam tiga bulan mendatang, draf perubahan rencana tata ruang itu akan diserahkan ke DPRD Kabupaten Bogor untuk dibahas dan ditetapkan.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Subbidang Tata Ruang dan Lingkungan pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Suryanto P di Cibinong, Senin tanggal 23 Juli 2012 silam kepada Kompas.com.

Menurut dia, revisi itu dilakukan untuk melakukan “penyesuaian” terhadap beberapa regulasi yang diterbitkan pascapembahasan RTRW Kabupaten Bogor. “Misalnya ada Perda Provinsi Jabar Nomor 22 tahun 2010 mengenai RTRW Jawa Barat dan ada reposisi kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan. Kami berharap bisa selesai revisi ini pada 2013,” katanya.

Dalam revisi perda itu akan ada penambahan beberapa kawasan strategis seperti Bukit Jonggol Asri dan Maja untuk industri dan permukiman, serta Tamansari dan Pamijahan untuk strategis lingkungan. “Selain itu juga ada penyesuaian Kabupaten Bogor tidak lagi memiliki hutan lindung. Yang ada hutan produksi dan hutan konservasi,” katanya.

Jika ini tetap berjalan, nampaknya Jakarta dan wilayah-wilayah lain yang bergantung pada kondisi tutupan hutan di wiayah Bogor, nampaknya sudah harus bersiap-siap menerima jutaan kubik limpahan air ke ibukota. Seperti dilansir laporan Swiss Re tadi, kerugian ekonomi dan rusaknya berbagai fasilitas ekonomi nampaknya masih akan terjadi lagi di dalam waktu tak terlalu lama.

Rencana Tata Ruang Wilayah Bogor tahun 2005 hingga 2025, bisa diunggah di: http://www.jkpp.org/downloads/perda19-2008_kabbogor.pdf

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,