, ,

Sebagian Besar Titik Api di Kalbar pada Perkebunan Sawit

WALHI Kalimantan Barat (Kalbar) mendeteksi dari 61 titik api tersebar di sejumlah kabupaten dan kota, 34 berada di sekitar konsesi 31 perkebunan sawit skala besar pada Juli 2012. Walhi mencatat, 31 konsesi perkebunan besar itu tersebar di sembilan kabupaten, yakni Bengkayang (2), Landak (5), Sanggau (4), Sekadau ( 1), Sintang (9), dan Ketapang (2). Lalu, Kubu Raya (5), Kapuas Hulu (2), dan Kayong Utara (3).

Sebelumnya, per 20 Juni 2012, Walhi mendeteksi 36 titik api tersebar di delapan kabupaten masing-masing; Sambas (13), Bengkayang (4), Pontianak (4), Kubu Raya (5), Landak (2), Kapuas Hulu (3), Ketapang (3), dan Kayong Utara (2). Sebagian besar di antara titik api ini di sekitar konsesi perkebunan.

Koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan, kabut asap yang melanda Kota Pontianak saat ini, bukan fenomena baru. Sekitar 1997/1998 kabut asap hebat menjadi bencana nasional dan mengusik perhatian dunia internasional. “Dampaknya, Indonesia mendapat predikat sebagai negara pengekspor asap,” katanya di Pontianak, Selasa(7/8/2012).

Pada Juni lalu, kabut asap kembali menyelimuti Kota Pontianak dan sekitar, bahkan hingga lintas negara. Kabut asap itu tidak bertepatan dengan musim membuka lahan pertanian (ladang). Fakta ini, sekaligus membantah tuduhan peladang sebagai biang kabut asap.

“Umumnya, kabut asap itu terjadi karena intervensi manusia, baik sengaja maupun tidak melalui pembukaan dan pembersihan lahan dengan cara membakar. Sangat kecil kemungkinan karena faktor alam,” ucap Adam.

Namun, siapa dalang dan bagaimana proses seringkali menjadi perdebatan panjang. Kesulitan menentukan pelaku penyebab kabut asap berimbas pada penegakan hukum yang mandul di bidang lingkungan hidup.

Di Kalbar, kata Adam, hingga kini belum ada sanksi tegas terhadap pelaku pembakar lahan (korporasi) saat membuka lahan. Meski, tak dipungkiri pernah ada proses hukum seperti kasus PT Buluh Cawang Plantition (BCP) dan PT Wilmar Sambas Plantation (WSP) sekitar 2007 melalui pengadilan.

Namun, kasus itu kandas pada proses akhir perkara.Pada 2011, pernah terjadi kebakaran lahan di perkebunan sawit milik PT Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya. Kasus sama terjadi di PT LG Internasional di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau, dan PT Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak. Bahkan kebakaran lahan sawit di Kampung Engkuning, sudah meringsek hingga ke perkebunan karet produktif warga.

Pembakaran lahan di kebun sawit di Kalbar. Foto: Hendrikus Adam, Walhi Kalbar

Jika ditilik dari rentetan sejarah kebakaran lahan di Kalbar sejak 1990-an, faktor penting yang berkontribusi menjadi penyulut kabut asap adalah pembukaan atau pembersihan lahan di sejumlah konsesi perkebunan skala besar dengan membakar.

Bagi korporasi, pembukaan lahan dengan membakar diakui sangat murah. Kasus seperti ini nyaris tak tersentuh hukum. Pada tataran ini pula benang kusut kabut asap menjadi fenomena.
Adam melihat, kasus ini sebagai bukti komitmen perusahaan dalam mengelola lahan konsesi lemah, khusus dalam mengantisipasi kebakaran lahan. Begitu pula penegakan hukum yang samar atas pelaku kebakaran lahan. “Ini menjadi bukti peran negara tidak optimal dari sisi antisipasi dini maupun penegakan hukum.”

Titik api di sekitar areal perusahaan besar saat ini, mestinya bisa menjadi rujukan langkah kebijakan pemerintah di daerah. “Sejatinya, pemerintah bisa mengantisipasi, monitoring, evaluasi, maupun tindakan hukum tegas kepada perusahaan pembakar lahan.”

Pembakaran lahan PT Ledo Lestari di Kalbar. Foto: Hendrikus Adam, Walhi Kalbar
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,