Pemerintah Siapkan Langkah Reaktif Cegah Dampak Negatif Tambang Lebih Jauh

Bisnis pertambangan, ibarat pedang bermata dua bagi Indonesia. Di satu sisi, bisnis ini menyumbag devisa yang besar bagi negara, apalagi ditunjang dengan kekayaan sumber daya alam Indonesia yang luar biasa. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, ekspor beberapa komoditas mineral meningkat sangat signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Komoditas nikel meningkat delapan kali lipat dari 5 juta ton pada 2008 menjadi 33 juta ton per tahun pada 2011.

Bagi para investor pun, usaha pertambangan di Indonesia tetap memiliki daya tarik tinggi, termasuk para investor asing. Messe Muenchen International (MMI), selaku  penyelenggara International Trade Fair asal Jerman, tahun ini menggelar pameran internasional “ConBuild Mining 2012” di Indonesia“Ini merupakan  kesempatan baik bagi para pelaku usaha di Indonesia untuk melihat langsung tren teknologi terbaru untuk mendukung  usaha mereka. Bagi produsen atau exhibitor, kesempatan ini juga menjadi  platform penting dalam upaya mengenalkan produk terbaru mereka,” ujar Ronald Unterburger, Managing Director & CEO Asia Pasifik MMI Pte Ltd, dalam saat jumpa pers di Jakarta kepada Majalah Eksekutif.

Menurutnya pameran serupa juga pernah diadakan tahun lalu di Indonesia. Ketika itu, antusias pengunjung sangat tinggi dan mampu membukuan transaksi yang signifikan. Tahun ini pihaknya lebih optimistis, karena jumlah exhibitor 30% lebih banyak dan juga didukung promosi yang lebih gencar di sejumlah daerah, terutama penghasil tambang. Namum pihaknya tak memiliki data nilai penjualannya, karena masing-masing peserta pameran tidak melaporkan ke penyelenggara. “Tapi saya optimistis berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, transaksi tahun ini bisa lebih tinggi. Sebab potensi tambang dan peluang investasinya di Indonesia masih sangat besar. Itulah makanya pameran ini kami adakan kembali di sini,” kilah Ronald.

Namun di sisi mata pedang lainnya, berbagai konflik sosial yang memakan korban sebagai akibat sampingan dari bisnis ini masih terus terjadi. Dari catatan Wahana LIngkungan Hidup Indonesia, sepanjang 2011 saja terjadi setidaknya 26 kali konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang yang beroperasi di dekat wilayah mereka. Sebagian besar kasus ini, bermula dari pembebasan tanah untuk pertambangan yang tidak sesuai prosedur, dan berakhir dengan konflik fisik antara warga dan aparat, serta kasus limbah atau buangan yang memberi dampak merusak bagi warga menggunakan air di sekitar pertambangan.

Hal ini, diakui sendiri oleh orang nomor satu negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dilansir oleh Harian Waspada, Medan, “Banyak sekali izin-izin yang bermasalah, ribuan, bukan hanya ratusan. Kita terus benahi dan ini tidak bagus karena menghambat investasi, merusak segalanya,” kata Yudhoyono, hari in. Presiden menuturkan, kasus perizinan pertambangan selama setahun terakhir terus mencuat di berbagai wilayah. Salah satu contohnya adalah kasus kerusuhan Bima di Nusa Tenggara Barat yang sempat menimbulkan gejolak berkepanjangan antara warga dengan perusahaan.

Terakhir, dia menambahkan, adalah kasus perizinan areal pertambangan di Kalimantan Timur yang telah menyeret Presiden ke pengadilan arbitrase internasional. Menurut Yudhoyono, ekses implementasi otonomi yang tidak tepat telah menyebabkan banyak perizinan pertambangan yang dikeluarkan Bupati/Walikota menimbulkan masalah. “Kadang-kadang, ganti bupati ganti izin, ini bom waktu semuanya,” tegasnya. Kondisi itu, dia melanjutkan, diyakini bisa mengganggu iklim investasi Indonesia yang kini tengah gencar dicanangkan pemerintah.Melihat kondisi tersebut, Presiden mengambil keputusan untuk menertibkan izin-izin yang dikeluarkan Bupati/Walikota itu. Gubernur sebagai perpanjangan pemerintah pusat akan diberi kewenangan lebih besar melaksanakan penertiban tersebut. Terlepas dari egoisme presiden yang melihat kasus yang menyeret dirinya, 26 kasus dari catatan media Walhi tersebut, nampaknya lebih banyak memakan korban dari pihak warga.

Peta Persebaran Sumber Daya Alam Indonesia. Peta dari Departemen ESDM

Demi menekan kerugian lebih jauh, dan kendati agak lambat disadari, pemerintah akhirnya mengambil dua langkah penting untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama adalah renegosiasi kontrak tambang yang merugikan negara, dan kedua menyiapkan hilirisasi bagi 185 perusahaan tambang mineral.

Langkah pertama diambil sebagai upaya untuk melakukan pembenahan besar-besaran dalam urusan kontrak agar jadi lebih adil. Meski demikian, prosesnya tentu tidak mudah sebab perusahaan pemegang kontrak tentu memilih melakukan perlawanan hukum atas koreksi tersebut. “Indonesia menghormati norma dam nilai internasional. Namun di sisi lain, kontrak di masa lalu yang sangat tidak adil dan sungguh merugikan negeri ini tentu harus kita bicarakan baik-baik,” kata Presiden SBY dalam safari ramadhan rapat kabinet di Kantor PT Pertamina, Gambir, Jakarta, Selasa 7 Agustus 2012 kepada detik finance.

Langkah kedua, hilirisasi lewat Inpres yang akan mengatur secara lebih rinci target-target hilirisasi tambang mineral, termasuk di dalamnya roadmap pelaksanaan hilirisasi komoditas mineral di lapangan bertujuan untuk memberikan add value yang bisa menambah devisa negara dari mineral. Hal ini diamini oleh Menteri Perekonomian, Hatta Radjasa tanggal 31 Juli 2012 silam pada AntaraNews. Selain bisa menambah devisa negara, hilirisasi tersebut dinyatakan tidak ada kewajiban royalti karena intinya merangsang dan memberikan insentif terhadap industri. “Selama ini investor khawatir apakah di situ juga akan kena, kan nanti jadi kena 2 kali”, kata Hatta.

Lanjutnya, “Saat ini akan segera dibuat roadmap untuk 185 perusahaan yg mengajukan pembangunan smelter, dan Menperin khusus akan membuat roadmap untuk hilir. Jadi dipisahkan. Hulu domain ESDM, sementara hilirnya Menperin”, ungkap Hatta.

Hatta juga mengatakan untuk divestasi tidak akan dikenakan di hilir. Sedangkan tetap seperti peraturan Permen ESDM no 7 th 2012,  raw mineral tetap dikenakan BK 20% sampai 2014. Setelah masuk hilirisasi tidak diperbolehkan lagi ekspor. “Semua harus diproses di dalam negeri, dan seberapa besar tahapan prosesnya, ditentukan Menperin secara bertahap”, ucapnya.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, selain ekspor nikel yang mengalami peningkatan, bijih bauksit naik lima kali lipat dari 10 juta ton menjadi 40 juta ton per tahun. Padahal jika diolah, penerimaan negara dari nikel naik 19 kali lipat dan bauksit naik 30 kali lipat. Hal inilah yang melandasi diterbitkannya Permen 7 dengan spirit hilirisasi.

Sementara itu, anggota Komisi 7 DPR, Dewi Aryani kepada Harian Waspada mengatakan, menganggap masalah ini sebagai masalah biasa yang nantinya akan berlalu begitu saja, sementara kekayaan alam bangsa ini tergerus dan habis di ekploitasi asing yang tidak secara maksimal memberi manfaat untuk kepentingan nasional.

Dia mencontohkan, kasus mandegnya renegosiasi mencerminkan Freeport memang tidak ada niat baik. Menurutnya, saat ini Pemerintah Indonesia mengajukan enam butir Renegosiasi yakni terkait luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi dan kewajiban penggunaan barang atau jasa pertambangan dalam negeri.

“Dari keenam butir renegosiasi tersebut, hingga saat ini hanya butir kenaikan royalti emas yang disetujui oleh PT Freeport. Royalti emas yang awalnya hanya sebesar satu persen, setuju dinaikkan menjadi 3,75 persen dari harga jual per ton, yang sebenarnya sangat tidak signifikan bagi negara,” ungkap Dewi.

Dewi menambahkan, langkah renegosiasi yang dilakukan Pemerintah dengan Freeport ini seharusnya juga dijadikan momentum untuk mereposisi sektor energi di Indonesia. Namun, pemerintah terkesan setengah-setengah menanam keseriusan untuk membawa sektor energi sebagai sektor yang seharusnya diprioritaskan. Padahal, jika Pemerintah memahami dengan benar bahwa energi memiliki interkonektivitas yang kompleks dengan berbagai sektor kehidupan yang lain, maka seharusnya niatan untuk mereposisi sektor energi sebagai leading sector tidak lagi setengah-setengah.

Menurutnya, hal ini karena kegagalan akan menimbulkan eksternalitas negatif kepada sektor lainnya dan akan mengganggu berjalannya proses pembangunan. Dia melanjutkan, keterkaitan energi dengan berbagai sektor lain seperti ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial menempatkan energi sebagai sebuah hal yang keberadaannya perlu diposisikan dalam ruang lingkup kebijakan prioritas.

Kendati demikian, presiden menekankan bahwa pihaknya serius untuk membenahi sektor ini agar lebih adil di masa mendatang. “Kita tak hanya retorika, tapi bekerja sekarang menertibkan kontrak-kontrak yang dibuat puluhan tahun lalu, yang ternyata tidak adil. Ini harus dinegosiasi dengan baik-baik, sehingga menguntungkan,” ujar SBY kepada VivaNews.com.

Data media konflik masyarakat dan tambang dari Wahana Lingkungan Hidup
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,