Target Emisi Karbon Kalah K.O Dihantam Ekspansi Bisnis Kertas Indonesia

Target Indonesia untuk meningkatkan secara signifikan produksi pulp and paper agar menjadikan negara ini penghasil kertas termurah di dunia yang berbasis business-as-usual, sangat berlawanan dengan upaya pembangunan ekonomi hijau yang dicanangkan pemerintah. Hal ini diungkapkan oleh pakar kehutanan dalam pertemuan tahunan Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC) di Bonito, Brasil.

Christopher Barr, direktur LSM Woods & Wayside International, mengatakan bahwa disaat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat sejumlah pernyataan yang “progresif” dan “tampaknya tulus” untuk melawan perubahan iklim, lalu menekan deforestasi dan membangun sektor kehutanan yang berkepanjangan, namun ternyata kepentingan bisnis kehutanan justru telah melemahkan program moratorium dalam pemberian izin baru untuk membuka hutan, dan hal ini membuat kondisi semakin sulit untuk mewujudkan rencana ‘7/26’ dari presiden, yaitu menekan emisi hingga 26% sementara terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi di level 7%.

Program moratorium kehutanan, yang awalnya diharapkan bisa menahan penebangan dan konversi lahan dalam jangka waktu dua tahun, hanya melindungi 14.5 juta hektar lahan gambut dan hutan primer, namun membiarkan 34 juta hektar hutan sisanya tidak terlindungi. Barr mencatat bahwa inisiatif mempertahankan hutan ini sudah dilanggar hanya beberapa minggu setelah ditandatangani saat Kementerian Kehutanan memberikan sinyal untuk menambah sekitar 11.8 juta hektar hutan untuk dikonversi untuk kepentingan Hutan Tanaman Industri, dan menaikkan alokasi total perkebunan di Indonesia menjadi 21.2 juta hektar atau hampir 11% dari luas daratan keseluruhan di Indonesia. Sebagian besar perkebunan tersebut dijadualkan dibuka di Papua, Papua Barat dan Kalimantan Tengah, yang saat ini masih sedikit. Sementara itu industri pulp and paper dilaporkan berencana menggandakan kapasitas produksi mereka menjadi 20 juta metrik ton setiap tahun hingga 2020. Hal ini menjadi sebuah tekanan tersendiri bagi kepadatan karbon di lahan gambut, dan di satu sisi juga semakin sedikit lahan yang diklaim menjadi milik komunitas lokal.

Perbandingan jumlah perkebunan HTI dan Luasan hutan primer yang dilindungi dalam program moratorium.

“Saya sulit membayangkan betapa besarnya ekspansi yang aka dilakukan ini sementara di saat bersamaan harus menekan emisi,” ungkap Barr di dalam seminar tentang pendorong perubahan dalam deforestasi yang diorganisir oleh Mongabay.com. Dia menambahkan bahwa untuk mendapatkan serat yang cukup (yaitu 94 juta meter kubik) untuk memenuhi kapasitas yang direncanakan akan membutuhkan setidaknya 7.1 juta hektar area perkebunan.

Tabel permintaan dan target produksi bisnis pulp and paper Indonesia

Ekspansi bisnis ini sudah berjalan. Grup usaha Asia Pulp & Paper dilaporlan berencana membuka sbuah pabrik pulp dengan kapasitas 1.5 juta metrik ton di Sumatera Selatan, sementara grup APRIL dengan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) baru-baru ini menambah kapasitas produksi dari 2.2 juta ton menjadi 3 juta ton per tahun. Namun tidak seperti biasanya, tak satupun dari raksasa penghasil kertas itu mengumumkan ekspansi bisnis mereka, mungkin hal ini terkait banyaknya kritik yang dilontarkan berbagai organisasi lingkungan terkait dampak negatif bisnis kertas ini terhadap hutan Sumatera, yang sudah terjadi sejak 1985. Pabrik baru di Indonesia biasanya bergantung dari serat yang berasal dari hutan alami sampai mereka berhasil menanam akasia atau eukaliptus di perkebunan mereka untuk memenuhi kebutuhan produksi.

“Biasanya, tipikalnya investasi di bisnis kapasitas produksi pulp muncul lebih awal dibanding perkebunannya,” ungkap Barr.

Model ini berfungsi dengan baik untuk bisnis pulp & paper raksasa ini. Dengan membangun pabrik terlebih dahulu, hal ini membantu perkembangan yang tak terhindarkan bahwa suplai serat harus berjalan, biasanya dalam bentuk kayu murah dari hutan alami. Tujuan utamanya, operator pulp bisa mengancam untuk mendapat pinjaman dalam jumlah tertentu, yang biasanya mencapai miliaran dollar untuk sebuah proyek, atau mereka bisa mengurangi jumlah karyawan jika tidak mendapat pinjaman yang cukup. Sementara itu, komunitas lokal bisa kehilangan akses ke hutan mereka yang sudah masuk ke wilayah konsesi, dan kemudian memancing terjadinya konflik. Dalam kasus yang ekstrim, para pendemo menjahit mulut mereka sebagai bagian dari protes terhadap pembukaan konsesi baru RAPP di Pulau Padang, Riau.

Harga pulp kayu dunia dari tahun ke tahun menurut data World Bank

Berbagai masalah lingkungan yang ditinggalkan oleh produsen pulp & paper di Indonesia juga sangat beragam. APP dan APRIL dinilai oleh para ilmuwan dan pekerja lingkungan telah menghancurkan habitat spesies yang terancam punah, termasuk orangutan Sumatera, badak, gajah dan harimau. Lebih jauh, emisiyang dihasilkan dari pabrik bisa mengerdilkan karbon yang disimpan oleh perkebunan baru, pertanyaannya apakah Indonesia bisa memenuhi target emisi gas rumah kaca dan target produksi pulp & paper secara bersamaan, apalagi ekspansi bisnis ini justru muncul di lahan gambut dan area hutan yang saat ini sudah masuk zona perkebunan.

Lebih lanjut Barr mempertanyakan apakah industri-industri kayu ini bisa menjawab pertanyaan mendasar tadi dengan sangat jelas, dari sisi mana ekspansi bisnis ini bisa dikatakan sesuatu yang sustainable?

“Sejauh mana kapasitas pulp baru akan mengintensifkan tekanan terhadap hutan alam dan lahan gambut?” tanya Barr. “Dan yang terpenting, mampukah pemerintah Indonesia mencapai target reduksi emisi karbon jika industri pulp Indonesia melakukan ekspansi besar-besaran di wilayah dengan padat karbon?”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,