Cahaya matahari masuk dicelah pepohonan jati, bersilih dengan hembusan angin gemerisik yang menembus dedaunan. Udara terasa begitu segar dan bersih dalam keheningan pedesaan Kulon Progo, tempat Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta berada. Suara kicau burung, ocehan siamang, serta jeritan beruk, owa dan orangutan saling bersahutan memenuhi udara. Sebuah ungkapan penanda lapar mulai menyerang. Hewan-hewan ini menanti kedatangan animal keeper (penjaga binatang) mereka untuk memberi makan. Dalam sehari para satwa ini makan dua kali, pada pukul 10.00 pagi dan pukul 14.00 siang. Sebelum jam makan reguler, para penjaga memberikan makanan ringan kepada para satwa ini pukul 7.00 pagi setiap hari. Suara hening sesaat ketika semua sibuk mengunyah sarapan pagi mereka….
Semua satwa ini dulunya berada dalam pengawasan Pusat Penyelamatan Satwa Jogyakarta (PPSJ). Keberadaan Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) berakhir pada tahun 2007, seiring dengan berhentinya kerjasama antara Departemen Kehutanan RI dengan The Gibbon Foundation. Setelah itu, Yayasan Kutilang Indonesia mengembalikan seluruh asset dan program kerja PPSJ kepada The Gibbon Foundation, 27 Februari 2007. Yayasan Gibbon Indonesia selaku pemilik asset dan program kerja PPSJ, menghibahkan seluruh asset dan program kerja di PPSJ kepada Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta, 31 Mei 2010. Saat ini YKAY telah memperoleh pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM RI, No.AHU-1944.AH.01.04.tahun 2010, tanggal 21 Mei 2010.
Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY) adalah sebuah lembaga yang menampung satwa dilindungi yang diambil dari pemeliharaan warga oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) atau pihak kepolisian. Menyewa tanah kas desa seluas 13,9 hektar untuk jangka waktu 20 tahun di Dusun Paingan, Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, yayasan ini beroperasi penuh 24 jam sehari untuk melakukan aktivitas perawatan terhadap satwa-satwa yang berupaya dikembalikan ke habitatnya.
Di lokasi ini terdapat berbagai kegiatan rehabilitasi satwa, yang menurut pihak YKAY sendiri, terkurung dalam kandang perawatan yang memang tidak sebanding dengan habitat asli mereka. Ada tiga macam kandang dalam proses karantina satwa. Pertama, (ketika satwa liar dari luar pertama masuk YKAY), kedua, (ketika kesehatan hewan sudah membaik), ketiga, (ketika satwa liar sudah menunjukkan sifat alaminya dan akan kembali di lepasliarkan oleh YKAY ke habitat aslinya/reintroduksi). Kandang-kandang ini hanya persinggahan sementara, sebelum nantinya dikembalikan kehabitat asli mereka nantinya. “YKAY mengelola dan merebilitasi satwa berpegang pada prinsip agar satwa diperlakukan secara layak sesuai dengan kaidah kesejahteraan satwa (animal welfare) ,” kata Rosalia Setiawati, Public Relation YKAY.
Satwa-satwa yang ada lokasi ini diperolah atas sitaan aparat keamanan dari masyarakat yang memperdagangkannya atau memilikinya sebagai peliharaan, dan serahan langsung dari masyarakat. Satwa yang datang dari pemeliharaan liar ini rata-rata mengalami berbagai masalah kesehatan. Ada yang memiliki bekas luka tusukan, tembakan peluru dan penyakit-penyakit satwa lainnya.
Saat ini ada 135 ekor satwa dari berbagai jenis, mulai dari primata, burung dan reptilia. Satwa tersebut tetap berstatus sebagai milik negara yang dititipkan ke Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta untuk dirawat dan dipelihara. Satwa-satwa tersebut ditangani oleh tenaga terlatih dengan pengawasan dokter hewan dan animal keeper. Untuk menjalankan aktivitas hariannya, yayasan ini didukung oleh berkisar 30 orang karyawan.
Selama berdirinya, yayasan ini telah melepasliarkan seekor elang Jawa setelah 7 tahun penangkaran, sementara orangutan, sejauh ini masih menunggu lokasi hutan yang siap menampung kembali, seiring dengan makin sulitnya habitat akibat alihfungsi hutan menjadi area perkebunan, pertambangan dan pertanian.
Jogja Orangutan Center
YKAY juga menginisiasi berdirinya Jogja Orangutan Center (JOC). Program utama Jogja Orangutan Centre adalah rehabilitasi dan pemeliharaan satwa terutama orangutan dengan program pendukung yakni pendidikan konservasi, pengembangan ilmu pengetahuan dan kampanye konservasi orangutan Indonesia. Dalam menjalankan program utamanya, Jogja Orangutan Centre ingin menjamin kesejahteraan terhadap orangutan. Ada 5 Orangutan Kalimantan di JOC. Kelimanya disita dari warga di Solo, Semarang dan wilayah Jawa Tengah. “Masih banyak transaksi jual beli Orangutan, masih ada yang memlihara, ini mengancam kepunahan populasi mereka,” ujar Rosalia Setiawati.
Pada IUCN Red List edisi 2002, Orangutan Kalimantan dikategorikan “endangered” atau terancam punah. Jumlah orangutan di Kalimantan saat ini berkisar 54.000 individu. Prediksi ahli, jika kondisi itu tidak membaik, maka dalam 10 tahun Indonesia bakal kehilangan hampir 50 persen dari populasi saat ini. Selain itu, jumlah orangutan liar yang terdapat di hutan Sumatera hanya sekitar 6.500 – 7.500 individu saja.
Ada beberapa penyebab semakin menurunnya populasi orangutan di Indonesia. Pertama, pembalakan liar. Kedua, ekspansi penanaman kelapa sawit besar-besaran. Ketiga, perburuan orangutan untuk diperdagangkan.
Saat ini, semakin banyak orangutan yang diperdagangkan, baik secara gelap, maupun terbuka melalui online. “Kebijakan politis pemerintah tidak pernah berpihak pada Orangutan, perusahaan kelapa sawit perlahan menghilangkan habitat orangutan di Kalimantan dan Sumatera,” ungkap Ferry Ardyanto.
Perburuan dan perdagangan gelap orangutan menyebabkan banyak orangutan yang dipelihara oleh segolongan masyarakat. Memelihara orangutan jelas merupakan perbuatan yang tidak bisa dibenarkan oleh undang-undang. Selain melanggar UU memelihara orangutan juga akan membawa persoalan tersendiri bagi orangutan itu. Orangutan yang terlalu lama dipelihara oleh perorangan membuatnya sulit untuk dikembalikan ke habitat asli.
Banyak orangutan yang tidak bisa dikembalikan ke habitat aslinya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan orangutan tidak mungkin lagi dikembalikan ke habitat aslinya. Pertama, usianya sudah tua. Kedua, cacat fisik. Ketiga, menderita down syndrome. Keempat, mengidap penyakit tertentu.
Tidak banyak lembaga yang secara khusus menangani orangutan, apalagi yang tidak mungkin lagi bisa dilepas ke habitat aslinya tersebut. Karena itu, JOC di bawah naungan Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta, mengambil inisiatif untuk menangani orangutan yang tidak bisa dilepas lagi ke habitat aslinya tersebut. “Walupun tidak bisa dilepas lagi ke habitat aslinya, Orangutan tersebut harus mendapat perlakukan yang layak hingga akhir hayatnya,” kata Rosalia Setiawati.
Selain merawat dan merehabilitasi Orangutan, saat ini JOC sedang merencanakan pembangunan dome (kubah) khusus orangutan, dome dengan diameter 125 meter ini akan menampung sekitar 200 ekor orangutan yang sudah tidak mungkin dikembalikan lagi ke habitat aslinya. Dome ini dibuat semirip mungkin dengan habitat alami orangutan di hutan-hutan tropis pulau Kalimantan, sehingga memungkinkan orangutan bisa merasakan “rumah aslinya” sampai menjelang akhir hayatnya. “Dome ini menjadi tempat bagi orangutan yang tidak mungkin di kembalikan ke habitatnya,” kata Ferry Ardyanto, Operational Manager YKAY, saat di temui Mongabay Indonesia di kantornya.
Untuk memenuhi kebutuhan operasional harian , Jogja Orangutan Centre memiliki unit fundraising khusus untuk penggalangan dana dari publik dan usaha-usaha yang sah. Unit fundraising ini dibernama Orangutan Outdoors Camp (OOC). OOC melakukan penggalangan dana dengan menyediakan fasilitas ruang pertemuan, penginapan, jasa outbound training, ekowisata, penggalangan dana. Selain itu, beberapa keperluan medis satwa diperoleh dari donasi beberapa negara luar. “Satwa punya hak untuk dilindungi, beranak-pinak dan hak untuk bebas. Kami ingin masyarakat lebih peduli terhadap pelestariaan satwa, kata Dian Tresno Wikanti, dokter hewan YKAY.
Ke depannya, pengurus YKAY dan JOC berencana mengubah status menjadi Taman Satwa. Dengan perubahan status ini diharapkan koleksi satwa akan bertambah banyak melalui penyerahan satwa-satwa negara dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Kelak, sebagai Lembaga Konservasi berstatus Taman Satwa, pengunjung bisa lebih banyak menikmati koleksi satwa. Walaupun nantinya berstatus Taman Satwa, tugas utama tetap merawat dan merehabilitasi satwa tetap akan dijalankan. “Artinya, satwa yang masih memungkinkan untuk dilepasliarkan akan dirawat dan dilatih agar kelak bisa dilepas kembali ke habitat alaminya,” kata Ferry Ardyanto.
Namun sayang, level deforestasi Indonesia masih di angka setengah juta hektar setiap tahun dari klaim Kementerian Kehutanan RI. Jika Indonesia terus kehilangan hutan dengan tataran seperti ini atau bahkan lebih parah, semakin kecil harapan untuk bisa melihat hewan-hewan ini lepas bebas di rumah mereka di alam raya.
Jika tertarik untuk membantu atau berkunjung, silakan kontak langsung Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta: http://orangutanoutdoorscamp.wordpress.com/ atau http://jogjaorangutancentre.org/ooc/?tag=yayasan-konservasi-alam-yogyakarta