,

Miris, Kapal Perang TNI Angkut Alat Berat Perusahaan Tambang

MUNGKIN dengan harapan warga menjadi takut dan proses pengangkutan lancar, perusahaan tambang pun menggunakan ‘alat transportasi’ kapal perang TNI AL untuk mengangkut alat-alat berat perusahaan. Gejolak dan pertikaian warga pun terjadi.

Peristiwa ini terjadi di  Sulawesi Utara (Sulut), Jumat(17/8/12).  Perusahaan tambang PT. Mikgro Metal Perdana (MMP) asal China, menggunakan kapal perang berlambang Garuda bernama KRI Nusa Utara bernomor 584. Kapal ini mengantar peralatan PT. MMP ke pantai di Desa Kahuku Likupang Kabupaten Minahasa Utara. Kapal ini merapat tepat pada hari kemerdekaan RI.

Hendrik Siregar Juru Kampanye Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, ironis sekali,  pada 17 Agustus, seharusnya aparatur negara, khusus TNI memperingati hari kemerdekaan di kesatuan masing-masing. “Kapal perang 584, justru jadi alat transportasi bagi perusahaan tambang. Kapal perang salah satu simbol kekuatan dan kedaulatan negara, justru tunduk memfasilitasi kekuatan modal perusahaan tambang,” katanya dalam siaran pers di Jakarta, Rabu(29/8/12).

Kehadiran aset TNI Angkatan Laut (AL) membawa alat berat PT. MMP, menimbulkan pertikaian warga. Warga, yang sejak semula menolak rencana operasi PT. MMP, meminta kapal perang ini pergi membawa serta barang-barang itu. Namun upaya warga dihalang-halangi aparat Desa Kahuku juga Kepala Sekolah SMP Nasional Bertsyeba Kahuku, Lansut Ruitang.

Seorang warga, Maria Parede, mengalami cedera akibat tindakan kekerasan aparat desa ini. Beberapa warga pun nyaris baku hantam setelah itu, akibat kengototan pihak yang menginginkan kapal perang membongkar isi muatan.

“Menyedihkan, simbol kekuatan negara hadir seharusnya mampu melindungi dan menyatukan rakyat justru menimbulkan perpecahan yang berpotensi konflik kekerasaan.”

Kehadiran  perusahaan tambang ini, menimbulkan pro kontra di masyarakat. Tak hanya itu,  ada kejanggalan-kejanggalan atas kewajiban-kewajiban prosedur administrasi perusahaan ini. Pulau Bangka, lokasi rencana operasi PT. MMP, berhadapan langsung dengan Taman Nasional Laut Bunaken Tua. “Secara peruntukan saja izin PT. MMP melabrak fungsi kawasan sebagai tempat wisata alam laut,” ujar dia.

Dengan potensi konflik  ini, semestinya pemerintah  bertanggung jawab menjaga keutuhan bangsa dan mengambil langkah tepat agar tidak menimbulkan jatuh korban. Terutama warga yang memiliki hak hidup atas wilayah kelola mereka.

“Kejadian ini bukti kita sudah tidak berdaya melawan pemodal dan menjadikan stigma TNI sudah tidak lagi melindungi tapi menjadi bagian dalam kejahatan perusak lingkungan.”

Kronologis Insiden 17 Agustus

Pagi itu,  sekitar pukul 06.00 di tepi pantai Desa Kahuku KecamatanLikupang,  KabupatenMinahasa Utara,  Sulut, ada ribut-ribut.  Ternyata, seorang ibu, Maria Parede nekat berteriak.  Dia berusaha memperingatkan kepada orang-orang perusahaan dan awak kapal tongkang dengan identitas 584 dan berlambang burung Garuda di anjungan kapal, agar tak bongkar muat alat bor raksasa dan kendaraan tambang milik PT. MMP. Awak kapal yang diduga milik TNI AL ini para anggota TNI.

Maria berusaha dihalau seorang aparat pemerintah Desa Kahuku juga Kepala sekolah SMP Nasional Bertsyeba Kahuku, Lansus Ruitang. Lansut berusaha  melarang dan menghalangi Maria  agar menjauh dari tepi pantai dan tidak menghalangi bongkar muat ini.

Adu mulut antara Maria dan Lansut tak terhindarkan. Lansut emosi dan berusaha memegang tangan kiri Maria kuat-kuat. Dia memutar tangan Maria dengan paksa. Maria terbanting. Tangannya memar dan bengkak.

Melihat kejadian itu, masyarakat serentak emosi dan beramai-ramai memenuhi tepi Pantai Kahuku. Mereka ikut menghalau upaya bongkar muat. Masyarakat lebih memilih berjaga-jaga di tepi pantai ketimbang mengurus persiapan upacara 17 Agustus di desa mereka.

Upacara tertunda beberapa jam, masyarakat bergantian melakukan pengawasan ketat di tepi pantai. Akhirnya Kapolsek Likupang beserta anggota datang untuk pengamanan.

Setelah upacara selesai, sekitar pukul 11 siang di tepi Pantai Kahuku makin banyak masyarakat berdatangan. Sekitar 300 orang di lokasi tempat kapal berlabuh. Mereka terdiri dari warga kontra dan pro tambang. Masyarakat  yang tegas menolak kehadiran perusahaan tambang di Pulau Bangka, ini lebih mendominasi.

KRI dengan nomor 584. Foto: Jatam

Kapolsek Likupang menggelar pertemuan di camp yang dihuni orang-orang perusahaan. Masyarakat yang menolak perusahaan, mengelilingi camp sambil mendengarkan proses musyawarah.  Sesekali masyarakat berteriak agar mengusir orang-orang perusahaan dari Pulau Bangka. Ada yang berteriak “bakar jo tu kapal” dan lain-lain.

Setelah meminta pendapat dari masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan, keputusan masyarakat tetap menolak perusahaan. Warga meminta kapal meninggalkan pulau ini. Meski pertemuan tertutup antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan pemerintah desa sudah dilakukan, BPD tetap meminta kapal harus meninggalkan Pulau Bangka.

Pada pukul 14.00, nyaris terjadi perkelahian antara masyarakat  pendukung tambang dan penolak tambang. Pertikaian diawali karena tidak ada solusi lain selain meminta kapal segera meninggalkan Pulau Bangka. Aparat Polsek Likupang berusaha mengamankan pertikaian  itu dan meminta seluruh masyarakat tetap tenang.

Masyarakat yang menolak tambang masih tetap melakukan penjagaan di tepi pantai selama kapal masih di Pulau Bangka. Pukul 19.00, Maria melaporkan Lansut Ruitang ke Polda Sulut. Penyidik membuat berita acara pemeriksaan (BAP) dan menuju Rumah Sakit Bayangkara untuk visum.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,