Dilema Tambang Karst Gunung Kidul: Kebutuhan Perut Vs Melindungi Alam

Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dikenal sebagai wilayah karst (kapur).  Luas kawasan karst ini sekitar 807 km persegi, atau 53% dari luas Kabupaten Gunung Kidul yang 1.483 Km persegi. Kekayaan akan karst tersebut menjadi daya tarik dari para investor untuk melakukan penambangan batuan gamping di kawasan ini. Ada beberapa perusahaan pertambangan maupun usaha penambangan warga yang melakukan aktivitas eksploitasi karst di Gunung Kidul. Berdasarkan Data inventerisasi dan verifikasi dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (EDSM) Provinsi DI Yogyakarta ada 7 perusahaan yang melakukan penambangan batu gamping dengan jumlah total luas ekploitasi 40 ribu meter persegi. Sedangkan jumlah usaha pertambangan warga  ada 14 usaha yang terverifikasi izin eksploitasinya dengan jumlah eksploitasi berkisar 7 ribu meter pesergi. “Hampir semua perusahaan ini sudah habis perijinannya, akan tetapi masih ada juga yang melakukan penambangan illegal,” Agus Yulianto, kepala bidang wisata dan konservasi, Yayasan Acintyacunyata Speleological Club (ASC), Yogyakarta.

Selain itu, Agus Yulianto menambangkan berdasarkan sifat fisiknya, kawasan karst memiliki fungsi utama sebagai penyimpan air yang memenuhi air baku bagi ratusan ribu masyarakat yang hidup di dalamnya, kawasan ini juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem regional. Namun demikian, kawasan karst merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap perubahan. Aktivitas manusia menjadi ancaman terbesar terhadap kelestarian fungsi ekologi karst. Hilangnya fungsi ekologi karst merupakan bencana bagi kehidupan manusia yang mustahil untuk dihindarkan. “Polemik yang terjadi cukup membingungkan, kalau penambangan berlanjut dampaknya besar terhadap lingkungan, jika diberhentikan warga tidak ada lapangan pekerjaan,” kata Agus.

Sunaryanto, penambang di Kecamatan Ponjong, Wonosari mengatakan, warga dihadapkan pada kondisi sosial yang cukup berat untuk memilih antara melakukan penambangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari atau terus menambang akan tetapi berdampak pada kerusakan wilayah karst di Gunung Kidul. Kami tahu bahwa kawasan karst merupakan kawasan yang dilindungi oleh perundang-undangan. Kami juga ingin berhenti melakukan penambangan jika ada usaha lain yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Kami ingin berhenti, kalau sudah ada kegiatan usaha lain untuk memenuhi kebutuhan harian,”kata Sunaryanto.

Untuk melindungi kawasan karst dari aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, pemerintah sebenarnya telah membangun regulasi yang mengatur tentang perlindungan kawasan karst, baik secara pengelolaan maupun kebijaksanaan yang terkait penataan ruang. Peraturan terbaru yang memuat tentang perlindungan kawasan karst adalah PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan ini cukup ketat dan membawa angin segar bagi kelestarian kawasan karst. Pasalnya, dalam Peraturan Pemerintah ini, tidak lagi dikenal Kawasan Karst Kelas I, Kelas II atau Kelas III. Dalam peraturan ini, semua bentang alam karst dan goa termasuk dalam “Cagar Alam Geologi” (Pasal 60 ayat 2 poin C dan F). Selain itu pemerintah Kabupaten Gunung Kidul sudah menegeluarkan Surat Edaran (SE) pelarangan penambangan pada 7 Februari 2011.

Selain itu sebagai bentuk upaya perlindungan kawasan karst di wilayahnya, Pemerintahan Kabupaten Gunungkidul sebenarnya telah berada pada jalan yang benar, yaitu dengan memberlakukan larangan terhadap aktivitas penambangan batugamping. Dalam rancangan RTRW Kabupaten Gunungkidul, lokasi penambangan yang sekarang ada bahkan sudah dicantumkan sebagai Kawasan Lindung.

“Pemerintah perlu tegas dengan aturan yang ada. Sudah ada rencana kegiatan pemberdayaan warga pasca tambang karst di tahun ini. Perlu dialog konprehensif semua elemen LSM, pemerintah, warga dan perusahaan untuk hasilkan kesepakatan menjaga kawasan karst dan menghentikan penambangan,” Kata Agus mengakhiri pembicaraan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,