,

Lahan Pertanian di Sumatera Barat Dilibas Tambang

TAMBANG makin ekspansif di mana-mana. Tak hanya membabat hutan, kini lahan pertanian seperti sawah dan kebun sayur mayur pun jadi sasaran. Ini sudah terjadi di Sumatera Barat (Sumbar), seperti di Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung.

Di Kabupaten Solok, dua perusahaan tambang biji besi hadir di Kenagarian Simpang Tanjung Nan IV, sekitar 222 hektare lahan produktif masyarakat terancam.  Di Kabupaten Sijunjung,  sekitar 548 hektare persawahan sudah dikonversi menjadi pertambangan emas.

Di Kabupaten Pasaman Barat, sekitar 11.000 hektare lahan sebagai areal pertambangan, Kabupaten Pesisir Selatan 320 hektare. Lalu, di Kabupaten Solok Selatan sekitar 274 hektare dan Kabupaten Dharmasraya  sekitar 22.509 hektare lahan siap jadi pertambangan.

Foto: Walhi

Desriko, Kordinator Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar mengatakan, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba),  wujud menata kembali usaha-usaha pertambangan yang sudah meresahkan masyarakat di Indonesia.  “Pelanggaran dan pengabaian hak-hak konstitusional masyarakat di sekitar tambang kerap terjadi. Ini memicu konflik berkepanjangan,” katanya dalam rilis di Jakarta, Senin(10/9/12).

Dia mencontohkan, konflik pertambangan di Kenagarian Simpang Tanjuang Nan IV, Kabupaten Solok. Sejak pertambangan bijih besi ada setidaknya tiga warga ditangkap Kepolisian karena mencoba menghalangi usaha ini. “Kearifan lokal terhadap pengelolaan sumber daya alam diabaikan bahkan intervensi-intervensi dari kelompok pendukung tambang kerap dilakukan kepada ninik mamak yang menolak usaha pertambangan di wilayah mereka.”

Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, mengatakan, biaya politik yang mahal untuk menjadi seorang pejabat kepala daerah kerap mengorbankan SDA. “Dengan dalih peningkatan pendapatan daerah membukakan keran investasi tanpa mempedulikan keberlanjutan umur SDA itu.”

Foto: Walhi
Foto: Walhi

Menilai usaha tambang baik atau buruk, kata Pius,  tidak terlepas dari daya rusak yang dimunculkan. Untuk mengetahui mesti merujuk pada kondisi awal sebelum hadir dan setelah ada pertambangan, lalu diukur dengan kerusakan langsung dan tidak langsung. “Kita akan temukan ternyata orang yang paling diuntungkan adalah pemilik modal, sebab saat pertambangan berakhir, pengusaha leluasa meninggalkan wilayah-wilayah yang sudah dikeruk,” ujar dia.

Sedang masyarakat sekitar mengalami kerugian tak terhingga, seperti tanah yang dulu jadi lahan pertanian atau sumber ekonomi, tidak lagi dapat diusahakan. “Muncul penyakit baru yang dulu tidak pernah dialami di wilayah itu, kerusakan ekologis, tercemar tata air setempat dan lain-lain.”

Ancaman lahan pangan ini,  tak terlepas dari kelambanan pemerintah menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Pertambangan Minerba, yang telah dikeluarkan 4 Juni 2011. MK menyatakan,  pemerintah harus memfasilitasi konkrit agar persetujuan atau ketidakpersetujuan masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan.

Untuk itu, perlu Peraturan Pemerintah tentang penetapan persetujuan masyarakat atas wilayah pertambangan. “Jalan lain agar pemerintah segera revisi PP no 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. Ini agar penetapan pendapat masyarakat terdampak tambang bisa diakomodir.”

Foto: Walhi
Foto: Walhi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,