,

Warga Halangi Penggusuran Paksa Lahan Desa Muara Tae

“Bu, pagi ini kami mendengar laporan warga yang berjaga bahwa MWJP menggusur lahan lagi. Lahan yang digusur yang sudah kami dirikan pondok jaga agar perusahaan tidak menggusur sembarangan. Lahan tidak pernah kami jual atau hibahkan kepada mereka.” Demikian sebagian pesan singkat yang masuk ke telepon seluler Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur (Kaltim), Margaretha Seting Beraan, Sabtu(22/9/12).

Laporan itu datang dari petinggi di Desa Muara Tae, Masrani. Masrani mengatakan,  warga menjumpai dua buldoser  sedang bekerja. “Kami tahan dan kunci kami ambil sebagai bukti keberatan. Kami akan melaporkan kasus ini ke Kapolsubsektor Jempang agar penggusuran paksa ini segera di hentikan. Kalau bisa, tahan Pak Mathias sang manager umum PT MWJP yang dengan sengaja mengabaikan keberatan kami,” katanya dalam pesan singkat yang dikirim.

Menurut dia, beberapa kali mereka mengirim surat penolakan dan mencoba menemui manajer umum perusahaan, tetapi tak pernah berhasil. “Jadi kami melihat tidak ada niat baik ikut menyelesaikan permasalahan ini.”

Menahan kunci buldozer, salah satu cara  warga memberitahukan kepada PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP) agar menghentikan penggusuran.  “Datang ambil sendiri kunci ke kampung agar bisa ketemu kami untuk bicarakan tentang penyelesaian konflik ini.”

Konflik warga dengan PT MWJP kembali memanas.  Perusahaan sawit ini seolah tak peduli atas penolakan warga. Mereka tetap saja menggusur lahan masyarakat sekitar.  Beragam cara dilakukan warga untuk menghentikan operasional perusahaan ini. Mereka berusaha mencari kata sepakat atau penyelesaian konflik ini.  Warga telah melapor sampai ke Kapolda Kaltim.

Seting mengatakan, selain PT MWJP, di sana  beropersi juga PT. Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ) yang turut menggusur tanah warga secara paksa. Kebanyakan warga yang digusur tidak pernah menyerahkan tanah kepada kedua perusahaan ini.

“Jadi ketika penggusuran terjadi mereka kaget dan marah. Beberapakali perusahaan didatangi tapi tak ada penyelesaian yang jelas dan tak ada komitmen dari kedua perusahaan ini menyerahkan kembali tanah masyarakat yang digusur,” ucap Seting lewat surat elektronik.

Masyarakat,  kerap menghentikan operasional perusahaan di lapangan karena menggusur lahan mereka dengan semena-mena.  Saat dihentikan,  para sub kontraktor di lapangan berdalih hanya mengikuti perintah pimpinan. “Setiap kali pimpinan dihubungi, HP selalu non aktif atau susah dihubungi di camp perusahaan.”

Menurut dia, sudah dua tahun kasus ini berlarut. Belum ada kata sepakat antara perusahaan dengan warga. Bahkan, kedua perusahaan menggunakan Brimob  dalam menjaga operasional mereka di lapangan agar tidak dihentikan masyarakat.

“Cara-cara yang ditempuh perusahaan ini bentuk pelanggaran hukum dan HAM. Kedua perusahaan harus ditindak secara hukum oleh aparat keamanan, bukan justru berpihak pada perusahaan.”

Kisah masyarakat Muara Tae yang terhimpit kehadiran perusahaan bisa dilihat di sini

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,