“HIDUP petani.” “Hidup.” Hidup petani.” “Hidup….” Teriakan pengorasi disambut petani. Silih berganti. Suasana riuh. Ribuan massa petani dari berbagai daerah berkumpul di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat di Jakarta, Senin(24/9/12). Usai berorasi, sekitar pukul 12.00, mereka kembali ke bus dan melanjutkan aksi di depan Istana Negara.
Sekitar 3.000 an petani dan nelayan ini berunjuk rasa damai memperingati Hari Tani Nasional. Beragam bendera dan poster mereka bawa. “ Utamakan hak asasi petani segera!” “Setop perampasan lahan.” “Setop penggusuran pertanian rakyat.” “Selesaikan kasus sengketa lahan segera.” “ Distribusikan lahan telantar segera.” “Lahan sempit petani terjepit.” Begitu sebagian spanduk-spanduk tuntutan para petani ini.
Mereka rela meninggalkan pekerjaan demi menyuarakan keinginan di Hari Tani ini. Tisnawan, petani dari Desa Karangnunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat (Jabar) berangkat, Minggu(23/9/12), pukul 06.00 sore. Tiba ke Jakarta, Senin(23/9/12) pukul 03.00 pagi. Lalu bergabung dalam aksi yang dimulai pukul 08.00. Dia datang bersama istri, Ncum. “Saya ingin tanah kembali ke masyarakat lagi,” katanya.
Tisna, sehari-hari menanam singkong, ubi dan lain-lain. “Tergantung musim.” Kadang dia menjadi buruh tani padi. “Per hari biasa dapat Rp25.000, kerja dari pukul 7.00 sampai 12.00,” ujar dia.
Tisna sudah lebih 10 tahun bertani di sana, pindah dari Bandung. Namun, dia tak memiliki lahan. Jika bertani, Tisna menanam di lahan yang masuk konsesi PT Pernas. Dia berharap, pemerintah memperhatikan nasib petani kecil.
Aksi kali ini tak hanya para petani. Siswa SMP dan SMA maupun mahasiswa pun ikut andil. Mereka merasa perlu bersuara agar pemerintah peduli petani kecil.
Sri Wahyuni, dari SMK Pesawahan, Jabar, sebuah sekolah yang didirikan oleh Serikat Petani Pesundan (SPP), merasa terpanggil ikut aksi Hari Tani ini. Sebab, kedua oranguta petani dan sekolah yang dibentuk oleh SPP.
Dia merasa wajib, generasi muda tani ikut andil bahkan ikut memajukan pertanian di negeri ini. Sri ingin pemerintah serius memperhatikan rakyat petani. “Pemerintah harus pro petani, pro rakyat.”
Dalam pernyataan sikap Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Rakyat Indonesia (PHRI) menyebutkan, masalah utama agraria (tanah, air, dan kekayaan alam) di Indonesia, adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber di tangan segelintir orang dan korporasi besar. Padahal, puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah.
Kondisi tambah parah, kala perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi. “Perampasan tanah ini terjadi karena persekongkolan jahat antara pemerintah, DPR-RI dan korporasi,” kata Juru Bicara Sekber, juga Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Abetnego Tarigan.
Mereka, katanya, menggunakan kekuasaan untuk mengesahkan berbagai Undang-undang seperti UU No.25/2007 Penanaman Modal, UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sampai UU No. 4/2009 Mineral dan Batubara. Terbaru, pengesahan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
“Keseluruhan perundang-undangan ini sesungguhnya melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa. Semua hanya untuk kepentingan para pemodal.”
Cetak biru, secara vulgar memperlihatkan skema sistematis perampasan tanah dan pelayanan kepada pemodal, seperti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang selalu dijual pemerintah dalam forum kapitalisme global.
Perampasan tanah berjalan mudah karena pemerintah pusat dan daerah serta korporasi tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian dan pam swakarsa. Mereka membunuh, menembak, dan menangkap serta bentuk-bentuk kekerasan lain jika ada rakyat berani menolak dan melawan perampasan tanah.
Kasus di Mesuji dan Bima, bukti Polri tidak segan-segan membunuh rakyat yang menolak perampasan tanah. “Ini terjadi karena Polri secara jelas dan terbuka menjadi aparat bayaran perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan,” ujar dia. “Kasus PT.Freeport dan Mesuji Sumatera Selatan membuktikan bagaimana polisi telah menjadi aparat bayaran.”
Menurut Abet, cara-cara pemerintahan SBY-Boediono dalam merampas tanah dengan menggunakan perangkat kekerasan negara, sesungguhnya sama dan sebangun dengan rezim fasis orde baru.
“Kami menilai perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa yang terjadi sekarang ini bentuk nyata perampasan kedaulatan rakyat.”
Bagi kaum tani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan, perampasan ini membuat mereka kehilangan tanah dan kawasan laut yang menjadi sumber kehidupan.
Bagi kaum buruh, perampasan tanah dan kemiskinan petani pedesaan sumber malapetaka politik upah murah. “Sistem kerja out sourcing yang menindas kaum buruh selama ini,” ucap Abet.
Untuk memulihkan hak-hak rakyat Indonesia yang dirampas ini harus segera dilaksanakan reforma agraria, pembaruan desa demi keadilan ekologis. “Pembaruan agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, untuk kepentingan petani, buruh tani, perempuan dan golongan ekonomi lemah.”
“Pembaruan agraria adalah mengutamakan petani, penggarap, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat golongan ekonomi lemah lain untuk mengelola tanah, hutan dan perairan sebagai dasar menuju kesejahteraan dan kedaulatan nasional.”
Aksi di daerah
Aksi serupa tak hanya di Jakarta. Juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku, tersebar di 21 provinsi. Bahkan, di Medan, Sumatera Utara (Sumut), petani sempat bentrok dengan polisi.
Dikutip dari Bisnis.com, petani dari Komite Tani Menggugat (KTM) yang menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumut terlibat saling dorong dengan personil kepolisian dari Polresta Medan.
Peristiwa berawal ketika massa dari KTM berusaha masuk ke kantor Gubernur untuk bertemu Plt Gubernur, Gatot Pujo Nugroho. Aparat kepolisian menghadang. Saat itulah terjadi aksi saling dorong antara kelompok tani dengan aparat kepolisian yang berjaga-jaga. Kepolisian menyemprotkan air dari water canon.
Ratusan petani KTM dalam pernyataan sikap menyampaikan kurang lebih 2400 kasus tanah di Sumut belum ada penyelesaian jelas dari pemerintah. T Simamora, koordinator aksi KTM, mengatakan, konflik agraria lahan eks HGU PTPN II di Deli Serdang, kasus tanah masyarakat Padang Lawas, di Kabupaten Labuhan Batu dan Serdang Bedagai, sampai saat ini belum diselesaikan.
“Perlawanan rakyat untuk memperjuangkan hak justru mendapatkan reaksi yang diluar nilai-nilai kemanusiaan, gerakan rakyat justru direspon dengan tindakan represif dan kriminalisasi aparat kepolisian dan TNI, serta intimidasi dari preman bayaran.”
Di Sulawesi Tengah, Sekber PHRI terdiri dari Jatam Sulteng, Walhi Sulteng, Himasos Untad, IPPMD dan Yayasan Tanah Merdeka. Sekitar 300 an massa aksi ke BPN provinsi, Dinas Kehutanan dan Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia.
Dalam pernyataan sikap mereka menuntut, tolak perampasan tanah melalui penerapan skema ekonomi MP3EI, dan tolak perampasan tanah melalui skema perdagangan karbon REDD-Plus. Lalu, moratorium industri pertambangan dan perkebunan sawit dan land reforme serta laksanakan UU Pokok Agraria tahun 1960 dan Pasal 33.
Koordinator Lapangan Aksi Mustafa Mattiro, dari aktivis Walhi mengatakan, sebagian besar penduduk pulau ini, hidup di bawah sistem produksi pertanian tidak terorganisir. Mereka belum berbasis pasar serta semi subsisten masih terbelakang teknologi.
“Nilai hasil pertanian mereka pun dipangkas para tengkulak. Selama masa bertani, hingga panen yang memakan waktu dengan tenaga ekstra hanya menghasilkan tagihan cicilan motor, utang biaya sekolah anak,” katanya.
Penderitaan rakyat makin menjadi jadi-jadi, ketika ekspansi perkebunan sawit dan lahan galian tambang makin melebar, hingga areal peladangan dan kebun-kebun warga.
Di Sulawesi Tengah (Sulteng), ada 14 perusahaan HPH aktif dengan areal kelola 1.011.445 hektare dan 11 perusahaan dengan areal kelola 844.835 hektare. Ada juga 15 perkebunan mengantongi hak guna usaha (HGU)n dengan luas kelola 93,135 hektare serta IPK dan IPK-TM 4. 035,39 hektare.
Pada 2014, dicanangkan proyek Reducing Emision, Degradation and Deforestation (REDD) sebagai bentuk pemagaran hutan dari aktivitas petani berbasis perdagangan karbon.
Di Jember, seperti dikutip dari Tempo, lebih dari 800 orang yang tergabung dalam Serikat Petani Perjuangan (SIPER) \aksi damai.
Mereka doa bersama dan menggelar aksi teatrikal di depan kantor Pemerintah Kabupaten Jember, Jawa Timur. “Kami menuntut pemerintah serius melakukan reformasi agraria. Kembalikan tanah kami yang dirampas investor,” kata Ketua SIPER, Musri Assabil.
Para petani dari sejumlah desa di wilayah selatan Kabupaten Jember itu menuntut aparat keamanan menghentikan segala tindak kriminalisasi terhadap petani.
Mereka menyerukan penolakan tegas segala bentuk propaganda dan ulah para politikus dan partai politik yang dinilai kerap memanfaatkan petani. “Hentikan penipuan oleh politikus, calon anggota legislatif, atau partai politik, terutama menjelang pemilu,” ucap aktivis SIPER, Jumaen.
Ratusan petani ini datang menggunakan 16 truk dan enam mobil. Perjalanan rombongan petani itu dikawal ketat aparat kepolisian. Ratusan polisi juga disiagakan di sejumlah ruas jalan Kota Jember.
Petani Mesuji juga ikut aksi. Seperti dikutip dari Kompas.com, ribuan petani warga Moro-Moro, Way Serdang, Kabupaten Mesuji, Lampung, memadati jalan lintas timur (jalintim) Sumatera untuk merayakan Hari Tani Nasional, Senin (24/9/2012).
Ribuan orang yang tergabung dalam Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS) ini mendesak pemerintah melaksanakan Rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji dan memenuhi hak-hak konstitusional warga Moro-Moro.
Juru Bicara PPMWS, Komang, menjelaskan, aksi dari Simpang D hingga Simpang Asahan, ini merupakan aksi yang kesekian kali untuk mendesak pemerintah memenuhi hak-hak konstitusional warga Moro-Moro Register 45 yang selama ini terabaikan.
Di Sumatera Selatan (Sumsel), petani mengancam akan menduduki lahan yang menjadi obyek sengketa antara masyarakat dan perusahaan.
Setidaknya ada lima daerah yang akan diduduki petani antara lain, Muaro Jambi, Tebo, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Batanghari. “Hari ini mereka sudah ada yang mulai melakukan pendudukan lahan,” kata Aidil Putra Ketua Persatuan Petani Jambi (PPJ), Senin (24/9/2012) seperti dikutip dari Tribunews.com.
Di Riau, dikutip dari Riauterkini, ratusan massa SPI berdemo di Kantor Gubernur Riau. Aksi sempena Hari Tani Nasional ini mendesak penuntasan sejumlah konflik agraria.
Unjuk rasa Serikat Petani Indonesia (SPI), terdiri dari Serikat Tani Riau (STR), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Gerakan Pemuda NasDem dan kelompok lain.
M Ridwan dari Serikat Tani Riau (STR) mengatakan, hanya ada satu solusi menyelesaikan kasus di Riau atau di Indonesia dengan menerapkan Pasal 33 UUD 1945. Selama ini, petani paling rentan terhadap perilaku tidak manusiawi, perampasan, penyerobotan atas tanah oleh pemodal.
Ada pun tuntutan Serikat Petani Indonesia Riau antara lain, kembalikan tanah adat dan tanah ulayat Riau pada anak kemenakan.