, ,

Ratusan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Siap ke Polres Humbang

Konflik tapal batas tanah adat dengan PT Toba Pulp Lestari terjadi sejak 2009. Pemetaan hutan adat sudah dilakukan dan lewat penetapan pansus DPRD telah disampaikan ke Kementerian Kehutanan. Namun, sampai sekarang belum ada kabar.  Status belum jelas, perusahaan terus menebang dan membuka hutan yang menyebabkan protes warga.

BENTROK masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan aparat polisi di Tombak Haminjon, berbuntut pemanggilan delapan warga.  Pemanggilan pertama, mereka sepakat tak hadir. Pada pemanggilan kedua, Kamis(27/9/12), masyarakat sepakat menghadapi bersama, tak hanya delapan orang. Sekitar 700 warga mulai dari anak sekolah sampai dewasa, akan datang ke Polres Humbang Hasundutan, beramai-ramai.

“Apapun ceritanya, jika pemeriksaan akan dipermainkan, masyarakat siap bermalam di Polres,” kata Roganda Simanjuntak, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak kepada Mongabay, Rabu(26/9/12).

Roganda mengatakan, masyarakat rencana ke Polres sekitar pukul 9.00 pagi. Keputusan warga berangkai beramai-ramai karena khawatir polisi begitu saja menetapkan lima rekan mereka sebagai tersangka.

Menurut dia, kejadian serupa pernah tahun 2009. Saat itu, aparat keamanan yang bertindak sebagai ‘penjaga perusahaan’ datang ke kampung beramai-ramai.  Aparat memaksa beberapa orang yang dicari dan membongkar rumah warga.  “Enam orang ditahan, masyarakat pun ramai-ramai menginap di kantor Polres,” ujar dia.

Untuk pemanggilan kali ini, oleh pendamping  dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) sudah menyiapkan pengacara. “Ini juga dukungan kawan-kawan baik lokal maupun nasional.”

Konflik antara warga dan masyarakat terjadi sejak Juni 2009. Berbagai upaya dilakukan masyarakat, mengadukan persoalan ini di daerah sampai pusat. Terakhir, bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah pemetaan menentukan tapal batas.

Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012. Isinya, agar tanah atau wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan negara. Ini juga sesuai Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Namun, hingga kini, belum ada kejelasan dari Kementerian Kehutanan. Sedang, di Tombak Haminjon (hutan kemenyan), TPL tetap beraktivitas menebang, dan mulai membuka jalan di tombak, agar mudah dilalui alat-alat berat dan mengangkut kayu tebangan dari sini.

Melihat tindakan TPL ini, warga sudah berkali-kali menegur dan melarang para pekerja agar tidak menebang dan membuka jalan. Sebab, sampai sekarang belum ada penyelesaian atas kasus ini dan posisi masih stanvast. Sesuai surat DPRD dan kesepakatan ketika Komnas HAM datang ke Desa Pandumaan pada 2010.

Teguran dan larangan warga ini tidak diindahkan perusahaan. Mereka bekerja dikawal penjaga setia aparat Brimob bersenjata laras panjang. Bahkan Selasa(18/9 2012), beberapa petani kemenyan di Tombak dan menyaksikan pembukaan jalan ini, dialog dengan oknum Brimob itu. Pada saat itu,  oknum Brimob itu bersikap arogan, memancing kemarahan dan melecehkan warga dengan mengatakan: “sahali tumbuk hulean Rp200 ribu” (kalau ada yang berani dengan saya –memukul– akan saya beri uang Rp200 ribu). Warga tak terpancing.

Pada Rabu(19/9 2012), para petani kemenyan berangkat ke Tombak. Setiba di areal adat Pandumaan-Sipituhuta di Tombak Sitangi, warga menemukan TPL sedang membuka jalan menggunakan escavator. Oknum Brimob mengawal memakai kaos oblong senjata laras panjang bersama security TPL.  Terjadi dialog hingga berdebat. Brimob arogan, dan menodongkan senjata ke warga. Terjadi bentrok. Dalam bentrokan ini, aparat dan security TPL ini pun melarikan diri. Senjata tertinggal di tempat. Warga mengambil senjata dan meninggalkan di hutan.

Kemarahan warga makin memuncak melihat pohon-pohon bertumbangan akibat pembukaan jalan ini. Spontan, warga mengambil solar yang kebetulan ada di escavator dan menyiramkan ke tempat duduk alat berat itu serta menyalakan. Lalu, mereka meninggalkan tempat dan pulang.

Malam hari, menurut penuturan warga, kepolisian sudah mulai lalu lalang di Kecamatan Pollung. Isu yang berhembus, telah terjadi perampasan senjata, apabila senjata tidak dikembalikan atau diserahkan pada malam itu, seluruh rumah-rumah penduduk akan digeledah. Jika senjata dikembalikan, kampung akan aman dan dianggap tidak ada persoalan.

Dengan berbagai pertimbangan dan jaminan dari kepala desa, pada malam itu juga, sekitar pukul 20.00, beberapa warga berangkat ke hutan mengambil senjata. Sekitar pukul 23.00, Wakapolres, Kapolsek Kecamatan Pollung, dan Kasat Intel, datang ke desa menjemput senjata itu. Pada Sabtu(22/9/ 2012), delapan warga, termasuk Ketua Dewan Wilayah AMAN Tano Batak, James Sinambela, mendapat surat panggilan dari kepolisian resor Humbang Hasundutan. Mereka diminta menjalani pemeriksaan pada 24 September 2012.

Panggilan pertama tidak dipenuhi warga.   “Panggilan kedua, 27 September ini, warga sepakat datang beramai-ramai,” kata Roganda.

AMAN meminta, Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Kapolres Humbang Hasundutan, jernih melihat persoalan ini, dan menghentikan pemanggilan warga.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,