Klaim RAPP Atas Pulau Padang Matikan Penghasilan Warga Lokal

Suara perahu menderu di pelabuhan rakyat Tanjung Buton, Kabupaten Siak. Setelah menempuh lima jam perjalanan darat dari Pekanbaru, saya menyambung dengan kapal kayu ke Pulau Padang. Siang itu Mongabay Indonesia ditemani dua warga dari Pulau Padang, yaitu Ahmad Solehan dan Nurhadi.

Pulau Padang terlihat di kejauhan. Pulau ini mendadak tenar lantaran warganya mengancam untuk membakar diri di depan Istana Negara beberapa bulan silam.  Warga tak terima, Pulau Padang masuk dalam konsesi PT RAPP berdasaran SK Menhut No 327 tahun 2009 yang diteken Menhut MS Kaban  seluas 41.205 ha. Separuh dari luasan PT RAPP tersebut, menurut  Serikat Tani Riau adalah lahan warga. Luas pulau itu 1.109 km2, terbagi atas 14 desa, Desa Lukit salah satunya. Jumlah Penduduk Desa Lukit 548 KK, 2.192 jiwa. Delapa puluh persen mata pencaharian utama Petani adalah Karet.

“Jumlah warga Lukit sekira 3.500, 70 persen lahan tani warga masuk dalam konsesi PT RAPP,” ungkap seorang warga bernama Ahmad Solehan, “Rumah memang tak disentuh RAPP, periuknya habis.” Istilah ‘periuk’, merujuk pada lahan tani warga masuk dalam konsesi PT RAPP.  “Prinsip kami tak menyerah untuk menyelamatkan Pulau Padang. Mempertahankan kebun masyarakat jalan terakhir.”

Kami berlanjut ke  Tanjung Gambar, dimana Solehan dan Nurhadi menunjukkan bekas koridor untuk kanal PT RAPP yang ditutup warga pada 2010. “Pohon sagu dirobohkan menggunakan alat berat untuk membangun kanal,” kata Solehan. Galian ini selebar enam meter ini belum sempat diselesaikan.

Satu pohon itu, bisa hasilkan 6-7 tual. Satu tual, untuk saat ini, harganya berkisar Rp 30-40 ribu. Tiap hari setidaknya, warga bisa memotong 120 batang per ha. Penghasilan masyarakat sekitar Rp 36 juta per tahun. Begitu juga denga karet, pertama kali panen pada usia delapan tahun. Lantas, tiap hari bisa dipanen. sehari rata-rata produksi karet 12,5 kg per hektare. Bila harga karet Rp 13 ribu per kilogram, per bulan dari bisa hasilkan Rp  4.8 juta.

“Itu salah satu kenapa saya berjuang. Bila RAPP beroperasi, mata pencaharia kami otomatis hilang,” kata Nurhadi, warga Desa Lukit. “Pohon sagu ibarat ‘emas tersimpan’ bagi warga Padang. “Dari pohon sagu, anak-anak bisa bersekolah hingga berdasi,” tambah Nurhadi.

Warga lain yang lahannya diklaim oleh RAPP adalah Bunyamin. Saya bertemu pria 53 tahun ini di rumahnya. Ia petani karet. Lahan karetnya, persis di samping rumahnya. Ia baru saja usai menorah getah pohon karet. Luas lahan karetnya 1,5 ha. “Semua lahan itu masuk dalam konsesi PT RAPP, termasuk rumah saya.”

Ia tahu lahannya masuk peta RAPP dari keterangan Nurhadi. Nurhadi mendapat info dari Andiko ketua tim Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap IUPHHK-HT pada November 2011. “Tim mencocokkan peta milik perusahaan. Dan peta itu menunjukkan rumah dan lahan Bunyamin masuk dalam konsesi.”

Tak jauh dari rumah Bunyamin. Ismail, 67, salah seorang sepuh, juga petani karet. “Luas lahan karet dan sagu saya 30 jalur, sekitar 10 ha. Masuk konsesi 3 ha. Tentu saya marahlah, karena itu lahan untuk makan, dari mana makan? Kita bertahanlah apapun caranya.”

Desa Lukit dihuni 190 KK “Semua areal Dusun II mayoritas masuk dalam konsesi PT RAPP, karena dekat dari Laut,” kata Nurhadi, 30, Kepala Dusun II Desa Lukit. “Lahan seluas 2-3 ha. Hampir semua masuk konsesi PT RAPP,” katanya menutup pembicaraan dengan Mongabay Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,