,

Kebijakan Moratorium Hutan Tak Cukup Hanya Dua Tahun

KEBIJAKAN moratorium perizinan di hutan dan gambut dinilai tak cukup hanya dua tahun karena memperbaiki tata kelola  memerlukan waktu tidak sebentar.

Ketua Pokja Pengkajian Peraturan dan Penegakan Hukum Satgas REDD+, Mas Achmad Santosa, mendukung kebijakan moratorium diperpanjang. “Moratorium tak cukup hanya dua tahun, perbaikan tata kelola perlu waktu,” katanya, Senin(1/10/12), di sela diskusi peluncuran buku Menjaga Hutan Kita, Pro Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut, di Jakarta.

Dia mengatakan, dua tahun pertama yang akan berakhir Mei 2013, merupakan masa penjajakan. “Pada dua tahun kedua, masa tancap gas.”

Sekretaris Jenderal  (Sekjen) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Hadi Daryanto, yang hadir dalam acara itu, juga setuju moratorium hutan dan gambut tetap dijalankan. “Pasti diperpanjang moratorium. Ada atau tidak inpres,” ujar dia usai diskusi buku.

Menurut Hadi,  hutan lindung dan hutan konservasi sekitar 51 juta hektare lebih, sudah jelas tidak boleh diganggu gugat. Begitu juga hutan primer dan lahan gambut. “Jadi, sekitar 65 juta hektare hutan akan akan terjaga.”

Dia mengungkapkan, kebijakan moratorium hutan dan gambut lewat Instruksi Presiden (Inpres) memang hanya dua tahun, tetapi menjaga hutan dan gambut bisa tetap dilanjutkan lewat aturan yang ada, UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.  Masalah Inpres, ucap Hadi, merupakan kewenangan Presiden. “Jika mau dilanjutkan, itu bisa, tergantung Presiden.”

Menurut Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace, kebijakan moratorium tak cukup hanya dengan UU yang ada, perlu diperkuat lagi, seperti saat ini, ada Inpres Moratorium. Dia tak dapat membayangkan, sekarang saja, kala ada Inpres, kawasan yang masuk moratorium masih banyak dibabat, apalagi jika kebijakan ini tak diperpanjang.

Seharusnya, yang dimoratorium tak hanya kawasan konservasi, hutan lindung dan primer, juga di hutan sekunder. “Sebab, di hutan sekunder ini penyebab pelepasan gas emisi terbesar.  Ini harusnya masuk moratorium juga.”

Moratorium dimulai Mei 2011,  diikuti penyusunan peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB), yang kini memasuki tahap III. PIPIB setiap enam bulan direvisi untuk mendapatkan satu peta yang benar hingga bisa menjadi acuan. Hasil PIPIB II, hutan lindung dan konservasi seluas 51.228.334 hektare, hutan primer 8.224.063, lahan gambut 5.829.495 hektare.  Jika dibandingkan dengan PIPIB I, terjadi perubahan penurunan luas moratorium sebesar 92.360 hektare.

Sementara itu, buku yang ditulis Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo berjudul Menjaga Hutan Kita: Pro-Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut’, berisi catatan latar belakang dan kronologi Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang moratorium perizinan baru menebang hutan dan izin pemanfaatan hutan di atas lahan gambut.

Buku ini ingin menggambarkan di balik pembuatan kebijakan itu. Pro-kontra yang muncul, baik di  kalangan pemerintah, kalangan aktivis dan organisasi lingkungan, dan pengusaha.

Di bagian lain, buku ini menampilkan proses negosiasi Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) antara Indonesia dengan Norwegia yang menghasilkan komitmen US$1 miliar. Tulisan ini dari hasil catatan-catatan Pungki, begitu panggilan akrab Agus Purnomo. Juga dokumen-dokumen baik surat sampai siaran pers dari berbagai lembaga pegiat lingkungan. “Di dalam buku ini jelas terlihat, moratorium itu memang keinginan Indonesia (cetusan Presiden), bukan permintaan Norwegia,” kata Pungki.

Menurut Pungki, kebijakan moratorium ini muncul berkat tuntutan dan permintaan berbagai kalangan pegiat lingkungan sejak 20 tahun lalu.  Kala itu, pembalakan hutan  besar-besaran terjadi melalui pemberian konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) era pemerintahan Presiden Soeharto.

Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF Indonesia mengatakan, WWF Indonesia mengapresiasi Inpres ini sebagai langkah awal penyempurnaan tata kelola sektor kehutanan. “Kebijakan moratorium ini bisa dilihat sebagai salah satu komponen dasar bagi Indonesia mewujudkan pembangunan rendah karbon.”

Buku ini juga mencatat situasi batin, dan kritik terhadap REDD+ sampai pembahasan-pembahasan mengenai kelembagaan REDD+. REDD+ bukan silver bullet menyelesaikan masalah kehutanan dan penurunan emisi karbon dari kawasan hutan. “Saya setuju LoI (Letter of Intent), ada REDD ada oportunity,” kata  Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, dalam diskusi.

Dengan harapan, kehadiran REDD+ akan mengakomodir hak-hak masyarakat adat. “Sebelum itu, saya sudah bertanya-tanya, di kalangan internasional itu bilang, dua negara yang bagus komitmen terhadap masyarakat adat, Norwegia dan Denmark.” Abdon pun yakin,  dengan Norwegia sebagai pemberi bantuan dalam program REDD+  kemungkinan berpeluang bagi masyarakat adat.

Wahjudi Wardojo, Penasehat Senior untuk Kebijakan Karbon Hutan Internasional, TNC Program Indonesia mengungkapkan, buku ini memberikan pemahaman latar belakang mengapa Indonesia memilih kebijakan moratorium hutan dan gambut.

Kebijakan ini, merupakan pintu masuk bagi penetapan kebijakan pro environment yang diharapkan selaras dengan kebijakan pro poor, pro job, dan pro growth.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,