KIARA: Penghargaan Konservasi Laut untuk Presiden RI Belum Pantas

Penghargaan terhadap peran aktif konservasi kelautan yang diterima oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari tiga organisasi besar dunia, yaitu The Nature Conservancy, World Resources Institute dan World Wildlife Fund for Nature di New York tanggal 24 September 2012 silam, dinilai tidak semestinya diterima oleh Presiden RI. Penghargaan bernama ‘Valuing Nature Award’ ini diberikan oleh ketiga organisasi tersebut saat kunjungan Presiden RI ke Amerika Serikat sepekan silam dalam sebuah acara makan malam.

Penghargaan ini dinilai tidak pantas diberikan kepada Presiden RI karena menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) aktivitas konservasi yang ada di lapangan telah membatasi nelayan lokal dalam menangkap ikan di wilayah mereka, yang sebelumnya menjadi sumber utama mata pencaharian mereka, dan hal ini dinilai telah menyebabkan meningkatnya impor ikan Indonesia hingga 230 persen. “Sangat tidak layak Presiden Yudhoyono menerima penghargaan ini,” ungkap Riza kepada The Jakarta Post tanggal 3 Oktober 2012.

Berdasar laporan yang dikeluarkan oleh USAID, menurut Riza, banyak sekali indikator kesuksesan yang belum terpenuhi dalam program CTI-CFF ini.

Presiden Yudhoyono, menerima penghargaan ini karena ketiga organisasi besar di bidang lingkungan itu menilai peran presiden yang aktif dalam proses pembentukan Coral Triangle Center (CTI) yang meliputi enam negara di kawasan utama segitiga terumbu karang dunia.

Dalam rilis media yang dikeluarkan oleh WRI pekan lalu terkait penghargaan ini, WRI melalui wakil presidennya Andrew Steer menilai bahwa Presiden Yudhoyono mendapat penghargaan ini karena telah memprioritaskan keadilan sosial dan perlindungan lingkungan, selain mengutamakan pembangunan ekonomi. Hal senada juga disampaikan oleh Glenn Prickett dari The Nature Conservancy, yang menyatakan bahwa penting untuk mempercepat kolaborasi dalam konservasi kelautan karena masalah ini tidak bisa diatasi oleh satu negara saja.

Presiden Yudhoyono, bukan pertamakalinya dipertanyakan saat menerima penghargaan lingkungan. Dari laporan yang dilansir oleh Kompas.com, KIARA juga pernah meminta agar United Nations Environment Programme (UNEP) mencabut penghargaan kepada Yudhoyono bernama ‘Award Leadership in Marine and Ocean Management’ yang diberikan tanggal 24 Februari 2010. KIARA bahkan mengirim surat kepada Direktur Eksekutif Program Lingkungan UNEP Achim Steiner di Nairobi, Kenya.

Masukan untuk mencabut penghargaan ini terkait dengan pemberian izin Kementerian Lingkungan Hidup kepada perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara untuk membuang limbah ke laut Teluk Senunu di Nusa Tenggara Barat. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, Newmont diberikan perpanjangan izin membuang tailing pada Mei 2011. Selama lima tahun, setiap hari, Newmont diizinkan membuag tailing (limbah cair) hingga 148.000 ton ke dasar laut Teluk Senunu. “Pemerintah tidak hanya meningkatkan kuota, tetapi juga menambah masa berlaku izin dari tiga tahun (sebelumnya) menjadi 5 tahun,” cetus Riza.

Daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terpapar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ini dilaporkan Kiara telah membuat kualitas Teluk Senunu turun drastis. Dampaknya, sekitar 21.000 nelayan di Sumbawa Barat dan Lombok Timur yang bergantung pada mata pencaharian dari keanekaragaman hayati pesisir dan laut Teluk Senunu terancam mata pencahariannya.

Dalam pemberitaan Mongabay Indonesia tanggal 25 September 2012 silam, aktivis politik AP Batubara, yang pernah mendapat penghargaan lingkungan Sahwali Award tahun 1997 menilai, pemerintahan Presiden SBY tidak memiliki rencana jangka panjang pembangunan lingkungan hidup. Sepeti dilansir olehDetik.com tanggal 2 September silam, SBY disebutnya hanya membahas isu lingkungan hidup ketika ada momen tertentu, misalnya Hari Bumi tiap 22 April, Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tiap 5 Juni atau menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

“Kualitas air, udara, tanah, dan lingkungan hidup kita terus memburuk. World Bank menaksir setiap tahun terjadi pengurangan wilayah hutan (deforestasi) antara 700.000 – 1.200.000 hektar. Artinya, setiap tahun kita kehilangan hutan seluas 2.461.538 kali lapangan sepak bola,” terang AP Batubara.

Mengutip informasi dari Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), kualitas air sungai di 32 provinsi di Indonesia juga jelek: 82 persen tercemar berat, 13 persen tercemar sedang, 3 persen tercemar ringan dan hanya 2 persen yang memenuhi Kriteria Mutu Air Kelas II. Begitu pula World Health Organization (WHO) menyatakan mutu udara di kota-kota besar Indonesia kebanyakan tercemar polusi udara, kecuali Pekanbaru.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,