Sepertiga Dataran Rendah Kalimantan Akan Jadi Kebun Sawit Tahun 2020

Ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan dasar makanan, sabun dan kebutuhan manusia lainnya, rupanya telah mendorong kerusakan hutan dan emisi karbon dalam jumlah raksasa ke udara, seperti diungkapkan dalam sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change tanggal 7 Oktober 2012 lalu. Tak hanya emisi karbon di tingkat lokal, ekspansi kelapa sawit ini juga menjadi penyebab emisi karbondioksida secara global yang sangat signifikan.

Ekspansi kebun sawit ini diprediksi akan menyumbang 558 juta metrik ton karbon ke atmosfir di tahun 2020. Jumlah ini bahkan jauh lebih besar dari keseluruhan emisi karbon akibat bahan bakar fosil di seluruh wilayah Kanada.

Atau mungkin akan terlihat seperti ini pulau Kalimantan di tahun 2020. Foto: Rhett A. Butler

Indonesia, saat ini adalah produsen terbesar kelapa sawit dunia, yang menyumbang sekitar 30% penggunaan minyak untuk memasak di dunia. Saat ini, perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terfokus di Kalimantan, yang luasannya kira-kira sama dengan negara bagian California dan Florida jika digabungkan jadi satu. Perkebunan yang menyewa lahan, meliputi sekitar 32% wilayah dataran rendah Kalimantan di luar kawasan lindung, wilayah ini adalah sebuah cadangan wilayah yang siap dimusnahkan dalam dekade mendatang, menurut temuan penelitian ini.

Pada tahun 2010 saja, pembabatan lahan untuk memenuhi kebutuhan kebun kelapa sawit telah menyebabkan emisi karbon sebesar 140 juta metrik ton karbondioksida, jumlah ini setara dengan emisi sekitar 28 juta buah mobil.

Kendati Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia, negeri kita juga merupakan salah satu emiter karbon terbesar di dunia akibat begitu lajunya angka kehilangan hutan dan lahan gambut. Jika ditotal, sejak 1990, perkembangan kebun kelapa sawit telah memusnahkan 16.000 kilometer persegi hutan primer dan hutan tanaman industri, setara dengan luasnya negara bagian Hawaii di Amerika Serikat. Luasan ini, kira-kira sekitar 60% dari keseluruhan hilangnya hutan tropis Indonesia saat itu.

Hutan yang diubah jadi perkebunan sawit. Foto: Rhett A. Butler

“Terlepas dari perdebatan dari hutan apa yang sudah ditebang untuk keperluan perkebunan sawit, namun sektor ini berkembang dengan sangat cepat dalam 20 tahun terakhir,” ungkap penulis utama penelitian, Lisa M. Curran, seorang profesor Antropologi Ekologi di Stanford University dan anggota senior di Stanford Woods Institute for the Environment. Dengan menggabungkan pengukuran lapangan dengan analisa resolusi tinggi citra satelit, penelitian ini mengevaluasi wilayah-wilayah yang dijadikan perkebunan sawit dan merekam emisi karbon mereka saat diubah menjadi kebun sawit.

Para peneliti menggunakan peta komprehensif yang memperlihatkan ekspansi perkebunan kelapa sawit sejak 1990 samai 2010, menggunakan teknologi klasifikasi terkini yang dikembangkan oleh Gregory Asner dari Departemen Ekologi Global milik Carnegie Institution. Mereka lalu menguantifikasi tipe-tipe hutan yang ditebang untuk kebun kelapa sawit, dan juga emisi karbon dari perkebunan kelapa sawit ini.

Mereka juga mengumpulkan catatan lahan perkebunan sewa yang digunakan untuk perkebunan sawit selama melakukan wawancara dengan lembaga-lembaga pemerintah lokal dan regional. Catatan-catatan ini mengidentifikasi lokasi yang telah disetujui dan dialokasikan kepada perusahaan kelapa sawit. Total lahan yang dialokasikan untuk diberikan kepada perusahaan kelapa sawti ini mencapai sekitar 120.000 kilometer persegi, atau sedikit lebih kecil dari negara Yunani.

Dengan menggunakan perhitungan jumlah lahan yang disewakan kepada perkebunan dengan peta tutupan lahan, tim berhasil memperkirakan emisi karbon yang akan terjadi di masa depan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan. Dengan kondisi delapan puluh persen dari lahan yang sudah disewa tetap ditanami pada tahun 2010, ditambah jika semua potensi lahan dikembangkan, lebih dari sepertiga dataran rendah Kalimantan akan tertutup kelapa sawit pada tahun 2020.

Meskipun angka-angka ini terlihat besar, informasi yang akurat untuk meninjaudan mengawasi lahan yang dipinjamkan kepada pihak perusahaan tidak tersedia, bahkan setelah sewa diberikan. Penduduk di Kalimantan rata-rata tidak memahami rencana pembangunan daerah untuk mengembangkan kelapa sawit, padahal hal ini dapat memberikan efek  yang signifikan pada mata pencaharian penduduk dan lingkungan mereka, kata Curran.

“Pola penyewaan perkebunan ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam ‘skala besar percobaan’ menggantikan sistem monokultur,” kata Curran. “Kita saat ini berada dalam titik kritis dalam konversi hutan dimana fungsi biofisik sangat terganggung, dan membuat wilayah hutan semakin rentan terhadap kekeringan, kebakaran dan banjir.”

CITATION: Kimberly M. Carlson, Lisa M. Curran, Gregory P. Asner, Alice McDonald Pittman, Simon N. Trigg, J. Marion Adeney. Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1702

Contact: Christine Harrison: [email protected]

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,