Aksi penolakan pembangunan PLTU Batang di pesisir utara Jawa Tengah, ternyata pernah diwarnai aksi kekerasan dari aparat kepolisian. Kabar yang sempat teredam ini, muncul setelah Mongabay Indonesia melakukan investigasi ke lapangan terkait indikasi pelanggaran hukum lingkungan oleh pemerintah Kabupaten Batang dan Propinsi Jawa Tengah ini.
Masih teringat dalam ingatan Cariman (75 tahun), warga Roban Timur, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang. Ia menjadi korban popor senjata polisi yang menyebabkan bagian kepalanya memar dan dijahit. Begitu juga Sukemi (25 tahun) warga Roban timur, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang.
Hal serupa juga dirasakan oleh Sunijo (24 tahun), ia dipukul dibagian kening serta Wijoyo (24 tahun) dibagian punggungnya yang memar karena terkena pukulan aparat kepolisian. Menurut keterangan Sunijo, “Saya tiba-tiba dipukuli secara bergilir oleh banyak aparat dengan memakai kayu sebanyak puluhan kali pukulan”. Selain itu penuturan Wijoyo “Saya pada saat itu langsung dipukul oleh kayu dan ditendang berkali-kali oleh puluhan aparat kemudian saya lari”. Mereka menjadi korban represi aparat kepolisian Polres Batang yang terjadi pada Sabtu siang, 29 September 2012.
Berdasarkan keterangan Salim, warga Roban Barat, peristiwa bermula ketika warga Karanggeneng, sekitar pukul 13.00 WIB melihat ada mobil Toyota Kijang Innova yang dikendarai oleh Khalis Wahyudi (38 tahun) warga asal Jepara dan berpenumpang 1 orang Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang bernama Satoshi Sakamoto (58 tahun) asal dari PT. Sumi Tomo Corporation datang ke lokasi yang akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk melakukan survei. Kemudian beberapa warga mencoba menemui dan mengajak Satoshi Sakamoto dan Khalis Wahyudi ke rumah salah satu warga desa Ponowareng yakni Casnoto.
“Sekitar pukul 15.00 WIB, pihak Polsek Tulis berusaha untuk mengevakuasi orang jepang tersebut, tetapi dengan melihat warga dengan jumlah yang banyak maka Polsek Tulis berusaha untuk meminta tambahan personel anggota Polisi,” kata Salim.
Wahyu Nandang Herawan dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang kepada Mongabay Indonesia mengatakan, sekitar pukul 16.30 WIB datang kurang lebih sekitar ratusan anggota Dalmas dan Brimob dari Polres Pekalongan ke Desa Ponowareng. Kedatangan ratusan Brimob itu ternyata ditumpangi oleh puluhan orang yang tidak dikenal dan dilengkapi dengan senjata tajam. Mereka kemudian langsung melempari para warga yang sedang berkumpul.
Setelah itu, pasukan Brimob melakukan tembakan peringatan sebanyak 3 kali. Pasca melepaskan tembakan peringatan tersebut, pasukan Brimob langsung menembaki warga secara membabi buta dan mengarahkan tembakan langsung ke arah warga.
Melihat situasi tersebut, akhirnya warga terpancing emosi dan menyerang balik pasuan Brimob serta merusak mobil Toyota Innova K 8902 GC tersebut. Selain itu, ratusan anggota Brimob yang memukuli dan menembaki ribuan warga, beberapa diantaranya bahkan diduga dalam keadaan mabuk. Hal ini berdasarkan keterangan warga yang mencium bau alkohol.
“Hingga saat ini para pelaku pelemparan batu dan kekerasan kepada para warga tersebut yang berasal dari orang-orang yang tidak dikenal dan diduga para preman bayaran belum ditangkap atau diperiksa oleh pihak kepolisian. Kami mengecam tindakan tersebut dan kami akan segera melakuan investigasi serta menindaklanjuti kasus ini, selanjutnya juga bila perlu kami akan menyurati Kapolri, KOMNAS HAM dan institusi-intitusi lain yang terkait agar persoalan ini ditanggapi secara serius,” tegas Nandang.
Beberapa hari setelah kejadian kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Warga Ponowareng menemukan selongsong peluru tajam di lokasi kejadian. Diantaranya selongsong ukuran diameter 9.0 dan selongsong ukuran diameter 5,56. Menurut Wantoko, warga Ponowareng mengatakan, selongsong ditemukan oleh beberapa warga di lokasi kejadian, mulai dari balai desa Ponowareng hingga perempatan tempat terjadinya penembakan.
“Seharusnya Pemerintah sadar akan hal ini dan malu, melihat peristiwa ini terjadi hanya karena kepentingan pemerintah yang terlalu memaksakan rencana pembangunan PLTU di desa Karanggeneng kemudian rakyat yang dikorbankan,” tutup Nandang kepada Mongabay Indonesia.
Kami Ingatkan Lagi, Mengapa Warga Tolak PLTU Batang?
Pembangun Proyek PLTU telah mendapatkan perijinan lokasi tanpa memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Sampai saat ini pihak pembangun PLTU belum memiliki dokumen AMDAL dan ini telah menyalahi aturan main Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999,” ungkap Nandang.
Persoalan lainnya adalah, proyek ini ternyata menabrak kawasan konservasi laut di pantai utara Jawa dan adanya perubahan peraturan setempat oleh Bupati Batang secara semena-mena, dengan menerabas peraturan hukum yang lebih tinggi.
Melalui Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011, tanggal 19 September 2011, telah dilakukan perubahan atas Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005, tanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang.
Keputusan Bupati Nomor 523/306/2011 yang baru tersebut anehnya justru bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029, maupun Perda kabupaten Batang Nomor 07 Tahun 2011 tentang RTRW wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031, yang menyebutkan bahwa kawasan Konservasi laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban dengan luas + 6.889,75 Ha merupakan Kawasan Perlindungan Terumbu Karang.
Selain hal itu juga, dalam pasal 46 ayat 2 huruf (d) Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 06 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029, bahwa Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban di Kabupaten Batang ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut.
Dengan deskripsi fakta diatas, dapat disimpulkan Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 telah melanggar Undang-undang yang lebih tinggi diatasnya. “Jadi disini dapat dilihat adanya usaha penggeseran lokasi kawasan Konservasi oleh pihak Pemerintah kabupaten Batang melalui Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 agar Lahan yang akan dijadikan tempat pembangunan PLTU seolah-olah tidak melanggar pengaturan tentang kawasan konservasi,” Nandang menutup wawancara dengan Mongabay Indonesia.