, ,

Investor Tambang Diprediksi Abaikan Batas Maksimum Penggunaan Lahan

PENGAMAT migas dan pertambangan pesimistis Peraturan Pemerintah (PP) soal batas maksimal penggunaan lahan untuk industri pertambangan sebesar 25.000 hektare (ha) bakal dipatuhi para investor. PP ini diramalkan bakal bernasib sama dengan PP No 45 Tahun 2003 tentang Tarif Royalti Emas.

Dikutip dari Sinar Harapan, Pengamat Pertambangan Kurtubi, Selasa(9/10/12) mengatakan, para investor akan bersikeras memegang dasar hukum isi klausul dalam kontrak karya mereka, ketimbang mengindahkan peraturan terbaru negeri ini.  “Ini sudah kejadian pada PP 45/2003 tentang Royalti Emas, PP-nya dikepret (diabaikan),’’ katanya di Jakarta.

Dia mengatakan, ada pasal keramat di dalam klausul kontrak karya kerja sama tambang di penghujung akhir sebelum pasal-pasal force majour dan sengketa.

Pada pasal  itu, tertera kalimat sakti bahwa perjanjian ini tidak bisa dibatalkan siapa pun sebelum mendapatkan persetujuan kedua pihak. “Nah tuh kacau sekali pasal itu. Karena itu sampai sekarang renegosiasi dengan Freeport tidak ada kabarnya,” ujar dia.

Hal lebih rumit dari dasar hukum kuat yang mereka pakai untuk melindungi pasal-pasal perjanjian kontrak itu adalah UU Migas No 22/2001 maupun dalam UU Minerba No 4/2009.

Di salah satu pasal dalam UU  ini disebutkan, para investor tambang atau mineral dan gas yang kerja sama kontrak penguasaan lahan tambang dan migas, mereka berkontrak dengan pemerintah RI atau business to government.  Ini artinya, UU Migas 22/2001 maupun UU Minerba 4/2009 ini menjadi payung hukum seluruh kontrak karya migas dan mineral.

Kuasa Hukum dan Wakil Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Ridwan Gunawan menyebutkan, luas lahan yang dikuasai Freeport, di dua bukit di Papua itu hampir mencapai 2 juta hektare: 1,9 juta hektare di Bukit Grasberg dan 100 km di Bukit Easberg. Luas di bukit pertama sudah habis, kini mau berekspansi ke bukit satu lagi.

“Luas sampai 2 juta hektare itu seperti negara dalam negara.” Ibarat kata, itu seluas satu provinsi. Konsesi yang diberikan pemerintah terdahulu menurut jumlah bukit. Kawasan ini tidak boleh diakses masyarakat adat. Ada hutan lindung dan hutan konservasi semua dikuasai oleh Freeport.

“KKKS tambang yang lain juga begitu. Ini menimbulkan konflik di mana-mana. Banyak konflik SDA antarmasyarakat, tapi pemerintah memosisikan diri sebagai penonton, seperti sandiwara lenong saja,’’ ucap Ridwan.

Pembatasan 25.000 hektare itu akan ditolak para investor. Bagi investor, perusahaan tambang besar perlu luasan wilayah KKKS besar. Alasannya, mereka perlu mengatur mulai dari awal sampai eksplorasi harus dibangun sarana infrastruktur.

Ridwan menyebutkan, contoh, fakta di depan mata yang diajukan gugatan oleh lembaga tempat dia bekerja itu terhadap Freeport bertentangan dengan PP No 45 Tahun 2003. Bisa dihitung Freeport tidak pernah membayar royalti emas selama 25 tahun. “Freeport hanya membayar royalti tembaga kepada pemerintah Indonesia.”

Merujuk kontrak karya pertama tahun 1967, Freeport hanya melaporkan penambangan tembaga. Padahal, terhitung sejak 1978, Freeport juga mengekspor emas. Apabila diakumulasikan, IHCS menaksir kerugian negara sudah mencapai US$256,17 juta.

Nah gugatan kami diputus kalah oleh PN Jaksel rasanya patut dicurigai ada permainan hakim cari aman, dengan momentum kedatangan Hillary (Menlu AS-red). Putusan pengadilan juga tidak konsisten. Dalam putusan sela hakim menyebut tidak berwenang menangani gugatan itu, namun dalam putusan final hakim menyatakan berwenang. Karena itu kita mau banding Pengadilan Tinggi Jaksel,’’ kata Ridwan.

Di dalam kontrak karya yang dinegosiasikan terakhir, kontrak Freeport diperpanjang sampai 2021. Kini Freeport minta perpanjangan hingga 2041.

Awal Agustus 2012, dalam diskusi dwimingguan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Hudoyo, Direktur Penggunaan Kawasan Hutan, Kemenhut mengatakan, Freeport mengajukan dua permohonan, izin eksisting  dan perluasan. “Kegiatan eksisting sudah melengkapi semua syarat. Perluasan ini yang ditahan,” katanya di Jakarta.

Usulan perluasan eksplorasi sekitar 167.300 hektare masih ditahan di Kemenhut menunggu renegoisasi kontrak dengan Amerika Serikat (AS). “Kita ini dilematis. Kita bisa apa coba? Pemerintah RI aja tidak bisa ngapa-ngapain. Tahu Freeport melanggar, bisa ga pemerintah menyetop? Ini satu dilematis, DPR bikin panja khusus tentang 13 tambang. Tapi sekadar rekomendasi,” ujar dia.

Kementerian menilai, usulan Freeport terlalu luas.  “Itu terlalu luas, jika semua area Freeport, yang lain tak bisa masuk. Kontribusi kepada daerah apa? Nambang-nambang, masyarakat hanya dapat debu, ga ada uang debu, semua ke Pusat. Masyarakat Papua yang repot.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,