,

Australia Perkuat UU Anti Illegal Logging, Perangi Kayu Ilegal Indonesia

Saat ini, Senat Australia tengah mematangkan rencana untuk menghentikan impor kayu dari negara-negara yang diduga terlibat dalam penebangan liar dunia dan menyebabkan deforestasi hutan hujan tropis di berbagai wilayah. Peraturan baru ini, tak hanya melarang impor, tetapi juga penjualan semua jenis produk dari kayu yang asal muasalnya tidak jelas. Kendati demikian, mereka memiliki satu masalah serius terkait hal ini. Bagaimana efektivitas peraturan ini dibandingkan dengan peraturan yang diterapkan oleh negara lain, seperti misalnya di Uni Eropa dengan FLEGT VPA mereka, dan Amerika Serikat dengan Lacey Act mereka?

Nampaknya secara umum masalah yang dihadapi oleh ketiga peraturan ini sama, terutama terkait kesulitan untuk melakukan kuantifikasi sumber kayu ini, dan apa definisi legal serta ilegal yang diterapkan. Karena sumber kayu yang bisa diterima di satu negara, ternyata belum tentu bisa diterima di negara lain.

Pencatatan dalam setiap proses produksi membuat lacak balak semakin mudah dilakukan, dan meningkatkan harga kayu Indonesia di dunia. Foto: Aji Wihardandi

Dalam Rancangan Undang-Undang yang sedang dimatangkan di Australia ini, mereka berupaya untuk mencari solusi bagaimana mengenali sebuah produk dari kayu misalnya kertas, yang dinilai legal atau tidak legal. Salah satu upaya mereka adalah dengan mengidentifikasi negara sumber kayu ini memproduksi berbagai produk tersebut lewat indeks korupsi internasional yang diterbitkan oleh Transparancy International. Undang-Undang ini memiliki asumsi bahwa kayu yang diproduksi di negara yang indeks korupsinya tinggi, semakin besar kemungkinannya adalah produk ilegal, atau diproduksi dari proses yang ilegal, atau dari sumber yang ilegal. Hal ini terutama terjadi di beberapa negara berkembang.

Australia memfokuskan pada Indonesia, sebagai tetangga terdekat mereka, sekaligus salah satu penyuplai kayu terbesar ke negeri kanguru ini. Indonesia sendiri, dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan grafik psotif dalam indeks korupsi internasional, sebuah pertanda bahwa negara kita setidaknya terus mencoba memerangi korupsi yang sudah berakar.

Australia sendiri, sudah berupaya menahan pengesahan Undang-Undang Anti Penebangan Liar ini dalam dua tahun ke belakang, agar menjaga hubungan dagang yang seimbang dengan Indonesia. Namun tekanan dari berbagai pihak, salah satunya Partai Hijau dan berbagai lembaga lingkungan internasional, akhirnya membuat pemerintah Australia bergerak lebih cepat untuk mengesahkan Undang-Undang ini.

Dibandingkan dengan peraturan yang diterapkan oleh Uni Eropa, dalam Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) mereka yang tertuang melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA), yang membangun sebuah sistem bersama dengan negara yang menyuplai kayu ke Eropa untuk memastikan legalitas kayu, sistem yang dilakukan di Australia memang lebih ketat.

Australia menyingkirkan mitra dagang strategis yang dinilai melanggar peraturan baru ini, sementara Uni Eropa menggunakan hukum yang mereka terapan untuk memperkuat hubungan perdagangan dan politik.

Sementara di Amerika Serikat yang memberlakukan Lacey Act, masalah yang muncul adalah tanggung jawab yang kompleks yang dimiliki oleh eksportir kayu ke AS. Undang-Undang AS ini memiliki cakupan yang luas untuk memenuhi persyaratan kayu yang sah yang bisa masuk ke negara adidaya ini. Namun di sisi lain, Lacey Act juga membuka ruang yang luas bagi para kompetitor di lapangan untuk melancarkan tuduhan terhadap eksportir kayu lain.

Kayu yang baru dipanen dan belum diberikan tanda. Foto: Aji Whardandi

Ternyata masalahnya sama, ketidakjelasan batasan legal terkait apa itu kayu ilegal, produk kayu ilegal dan sumber kayu ilegal, membuat isu ini menjadi rumit.

Bagaimana Indonesia menghadapi hal ini? Pemerintah RI telah mengadopsi sistem legalitas mereka sendiri bernama SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Sistem ini dibangun agar sejalan dengan sistem yang dianut oleh FLEGT VPA di Uni Eropa tadi. Mulai tahun 2013, -artinya, dengan peraturan ini-, semua kayu dari Indonesia hanya bisa masuk ke Eropa jika memiliki sertifikasi SVLK yang dinilai terakreditasi sama oleh FLEGT Uni Eropa. Pemerintah RI berharap, bahwa SLVK ini juga menjadi dasar legalitas yang bsa diterima oleh Australia setelah diberlakukannya Undang-Undang Anti Illegal Logging.

Dibanding upaya yang dilakukan Australia, FLEGT Uni Eropa ini dinilai lebih fleksibel untuk menekan upaya perdagangan kayu ilegal.

Namun, sistem yang dianut FLEGT Uni Eropa ini sendiri memang tidak sempurna. Maraknya kasus korupsi di Indonesia, jutsru membuka celah baru dalam penerbitan SVLK. Sertifikasi SVLK kini justru semakin berharga ‘mahal’ dibanding sebelumnya karena hal ini mempengaruhi hajat hidup ratusan bahkan ribuan perusahaan penyuplai kayu di Indonesia. Jika Depertamen Kehutanan RI tidak sanggup membersihkan kementerian mereka dari elemen-elemen koruptif, hal ini akan menjadi lahan perdagangan sertifikasi baru di masa mendatang.

Ingat, nilai ekspor kayu Indonesia ke Australia saja sekitar 5 miliar dollar Amerika Serikat. Tentu bukan jumlah yang kecil untuk menggoda pembuat peraturan untuk membengkokkan hukum.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,