Penelitian: Kearifan Lokal Selama 4 Abad Sukses Jaga Sumber Daya Laut Aceh

Pemanfaatan laut dan kesehatan terumbu karang, ternyata jauh lebih baik jika dilakukan dengan metode tradisional berbasis kearifan lokal. Seperti di Aceh, yang sudah melakukan praktek manajemen kelautan secara turun temurun selama lebih dari 4 abad silam. Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society dan James Cook University di Aceh.

Sistem yang dikenal dengan nama Panglima Laot ini terfokus pada keharmonisan sosial dan menekan potensi konflik diantara komunitas di sekitar perairan terkait pemanfaatan sumber daya laut setempat. Menurut kajian ini, terumbu karang sangat diuntungkan dalam sistem tradisional ini dan membawa dampak positif bagi manusia karena memiliki jumlah ikan delapan kali lebih banyak dan keawetan karang-karang yang keras tetap terjaga karena adanya pelarangan penggunaan alat yang merusak, salah satunya jaring.

Studi yang dimuat dalam jurnal Oryx  bulan Oktober ini dilakukan oleh Stuart Campbell, Riza Ardiwijaya, Shinta Pardede, Tasrif Kartawijaya, Ahmad Mukmunin, dan Yudi Herdiana dari Wildlife Conservation Society, bersama dengan Josh Cinner, Andrew Hoey, Morgan Pratchett dan Andrew Baird dari James Cook University.

Dari hasil kajian yang dilakukan oleh para peneliti, sistem Panglima Laot yang dianut ini memiliki prinsip-prinsip manajemen kelautan yang selama ini sudah dianut oleh lembaga yang modern. Dala sistem ini ada sistem keanggotaan, peraturan yang membatasi penggunaan sumber daya, hak dari pengguna sumberdaya untuk membuat, memaksakan dan mengubah peraturan, dan memberikan sanksi serta mekanisme resolusi konflik. Prinsip-prinsip dasar inilah yang diatur oleh sistem ini dan berhasil menekan konflik diantara anggota masyarakat yang memanfaatka sumber daya laut, menyediakan akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya laut dan menekan kerusakan habitat di perairan.

“Penerapan No-take fishing area atau area pelarangan pengambilan ikan sulit dipraktekkan di wilayah yang warganya sangat tergantung pada ikan di sekitar terumbu karang untuk makanan sehari-hari,” ungkap penulis utama kajian ini, Dr. Stuart Campbell dari Wildlife Conservation Society. “Prinsip-prinsip yang menjadi panduan dalam sistem Panglima Laot ini berhasil menekan kerusakan habitat dan memelihara biomassa ikan sementara di saat bersamaan mereka tetap memiliki akses terhadap ikan. Mekanisme mereduksi konflik itu menjadi kunci manajemen sumber daya laut.”

Namun, tak semua institusi yang ada di perairan Aceh ini sukses semua menjaga habitat di wilayah tersebut. Salah satunya yang terjadi di Pulau Aceh, yang menjadi buruk kondisinya akibat pengambilan ikan yang merusak dan manajemen pesisir yang buruk.

Temuan lain penelitian WCS dan James Cook University ini  juga melihat bahwa nelayan yang lebih miskin dan memiliki tingkat partisipasi rendah dalam manajemen sumber daya memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah terhadap institusi lokal dan tingkat keterlibatan terhadap dinamika masyarakat yang lebih rendah.  Kelompok ini tidak merasa diuntungkan dengan adanya sistem Panglima Laot ini, dan hasilnya di wilayah mereka pengambilan ikan menjadi tidak terkontrol.

Sementara di wilayah dengan sistem Panglima Laot yang kuat dan termotivasi untuk menciptakan keharmonisan sosial yang baik dengan pelarangan peralatan yang digunakan, akan membawa dampak positif terhadap tutupan terumbu karang dan terus menjaga biomassa ikan di perairan mereka.

CITATION: Wildlife Conservation Society. “Fisheries benefit from 400-year-old tradition.” ScienceDaily, 11 Oct. 2012. Web. 12 Oct. 2012.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,