, ,

Menanti Hasil: Standar Terjaga versus Kepentingan Bisnis Sawit

Environmental Protection Agency (EPA) memasukkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia dalam kategori belum diproduksi secara berkelanjutan. Titel ini pun berbuntut di forum Asian Pacific Economic Coorperation (APEC), yang memutuskan CPO Indonesia tak masuk dalam 54 produk ramah lingkungan.

Pemerintah, perusahaan dan asosiasi pengusaha berupaya melobi EPA agar meloloskan CPO Indonesia. EPA tergerak, tetapi belum meloloskan. Mereka berencana datang ke Indonesia, dan turun langsung melihat ke kebun-kebun sawit , akhir Oktober ini.

Pemerintah tampak begitu percaya diri menyambut kedatangan EPA. Lewat Kementerian Perdagangan, pemerintah meyakinkan, bahwa CPO Indonesia, yang berlabel Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sudah dikelola dengan benar-benar berkelanjutan.

“Kami sangat siap dengan kedatangan EPA dalam waktu dekat ini. Kita punya sekitar 1,5 juta hektar lahan sawit berkapasitas 4,5 juta ton bersertifikat RSPO. Harusnya, EPA bisa menerima itu sebagai produk ramah lingkungan. Kalau tidak, berarti mereka sama juga tidak mengakui RSPO,” kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Jumat(12/10/12) dikutip dari Jurnas.com.

Pernyataan pemerintah ini seakan menutup mata dengan  begitu banyak masalah seputar industri sawit di negeri ini. Dari proses perizinan kolutif, manipulatif,  pola tanam bermasalah (di lahan gambut maupun membabat hutan) sampai konflik dengan masyarakat sekitar atau masyarakat adat.  Belum lagi, dampak lingkungan lain, seperti pencemaran air karena limbah CPO.

Ungkapan-ungkapan yang muncul sebagai penyebab penolakan CPO Indonesia di berbagai media massa lokal pun tak kalah anehnya. Sumber media baik, dari pemerintah, asosiasi pengusaha sampai akademisi seakan kompak mempopulerkan kata “kampanye negatif dan persaingan bisnis,” sebagai penyebab.

Jefri Saragih, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch merasa heran dengan pernyataan-pernyataan berbagai sumber dalam pemberitaan di media Indonesia ini. “Berita-berita yang berkembang di media di Indonesia, seakan-akan itu persaingan bisnis nabati internasional,” katanya kepada Mongabay, Jumat(12/10/12).

Foto: Sapariah Saturi

Padahal, setidaknya ada dua alasan utama EPA mengenai CPO Indonesia. Pertama,  hasil penelitian memperlihatkan, emisi karbon energi terbarukan di Indonesia, salah satu dari sawit ternyata jauh lebih tinggi dari bahan fosil. Kedua, berangkat dari alasan pertama, dalam proses bahan bakar itu, terutama dari sawit dilakukan dengan merusak lingkungan, misal deforestasi, dan pembukaan lahan gambut. “Ini yang mereka anggap tidak berkelanjutan. Di Indonesia, isu ini dibelokkan. Analisis pemerintah bilang persaingan.”

Jefri menduga, lobi-lobi yang dilakukan pemerintah Indonesia, tampaknya bukan hanya untuk menjaga pasar CPO di Amerika Serikat (AS). Jika dilihat, ekspor CPO Indonesia ke AS tak terlalu besar, sekitar 6 juta ton atau lima persen.  Namun, investasi AS ke industri sawit Indonesialah, yang besar. Lembaga keuangan di AS banyak mendanai kebun sawit di Indonesia,  salah satu Word Bank. Jefri menyebut, Wilmar International, dan Cargill, sebagai dua raksasa sawit dari AS, menguasai ratusan ribu hektar lahan perkebunan sawit di nusantara ini. “Di jalur belakang, tampaknya itu alasan mengapa pemerintah Indonesia lobi AS.”

Sisi lain, EPA , sebagai lembaga AS yang fokus pada climate change ingin melihat perubahan signifikan  dari industri sawit di Indonesia. “Maka itu mereka datang ke Jakarta. Rencana ke Riau untuk field trip, ke Kalbar juga. LSM ikut serta termasuk Sawit Watch. Lalu, workshop antara LSM, ISPO, Gapki bahas masalah lingkungan di Jakarta.”

Peta:WWF

AS juga berkepentingan menjaga investasi sawit di Indonesia, begitu pula pemerintah. “Jadi mereka berupaya memperbaiki yang sudah ada. Cek dan ricek lagi. Jadi sama-sama perlu,” katanya.

Menurut dia, jika memang bisa dibuat survei berkelanjutan hingga sawit ramah lingkungan dan ramah sosial, tentu tak salah bergerak dalam bisnis ini. “Ya silakan aja.” Namun, yang menjadi soal, setelah sawit disebut sustainable, apakah sudah benar-benar dikelola secara berkelanjutan.

Meskipun dari komposisi tim yang akan bersama EPA cukup obyektif, tetapi Jefri tetap khawatir kepentingan bisnis bisa mengalahkan fakta di lapangan. “Saya khawatir, gara-gara bisnis, realitas tadi dilupakan. Pikiran saya, kalau itu sampai terjadi, masyarakat dan lingkungan kembali dirugikan.”

Jefri tak sepenuhnya yakin. Sebab, hampir terjadi di semua negara produsen sawit, masyarakat selalu menjadi korban.  Bisnis selalu menang. Untuk itu, dia akan melihat bagaimana hasil akhir dari kunjungan EPA ini.

Peta: WWF

Kekhawatiran juga muncul dari Walhi. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi khawatir analisis dari hasil kunjungan ke lapangan, tidak mempresentasikan produk sawit di Indonesia, secara keseluruhan. “Misal, mereka dibawa ke kebun bagus atau kebun tua. Bukan kebun baru dan di kawasan gambut.”

Untuk itu, EPA mesti mendengar dan melihat data dari masyarakat sipil. Sebab, sudah banyak pandangan dan temuan-temuan dari masyakarat sipil terkait persoalan-persoalan seputar sawit. Intinya, jangan sampai EPA membuat keputusan keliru. “Sebab, ketika diputuskan boleh (CPO sesuai standar) maka seluruhnya akan masuk.  Jika begini, RSPO bisa diciderai.”

Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), produksi CPO nasional 2010 sekitar 20, 8 juta ton, menjadi 23,5 juta ton pada 2011. Industri sawit menyumbang devisa sekitar US$19,7 miliar pada 2011.

Luas lahan sawit di Indonesia, pada 2011 mencapai 8, 908 juta hektar. Tahun ini angka sementara 9, 271 juta hektar, target renstra Kementan hanya 8, 557 juta hektar. Berarti, luas lahan sawit Indonesia telah meningkat dibanding 2011 dan melebihi target Kementan.

Sedangkan, volume ekspor sawit semester I 2012 mencapai 9,776 juta ton. Pada 2011, volume ekspor sawit mencapai 16, 436 juta ton. Nilai ekspor sawit semester I 2012 mencapai US$9.952 juta, 2011 sebesar US$17.261 juta.

Peta: WWF

Dikutip dari duniaindustri.com, data Kementan memperlihatkan, Sinarmas Group masih mendominasi produksi CPO 15.000 ton per hari dengan total luas lahan kebun sawit mencapai 320 ribu hektar pada 2010 dan 2011. Disusul Wilmar International Group memproduksi 7.500 ton per hari dengan lahan 210 ribu hektar.

Lalu, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV memproduksi 6.675 ton per hari, PT Astra Agro Lestari Tbk 6.000 ton per hari dengan luas lahan 192 ribu hektar.

Data Kementan juga menyebutkan, jika dilihat dari luas lahan kebun sawit yang dimiliki, Salim Group, induk usaha dari PT Salim Plantations, Indofood Group, dan IndoAgri menguasai lahan sawit terbesar di Indonesia sebesar 1.155.745 hektar. Disusul Sinarmas Group dan Wilmar. Namun, lahan dimiliki Salim Group belum ditanami seluruhnya, hanya 95.310 hektar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,