PERWAKILAN masyarakat Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng) datang ke Jakarta, untuk menagih janji. Mereka menuntut kepastian pengembalian lahan masyarakat setelah hampir 20 tahun dikuasai perusahaan sawit milik pebisnis papan atas di Indonesia, Sri Hartati Murdaya: PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP). Kini, sang big boss mendekam dalam tahanan KPK karena menjadi tersangka kasus suap izin perluasan kebun sawit di kabupaten yang sama.
Sudarmin Paliba, Direktur Eksekutif Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wanalestari, Buol, Sulteng mengatakan, sejak 1993 terjadi perampasan tanah-tanah rakyat, baik tanah adat maupuan kebun-kebun aktif menggunakan tangan militer.
“Lahir perlawanan-perlawanan. Awalnya masih individu,” katanya di Jakarta kepada Mongabay, Senin(15/10/12).
Menurut dia, kepemilikan lahan dari awal diperoleh dengan cara-cara curang, intimidasi dan kekerasan. Pada 1993, PT HIP banyak melanggar dan menggusur kebun produktif warga di Kecamatan Bokat dan Momunu—saat ini dimekarkan menjadi tiga kecamatan: Momunu, Tiloan dan Bukal.
“Kala itu, lahan warga direbut paksa, diturunkan alat berat dikawal ABRI. Ini untuk mematahkan perlawanan rakyat,” kata Sudarmin. Kebun produktif berisi kakao, kelapa, durian, padi, sagu, kopi, mangga, langsat dan lain-lain, dilibas terganti sawit.
Banyak warga menjadi korban kekerasan pada 1993. Kadir Jaapar, warga Desa Panimbul, Kecamatan Momunu, menjadi salah satu korban. Kayu balak untuk persiapan membuat rumah sebanyak lima meter kubik, papan dua meter kubik dan baloti 1,5 meter kubik disita perusahaan melalui oknum TNI. “Setelah itu, rumahnya dibakar dan lahan digusur.
Begitu pula yang menimpa Radoman Sanggul. Semua padi di sawah yang tengah menguning digusur perusahaan tanpa kesempatan dia memanen. Pondok Datu Kuntuamas, ditembaki. “Dia lari karena dengar ada tembakan. Rumah dan padi pun dibakar.”
Korban lain, Jaapar Said, berusaha melawan dan bertahan saat perusahaan akan menggusur kebun kopi, kakao, durian, nangka dan lain-lain. Hasilnya, dia ditangkap polisi dan dimasukkan tahanan selama tiga hari tanpa kejelasan tindakan pidana apa yang dilakukan.
“Masih banyak korban-korban lain. Devisi I dan II PT HIP adalah kebun masyarakat Desa Unone, Potangoan dan Mopu, habis digusur perusahaan dibekingi militer.”
Perlawanan warga terus terjadi. Pada 2000, masyarakat mulai mengorganisasi diri dalam Forum Petani Buol. “Ini menghasilkan kesepakatan, bahwa perusahaan akan mengembalikan tanah rakyat.”
Pada 24 Mei 2000, disepakati melalui surat perjanjian pembagian lahan yang ditandatangani perwakilan perusahaan dan petani serta dihadiri saksi-saksi termasuk Pemerintah Kabupaten Buol.
Dalam surat itu, menyebutkan, sesuai keinginan masyarakat Unone, yang tergabung dalam Forum Petani Buol, untuk lahan Devisi I dan devisi II, dibagi dua. Lalu, devisi III, untuk Kecamatan Momunu. Dari jembatan devisi I terus ke jembatan devisi II. Kemudian wilayah devisi II sampai devisi III, sebelah kanan Cakar Langit tidak boleh dikerjakan atau pengembalian hak kepada Forum Tani.
Setelah itu, beberapa kali ada pertemuan, terjadi kesepakatan, bersama antara warga dan perusahaan seperti 21 Juni 2000. Dalam kesepakatan yang disaksikan Bupati Buol, ketua dan anggota DPRD menyebutkan, warga Buol bersedia menjadi mitra dalam bentuk plasma 400 hektar, sebagai tahap pertama yang dimulai Juli 2000. Perusahaan, bersedia menerima warga sebagai petani plasma, diutamakan 191 orang yang diberi ganti rugi PT HIP. Disepakati pula, tahap selanjutnya program plasma diteruskan sampai 15 ribu hektar di areal disediakan pemda atau BPN. “Sayangnya, setelah 12 tahun menanti, tidak ada realisasi.”
Masyarakat pun terus menuntut hak dan didampingi LBH Sulteng. Pada 30 September 2012, masyarakat korban perampasan tanah kembali berkumpul dihadiri lebih dari 2000 orang. “Mereka meminta yang hadir untuk negosiasi ke Jakarta, sambil mencari lembaga yang pro rakyat.”
Bersama Sudarmin, ada Abdul Karim Mokodompit, Ketua Umum Lembaga Komunikasi Rakyat Kecil Kabupaten Buol Bersatu (LKRKBB), dan Abdullah Rahman sebagai Sekretaris Umum LKRKBB. Lalu, Abdullah Rahman selaku Penasehat Serikat Pekerja Perkebunan Sawit PT HIP, dan tiga petani Buol, Yahya Mokoapat, Abdul Kadir JB, serta Rahman Yunus.
Pada, 15 Oktober 2012, ribuan warga kembali turun dan memblokir jalan masuk ke kebun perusahaan. Warga akan bertahan sampai ada kejelasan pengembalian lahan yang sudah digarap perusahaan sejak lama.
“Jadi kami datang untuk memberitahukan dan menagih janji kepada perusahaan. Saatnya, masyarakat ambil tanah yang selama ini diingkari janji oleh perusahaan,” kata Abdullah Rahman, Penasehat Serikat Pekerja Perkebunan Sawit PT HIP. “Itulah alasan mengapa kami bertujuh ini ada di Jakarta,” ucap Sudarmin.
Di Jakarta, perwakilan petani sudah bertemu Komnas HAM meminta dukungan. Dalam pertemuan itu, Komnas HAM, berjanji investigasi ke lapangan. “Dalam waktu dekat akan panggil manajemen perusahaan. Upaya mediasi dan pengawasan.” Komas HAM juga mengirim surat kepada Polres Buol, agar tidak melakukan kekerasan kepada warga yang aksi.
“Setelah dari Komnas, kami lalu ke perusahaan. Hanya tidak ada direksi yang menemui dan akan pergi lagi,” kata Sudarmin.
Perusahaan ini, tak hanya merampas tanah warga, juga alih fungsi lahan di beberapa wilayah eks transmigrasi dan areal pengembangan lain (APL). Masyarakat eks transmigrasi Desa Panilan Jaya (SP I) dan Desa Jatimulya (SP II), Kecamatan Tilon, seluas 2.067, 12 hektar meminta perusahaan segera mengembalikan lahan. Begitupula eks transmigrasi Desa Kokobuka, Kecamatan Tiloan, seluas 734, 97 hektar. “Warga minta dikembalikan setelah dikuasai sejak 1995.”
Pada 1993, PT HIP, anak perusahaan Central Cipta Murdaya (VVM) mulai berinvestasi di Kecamatan Momunu, Bokat, Kabupaten Buol Toli-toli, Sulteng. Legalitas perusahaan perkebunan sawit ini keluar tahun 1995. Pada 1998, mereka memperoleh sertifikat hak guna usaha (HGU) lahan seluas 22.780 hektar.