, ,

Pencemaran Limbah Tekstil di Bandung Ditangani KLH

Penanganan limbah tekstil di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, kini memasuki babak baru. Sejak 2011, kasus  ini ditangani Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang mengkaji dan menghitung kerugian masyarakat dampak limbah. Kepala bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Daerah (BPLHD) Jawa Barat (Jabar), Suharsono mengatakan, studi lapangan, menghasilkan data valid terus dilakukan KLH. “Besaran kerugian nanti diakumulasikan agar perusahaan-perusahaan yang membuang limbah bisa mengganti. KLH akan menjadi fasilitator menemukan titik temu kesepakatan antara masyarakat Rancaekek dan perusahaan,” katanya di Bandung.

Jika setelah mediasi tak menemukan titik temu, sanksi lebih tegas bisa diberikan kepada perusahaan tekstil yang membuang limbah tanpa prosedur. Sanksi yang diberikan bisa bentuk pidana bahkan pencabutan izin usaha.“Proses kajian sedang berjalan. Paling lama dua tahun sudah selesai. Kita tunggu saja tahun 2013.”

Masalah limbah di kawasan Rancaekek, sudah sejak 1991 dan berlarut-larut. “Limbah industri di Rancaekek bukan permasalahan baru,” kata Suharsono. Dia menilai, masalah ini bak lingkaran setan. Setidaknya ada 35.000 orang menggantungkan hidup sebagai pekerja di perusahaan-perusahaan tekstil  ini. Ini menyebabkan penanganan lewat jalur hukum menjadi sangat sulit.

Dia mengatakan, hingga saat ini setidaknya 450 hektar sawah tercemar dan tidak bisa ditanami lagi. Kerusakan sudah sangat parah. Data BPLHD Jabar, sepanjang 1993 hingga 2008 tercatat 20 laporan resmi masuk. “Agustus 2002 ada kesepakatan antara masyarakat dengan PT. Kahatex, PT. Insan Sandang dan PT. Five Star dalam mengatasi limbah tekstil.”

Kesepakatan itu ditempuh dengan alternative dispute resolution (ADR) ber Nomor 660.3/631/I/2002 tanggal 6 Agustus 2002. Ia berisi beberapa hal untuk jangka pendek dan panjang.

Kesepakatan jangka pendek dengan mengoptimalisasikan IPAL sesuai teknis yang direkomendasikan BPLHD Jabar,  normalisasi Sungai Cikijing dan memberikan kompensasi bagi program ini. Adapun besaran kompensasi, PT. Kahatex Rp115, 500 juta, PT. Insan Sandang Internusa  Rp8 juta, dan PT. Five Star Rp7,5 juta.

Untuk jangka panjang, pembangunan IPAL terpadu, pengembangan program community development meliputi penyediaan air bersih, sarana medis dan pengalihan mata pencarian masyarakat  dari sawah ke usaha lain. Juga memfasilitasi dan pembinaan untuk pengembangan peluang dan potensi usaha masyarakat.

Pada 2003, ada upaya penanganan limbah industri, yakni pencanangan mulai feasibility study (studi kelayakan) IPAL Gabungan Industri di Rancaekek. Namun, hingga saat ini pembuatan IPAL gabungan tidak pernah terealisasi. “Karena membutuhkan dana sangat besar.”

Pada 2007, pengaduan masyarakat mengenai pencemaran sungai dan sawah di Rancaekek tinggi setidaknya ada 11 laporan. Pengaduan oleh masyarakat baik, individu, LSM, hingga surat dari DPR RI bahkan komnas HAM.

Isi surat beragam. Ada permohonan investigasi penyakit kulit dan pernafasan, keluhan mengenai dampak negatif boiler batubara PT. Kahatex sampai perihal kerusakan lingkungan pertanian dan eksploitasi air permukaan oleh industri.

Berbagai desakan segera menyelesaikan masalah limbah industri tekstil di Rancaekek menguat. Lahirlah,  tujuh tuntutan masyarakat Rancaekek pada 28 Februari 2008 di BPLHD Jabar, melalui Camat Rancaekek. Ketujuh tuntutan antara lain, pemulihan lahan terkena limbah hingga menjadi lahan produktif, pengawasan tegas dari instansi terkait, terhadap perusahaan, IPAL terpadu jauh dari pemukiman sampai   normalisasi Kali Cikijing, Cimande dan Cikeruh.

Lalu, pada 11 Juni 2008, desakan warga menghasilkan kesepakatan jangka pendek antara PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa, perwakilan masyarakat desa dan instansi terkait. Kesepakatan itu mengharuskan perusahaan optimalisasi sistem kinerja IPAL, pemberian bantuan pinjaman modal UKM dan rekrut tenaga kerja warga sekitar.

Kesepakatan itu ternyata tak menghentikan pencemaran. Maret 2009, PT Kahatex dan PT Insan Sandang Internusa kena sanksi administrasi. Mereka wajib optimalisasi IPAL,  evaluasi proses fisika, kimia,  dan biologi. Perusahaan juga harus mengevaluasi unit proses serta  pengolahan  menghilangkan Na dan Cl. Kedua perusahaan harus membuat kolam  penampungan  limbah akhir dan  memasang alat  monitoring. Lalu, mereka membuat kajian  pengubahan pembuangan dari Sungai Cikijing ke badan air yang lain.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,