, , ,

Tiga Saudara Mencengkeram Rimba Kubu Raya (bagian 1)

SPEEDBOAT berkekuatan 250 tenaga kuda itu melaju kencang. Spidometer menunjuk angka 37 knot saat moda transportasi air ini membelah Sungai Rasau, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Selasa(16/10/2012). Sejumlah petinggi PT Kandelia Alam ikut dalam perjalanan itu. Ada pula perwakilan Uni Eropa, WWF-Indonesia, dan sejumlah jurnalis.

Sekitar satu jam perjalanan, rombongan tiba di Camp Kandelia Alam. Laiknya peradaban baru di tengah rimba, begitu perusahaan ini unjuk eksistensi. Pendopo tempat makan dan bersantai para direksi terbuat dari bahan baku serba kayu berdiri kokoh di bantaran sungai. Deretan camp para pekerja dengan bangunan seadanya, tersebar di sejumlah tempat.

Kandelia Alam masuk dalam wilayah geografis Kecamatan Kubu, dengan izin areal konsesi 18.130 hektare. Ia mengontongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam melalui SK No 249/Menhut-II/2007 pada 24 Juni 2008. Masa kerja diplot selama 45 tahun. Kandelia Alam tidak sendiri, masih ada dua ‘saudara’ lain dari Kandelia Group, di kawasan ini. Ada PT Bina Ovivipari Semesta, dan PT Bina Silva Nusa.

Sortimen yang dihasilkan PT Kandelia Alam, kayu bulat kecil (KBK) didominasi bakau (Rhizophora spp). Ini bahan baku industri pembuatan chip kayu/pulp/paper. Perusahaan ini mulai beroperasi Februari 2009 didukung 250 pekerja. Rata-rata pekerja, baik tetap maupun kontrak, dari Jawa dan Sumatera.
Warga Desa Marah

Saat mengawali penebangan, perusahaan ini menyimpan sejarah kelam. Warga desa di sekitar konsesi marah, berujung pada pembakaran camp pekerja karena proses sosialisasi dinilai tidak transparan, hanya melibatkan orang-orang tertentu. Nelayan setempat pun merasakan popolasi ikan, kepiting, dan udang menyusut drastis pasca-perusahaan beroperasi.

Itu dirasakan Hamdan, warga Desa Teluk Nibung, Kecamatan Batu Ampar. Ayah dua anak ini terpaksa meninggalkan pekerjaan yang digeluti bertahun-tahun. “Tidak ada harapan lagi mencari udang dan kepiting. Modal kerja tidak seimbang dengan hasil yang diperoleh. Ini terjadi saat Bios dan Kandelia beroperasi,” katanya saat bertemu di Sungai Cabang Kertas.

Hamdan bersama adik iparnya, Murni, terpaksa banting haluan menjadi pedagang ikan. Bermodal motor air, saban hari dia membeli ikan laut di muara sungai dan membawa ke kampung. “Ini jauh lebih menjanjikan daripada mencari udang atau kepiting di sungai.”

Dia yakin, kelangkaan hasil tangkapan nelayan dipengaruhi limbah Kandelia Alam. Mangrove ditebang dan dipisahkan dari kulit. Kulit mangrove ini diyakini warga memicu perubahan warna air yang menjadi biru kegelapan. “Perubahan itu terlihat saat air sedang surut,” ujar dia.

Areal konsesi PT Kandalia Alam dan PT Bios

Keyakinan warga cukup beralasan. Meski kulit mangrove kategori pencemaran organik, jika dibiarkan terus menerus bisa menyebabkan sedimentasi sungai. Pun, membiarkan getah larut ke air dalam jumlah besar, dapat menyebabkan kematian pada hewan air, khusus yang tidak mampu beradaptasi.
Dari pelbagai kajian akademis, hutan mangrove merupakan kawasan pemijahan ikan (nursery ground). Jika hutan mangrove rusak, terputuslah salah satu siklus hidup ikan itu lantaran kehilangan lokasi pemijahan dan sumber nutrien.

Dampak dari penebangan mangrove juga berpengaruh pada hidupan liar di sekitar konsesi. Di sana ada pesut (Orcaella brevirostris), dan bekantan (Nasalis larvatus). Kedua satwa dilindungi itu sering dijumpai dalam areal konsesi.

Tidak hanya nelayan menjerit lantaran hasil tangkapan berkurang. Rudi, warga Desa Teluk Nibung menyebutkan, masyarakat tani di Desa Tanjung Harapan menerima dampak perusahaan. Pembangunan kanal-kanal penghubung sebagai sarana pengangkutan kayu memicu intrusi dan melumpuhkan lahan pertanian warga.
Berdasarkan data, lahan pertanian di Tanjung Harapan tak produktif lagi mencapai 500-an hektare. Air laut masuk ke daratan dan menembus lahan pertanian warga. Intrusi terjadi lantaran pembuatan kanal-kanal atau parit baru dengan menggunakan kendaraan berat (eskavator).

Nelayan Desa Teluk Nibung, banting setir dari nelayan menjadi pedagang karena hasil tangkapan susut. Foto: Andi Fachrizal

“Kami hidup sangat bergantung pada keseimbangan alam. Kalau hutan mangrove sudah rusak, rusaklah segalanya. Kami yang menerima dampak itu. Kami tak lagi bisa mencari uang untuk menafkahi anak istri. Ke mana lagi kami mengadu nasib? Kata Rudi.

Direktur Operasional PT Kandelia Alam, Gunawan Priyanto membantah tudingan. “Tidak betul kami mengubah bentang alam dengan membuat kanal-kanal untuk angkutan kayu. Kita hanya mengeruk parit yang sudah ada sebelumnya. Itu memang dibuat untuk sarana pengangkutan kayu dari hutan ke bantaran sungai.”
Penggalian kanal juga ada atas permintaan warga Desa Tanjung Harapan. Permintaan dipenuhi dengan harapan bisa mempermudah transportasi warga.

Mengenai hasil perikanan tangkap masyarakat turun di sungai-sungai sekitar konsesi, kata Gunawan, perlu dikaji lebih lanjut. “Harus ada kajian ilmiah apakah kondisi itu memang bersumber dari perusahaan atau tidak.”

Ketika mengunjungi areal tebangan berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2012 PT Kandelia Alam, masih ditemukan dua pesut bermain-main di Sungai Radak. Hasil survei menunjukkan satwa dilindungi lain seperti bekantan masih ada di areal konsesi.

Untuk itu, manajemen perusahaan dalam rencana tata ruang membagi empat zonasi dari total konsesi. Untuk kawasan lindung disiapkan seluas 2.832 hektare. Kawasan tidak produksi seluas 1.704 hektare. Non hutan efektif 2.284 hektare, dan areal efektif produksi 11.310 hektare. Pada RKT 2012 ini, PT Kandelia Alam mendapat izin tebang di areal 525 hektare. Izin dikeluarkan Kepala Dinas Kehutanan Kalbar, Cornelius Kimha pada 1 Februari 2012. Atas dasar itu, camp-camp pekerja dibangun di areal tebangan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,