Tingginya permintaan akan hewan peliharaan yang eksotis menyebabkan penangkapan dan perdagangan reptil dan amfibi di Papua terus berlangsung. Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang dilansir baru-baru ini jurnal Biodiversity and Conservation.
Antara bulan September 2010 dan April 2011, Daniel Natusch dan Jessica Lyons dari Universitas New South Wales Australia telah melakukan survey terhadap para pedagang reptil dan amfibi di propinsi Maluku, Papua Barat dan Papua.
Para penulis menemukan beberapa jenis spesies yang banyak diperdagangkan, diantaranya: ular piton hijau (Morelia viridis), ular piton boelen (Morelia boeleni), kadal leher berumbai (Clamydosaurus kingii), Kura-kura Papua/snapping turtle (Elseya brndenhorsti), kadal lidah biru (Tiliqua Scincoides), katak pohon hijau (Litoria caerulea), dan beberapa spesies dari biawak (Varanus sp.)
Menurut hasil kajian ini, sekitar 5.370 individu dari 52 spesies berhasil ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini ilegal. Sekitar setengah dari jumlah spesies yang ditemukan ini tercatat dalam CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna.
CITES, dimana Indonesia menjadi anggotanya di tahun 1979, mengatur perdagangan satwa liar di Indonesia. Dibawah peraturan CITES ini, beberapa spesies tertentu diatur penangkarannya; serta jumlah yang bisa diambil dari alam. Satwa yang masuk dalam daftar “dilindungi’ serta tidak memiliki keterangan kuota penangkaran, dilarang untuk diambil dari alam atau diperdagangkan.
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) bertanggung jawab untuk memonitor dan menegakkan aturan yang ada di dalam CITES ini. Dalam penelitian ini, kedua ahli melihat adanya kelemahan dalam penegakan hukum aturan CITES ini di Indonesia.
“Perdagangan ilegal yerjadi akibat tidak adanya pemahaman yang benar tentang spesies yang diperdagangkan dan ditambah dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” ungkap para penulis dalam laporan ini.
Dalam laporan tahun 2011 yang juga dibuat oleh Lyons dan Natusch, yang memfokuskan pada perdagangan ular piton hijau, juga menemukan hal yang serupa. Laporan ini dimasukkan oleh pemerintah Indonesia dalam CITES Asian Snake Trade Workshopdi tahun 2011, yang mengklaim tidak ada perdagangan ular secara ilegal di Indonesia.
Antara bulan April 2009 dan September 2011, para peneliti melakukan survey kepada para pedagang yang mendistribusikan ular piton hijau ke pasar. Perdagangan ular piton hijau ini sah jika individu yang diperdagangkan ini dibesarkan dari hasil penangkaran dan bukan menangkapnya di alam liar. Namun para pedagang memanfaatkan celah dari sistem yang tidak bekerja dengan sempurna. Kolektor lokal menangkap ular ini dari alam liar, dan menjualnya ke tempat penangkaran, dan membuatnya lulus uji sebagai ular yang dibesarkan di penangkaran.
“Dari hasil temuan kami diperkirakan sekitar 5.337 ular piton hijau dikoleksi setiap tahun, sekitar 80% ular ekspor dari Indonesia diperkirakan adalah hasil penangkapan di alam liar,” demikian papar para ahli dalam laporan yang dibuat setahun sebelumnya.
Para ahli menyarankan berbagai metode untuk menekan penjualan ular secara ilegal ini, salah satunya adalah dengan menjualnya dengan cangkang telur mereka, sehingga bisa dilakukan verifikasi. Namun demikian, metode ini belum diimplementasikan.
Para ahli juga menyarankan pentingnya meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, serta meningkatkan pengetahuan tentang berbagai jenis satwa yang bisa diperdagangkan dan tidak, serta mendidik konsumen tentang dampak tingginya permintaan spesies-spesies ini untuk dijadikan peliharaan.
CITATION: Lyons, J.A., Natusch, D.J.D. Wildlife laundering through breeding farms: Illegal harvest, population declines and a means of regulating the trade of green pythons (Morelia viridis) from Indonesia. Biological Conservation. (2011), doi:10.1016/j.biocon.2011.10.002
Natusch, D. J. D., and Lyons, J.A. Exploited for pets: the harvest and trade of amphibians and reptiles from Indonesian New Guinea. Biodiversity and Conservation. (2012)