, ,

Tete Musa, Pahlawan Penyu dari Inggrisau (Bagian 2)

PANTAI Inggrisau begitu sepi. Ia diapit dua sungai: Kasuari, sisi timur dan Sungai Temi, di bagian barat. Pantai sepanjang 3,8 kilometer dengan lebar sekitar 40 meter ini landai berpasir hitam. Pantai ini berbatasan dengan hutan Cagar Alam Yapen Tengah. Pantai ini tanah adat milik Suku Wabo, berada di sisi utara Pulau Yapen, menghadap Selat Seireri– yang memisahkan Pulau Yapen dan Pulau Biak. Kedua pulau berada di Teluk Cendrawasih. Secara administrasi ia berada di Desa Aisau, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen Waropen, Papua.

Pantai ini tempat perteluran penyu di Yapen. Penyu datang tak pernah putus waktu. Saat musim bertelur, penyu datang sejak sore sampai matahari terbit esok hari. Musa pernah menemukan dalam satu malam ada tujuh penyu naik bertelur bersamaan.

Dari enam jenis penyu di Indonesia,  empat bertelur ke Inggrisau. Ada penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu lekang (Lepidochelys coriacea). Mereka sebagian besar dari Lautan Pasifik.

Di dunia penyu ada tujuh jenis. Oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) penyu belimbing dan penyu sisik diklasifikasikan sangat terancam punah, sedang penyu hijau dan lekang berstatus terancam punah.

Musa mulai menangkarkan telur penyu tahun 1976, kali pertama menetap di Inggrisau bersama beberapa keluarga Suku Wabo. Dia memutuskan berhenti sebagai pegawai rumah sakit di Kota Seriu. “Saya pikir saya raja tanah, jadi saya pulang ke Inggrisau.” Namun, beberapa tahun kemudian dia pindah ke Jayapura bekerja sebentar di kebun sawit sebagai mandor.

Tahun 1995, ada tsunami menyapu habis rumah-rumah keluarga Suku Wabo di Inggrisau.   Mereka pindah ke Korambotai,  desa Suku Wabo lain di selatan Pulau Yapen. Tsunami merusak ekosistem pantai Inggrisau hingga penyu mulai berkurang. Tahun 2002, Musa memutuskan pulang ke Inggrisau. Hanya ada dia dan istri yang tinggal disana ditemani anjing-anjing peliharaan mereka. Tak ada fasilitas apapun termasuk listrik. Pantai itu benar-benar sepi. Jauh dari hiruk pikuk manusia.

Hasil tangkapan ikan Musa, untuk hidup sehari-hari. Foto: Saireri Paradise Foundation

Untuk kebutuhan hidup, Musa memancingkan dan menanam sayur di kebun. Desa terdekat berjarak 15 kilometer, di seberang Sungai Kasuwari. Mereka suku berbeda. Jika memerlukan bahan pangan dan lain-lain, Musa memilih mendatangi sukunya. Berjalan kaki berjam-jam menuju Desa Korambotai. Dia melewati hutan dan gunung Kerami.

Musa menjaga pantai dengan ketat. Dia tahu jika ada orang masuk, karena anjing peliharaannya akan menggonggong.  Orang masuk ke Inggrisau ada yang melintas, tapi tak jarang mengambil telur penyu. Penyu tidak saja terancam karena telur diambil, juga dibunuh untuk dimakan. Musa sering memberi penyuluhan kepada orang-orang di sekitar Inggrisau agar melindungi penyu. Dia resah karena jumlah penyu ke Inggrisau makin berkurang setiap tahun. Dia pernah melaporkan pelaku ke polisi, hingga saat ini orang itu masih dipenjara. Musa bahkan marah sekali pada Akiar, anjing jantan peliharaannya yang ketahuan memakan tukik-tukik yang baru menetas.

Dia bekerja sukarela tanpa berharap mendapatkan bantuan dari siapapun. Sampai akhirnya ada LSM tertarik mendampingi menangkarkan penyu ini. Sejak enam bulan lalu, Saireri Paradise Foundation (SPF), sebuah LSM lingkungan, mulai mendampingi Musa menangkarkan telur penyu.

Staf SPF Suratman Baharuddin, kagum dengan Musa, yang seorang diri menyelamatkan penyu di Inggrisau. “Waktu pertama datang, saya tak habis pikir ada yang tinggal di pantai sepi itu. Tidak ada akses jalan, listrik, apalagi sinyal handphone. Saya dan dua teman sampai kena malaria tropica stadium empat. Musa dan istri sehat dan bisa bertahan hidup,” katanya.

Suratman, alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Dia mengajari beberapa hal baru kepada Musa. Terpenting membuat catatan harian untuk penyu. Selama ini, Musa tidak pernah menulis data apapun tentang penyu di Inggrisau. Sekarang, dia mencatat semua proses penangkaran telur penyu, mulai tanggal, jenis, jumlah, waktu penetasan, jumlah tukik, ukuran hingga kapan waktu mereka dilepaskan ke laut. Musa juga mulai mendapat senter untuk penerang saat memindahkan telur penyu.

Dari tim SPF, Musa mengetahui, lubang sarang tidak boleh ditutup bagian atas dengan keranjang, tapi harus posisi terbuka agar sinar matahari menghangatkan telur. Pagar penangkaran sudah diganti dengan kayu agar lebih aman.

Tete Musa, bersama istri dan anak cucu sambil melihat tukik. Foto: Saireri Paradise Foundation

Musa mulai dikenal orang luar Inggrisau. Bahkan pada Oktober lalu, tak tanggung-tanggung datang dua meteri sekaligus: Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Soetarjo dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu ke tempat Musa. Mereka datang saat perayaan Sei Morotai di Biak dan di Inggrisau selama dua jam untuk seremonial pelepasan tukik.

Dia juga diundang ke Konferensi Nasional Pengelolaan Sumber Daya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Mataram, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pertama kali dalam hidup Musa naik pesawat dan melihat daerah lain selain Papua. Di acara ini Musa menerima penghargaan dari pemerintah berupa plakat dari kaca bergambar penyu berwarna emas berkat dedikasi dan komitmen penyelamatan penyu di Inggrisau.

Di Lombok, dia ingin segera pulang ke Inggrisau karena penyu-penyu sudah ramai bertelur. Selama dua hari dia pergi, sudah empat penyu bertelur. Sementara, di sana ada staf SPF menggantikan Musa.

Dia memiliki enam anak yang sudah berkeluarga.  Musa berharap, salah satu anaknya melanjutkan tradisi keluarga, menjadi penyelamat penyu di Inggrisau. Bagi Musa, tak ada hal paling membahagiakan selain saat melepas tukik ke pasir. Melihat mereka tertatih-tatih menuju laut lepas. Musapun mengantar tukik-tukik itu dengan dengan doa. “Ura, urasosorare, unaura uda kasoo romarei wencu (pergi, pergi ke laut, tinggal di laut lepas sampai kawin dulu, baru ke darat).” Musa yakin, penyu-penyu itu kala dewasa akan kembali ke Inggrisau, untuk pulang dan bertelur di tempat mereka dilahirkan. Habis

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,