“he he he oke deh siap oom, aku di sk62 selalu”
Itulah sms dari Hapsoro yang saya terima pada pukul 13.54 pada hari Selasa 23 Oktober 2012. Siang itu kami berjanji untuk bertemu di kantor almarhum, Forest Watch Indonesia (FWI) di jalan Sempur Kaler (SK) 62 Bogor, pada pukul 15.00. Saya tidak menyangka itulah sms terakhir yang saya terima darinya, ketika pada akhirnya ternyata ia harus menghadap sang Ilahi pada sore hari pukul 15.45 di Selasa sore yang cerah itu.
Tidak akan saya jumpai lagi sesosok berbadan gempal, tegap, gondrong dan bersahaja yang mengenderai sepeda onthel di jalan-jalan kota Bogor. Tidak akan ada lagi sms darinya setiap hari Jumat yang mengajak kawan-kawan untuk “memulung sampah” di sungai Ciliwung, -dan tentunya,- rekan-rekan kampanye hutan akan sangat merindukan Hapsoro, pribadi yang secara konsisten dalam 15 tahun ini berada di garis depan untuk melindungi hutan-hutan yang masih tersisa di Indonesia.
Hapsoro berusaha untuk menguak praktek dan kecurangan eksploitasi hutan oleh para cukong melalui cara yang khas. Ia tidak segan untuk turun ke lapangan mencari bukti dan data tentang adanya illegal logging, dan melaporkannya kepada yang berwajib. Dari Sumatera, Kalimantan hingga Papua, dari hutan rawa, pegunungan hingga hutan dipterocarpaceae dijelajahi, termasuk menerobos lokasi-lokasi HPH yang dicurigai melakukan praktek pencurian kayu.
Demikian pula di dunia internasional, ia mengampanyekan penghentian pembelian kayu-kayu ilegal yang tidak jelas sumber asal-usulnya dari Indonesia.
Hapsoro adalah sesosok pribadi unik dengan banyak kenangan, sejak saya pertamakali mengenalnya di pecinta alam Lawalata IPB di awal tahun 1990-an. Ia adalah pribadi yang sederhana, keras dalam kemauan dan selalu lurus dalam kata dan perbuatan. Lulusan Fakultas Kehutanan IPB ini, memilih untuk tidak bekerja sebagai PNS di Kementerian Kehutanan maupun bekerja di HPH (seperti yang menjadi trend lulusan Fahutan di dekade tersebut), tetapi bersama-sama beberapa rekan membentuk Yayasan Telapak Indonesia pada tahun 1997.
Sebagai juru kampanye hutan (pekerjaan yang ia lanjutkan di Greenpeace), Hapsoro melibatkan diri untuk membongkar praktek kejahatan hutan di Tanjung Puting (Kalteng), penyelundupan kayu dari Indonesia ke Semenanjung Malaysia dan Sarawak hingga praktek penyelundupan kayu merbau di Papua. Demikian pula melobi kepada berbagai pihak, termasuk Kemenhut dan para buyer di luar negeri agar memperhatikan kondisi hutan di Indonesia.
Pada akhir hayatnya Hapsoro menjabat sebagai Direktur FWI yang fokus dalam menyediakan peta dan pemerian informasi kawasan kehutanan.
Meskipun telah ‘melambung’ ke dunia internasional lewat kampanyenya, di sisi lain kepribadiannya, di hati kecilnya, Hapsoro masih merasa sebagai wong ndeso, katrok dan orang yang gagap dengan modernitas. Blog pribadinya di http://zumux.blogdrive.com/ secara tepat menjelaskan hal tersebut.
Kepribadian yang membumi ini yang membuat ia selalu terobsesi untuk berbuat sesuatu untuk tempat tinggalnya sekarang di Bogor.
Sejak tahun 2009, Hapsoro memulai kepedulian terhadap sungai melalui Komunitas Peduli Ciliwung (KPC-Bogor) yang setiap hari Sabtu mengangkut berkarung-karung sampah sungai Ciliwung dan memberikannya kepada Dinas Kebersihan Bogor, “biar Pemda malu”, katanya, dan Hapsoro benar ketika Pemda kota Bogor mulai memasukkan agenda menjaga kebersihan kali Ciliwung sebagai kegiatan rutin tahunan Pemda sejak tahun 2011.
Dengan kepeloporannya, dengan tidak segan, ia selalu masuk ke air sungai yang kotor dan bau, berbekal celana pendek dan kaos oblong favoritnya, ia menarik-narik sampah plastik yang terperangkap di bebatuan dan batang kayu yang ada di sungai Ciliwung.
Tidak saja mengumpulkan sampah, kegiatan KPC pun berkembang dengan menanami bantaran sungai dengan tanaman keras seperti nyamplung dan tanaman keras lain yang bibitnya dapat “memulung” dari jatuhan bibit di lokasi IPB maupun di hutan Darmaga-CIFOR. Satu kejadian lucu, ketika ia pernah kena disemprot oleh petugas karena disangka mencuri bibit nyamplung dari lokasi kebun bibit.
Saat ini ada satu obsesinya yang belum sepenuhnya selesai, yaitu menangkarkan jenis-jenis ikan asli sungai Ciliwung agar spesies itu tidak punah. Itu pula yang ia lakukan di hari terakhir hidupnya, yaitu sibuk menyangkul di halaman belakang kantor FWI untuk menyiapkan rencana kolam ikan yang diidam-idamkannya.
Dalam usia 41 tahun, Hapsoro berpulang. Diakhir hayatnya, Hapsoro meninggalkan seorang istri, Yuniken Mayangsari, dan tiga orang anak.