JARINGAN Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menegaskan perlu pengecekan di Uni Eropa (UE) terhadap produk kayu yang diimpor dari Indonesia, guna memastikan kejelasan asal usul pemanenan dan legalitas terjamin.
Pernyataan JPIK ini disampaikan berkenaan pelaksanaan shipment test yang melibatkan 17 perusahaan di empat pelabuhan besar yaitu Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), Pelabuhan Tanjung Emas (Semarang), Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan Pelabuhan Belawan (Medan).
Kegiatan ini pada 15 Oktober 2012 sampai akhir November 2012 ke sembilan negara anggota UE. Kegiatan ini bagian dalam perundingan Indonesia-UE terkait FLEGT VPA, suatu kerja sama dalam penegakan hukum dan tata kepemerintahan di bidang kehutanan, dan perdagangannya.
Abu Meridian, Dinamisator Nasional JPIK mengatakan, Uni Eropa, selaku negara konsumen harus serius memastikan produk kayu dari Indonesia benar dipastikan dari sumber legal. “Ini sebagai bentuk aksi dan komitmen tanggung jawab negara konsumen,” katanya dalam rilis kepada media, Kamis(25/10/12).
Selain itu, dalam regulasi Uni Eropa untuk perdagangan kayu (EU Timber Regulation) juga harus memberikan ketegasan terkait status produk yang telah terjamin legalitasnya berkenaan kesepakatan kerja sama VPA.
Tanpa ada ketegasan dari Pemerintah Indonesia maupun Uni Eropa, komitmen mendorong penguatan tata kelola kehutanan termasuk perdagangan produk kayu yang dihasilkan, hanya kebijakan ompong.
Hapsoro, Direktur Forest Watch Indonesia (FWI), sebelum meninggal dunia mengatakan, Tanjung Perak, Tanjung Emas dan Tanjung Priok adalah pelabuhan yang memiliki catatan buruk terkait bisnis hitam penyelundupan kayu non-finishing ke luar negeri. Dengan modus kayu dimasukkan ke kontainer dengan memalsukan informasi dalam dokumen ekspor barang (PEB). Kayu yang masuk dalam kontainer berupa kayu gergajian dan gelondongan. Kayu dan produk kayu ini, katanya, tidak boleh diekspor berdasarkan aturan Indonesia.
“Ini menjadi tantangan bagi Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang nanti bertugas mengeluarkan Dokumen V-Legal bagi produk kayu hasil produksi industri kehutanan,” ujar dia.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk memastikan kayu dan produk kayu bisa diverifikasi. Ini untuk menjamin produk kayu hanya dari sumber legal ataupun sumber lestari. SVLK dikembangkan sejak 2003 melalui proses multi-pihak. SVLK berlaku wajib untuk semua produk kayu dan kayu dari hutan alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat ataupun kemasyarakatan.
“Seluruh pelaku usaha bidang kehutanan harus memenuhi kewajiban mengimplementasikan SVLK. Ini telah diatur dalam regulasi Menteri Kehutanan P38/2009 juncto P68/2011, termasuk sesuai tenggat waktu,” ucap Abu. Pemerintah, harus memastikan dan mengambil langkah tegas jika pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban ini.