BILA investor selalu menjadi ‘anak emas’ pemerintah, suara rakyat pun kerab terabaikan. Kekesalan warga yang memuncak, tak jarang berakhir amuk massa. Contoh nyata terjadi di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara (Sumut). Pada Selasa(30/10/12), aksi warga berakhir rusuh. Warga sejak awal menolak pemasangan pipa limbang tambang emas PT Agincourt Resources di Sungai Batangtoru. Warga khawatir pipa akan mencemari sungai yang menjadi tumpuan sumber air sekitar 25 desa di tiga kecamatan
Hampir semua warga memanfaatkan aliran Sungai Batangtoru, untuk berbagai keperluan rumah tangga dan pengairan pertanian. Penolakan warga wajar dan realistis. Sayangnya, teriakan kekhawatiran rakyat bak angin lalu.
Warga kesal. Pada Juni 2012, terjadi amuk massa. Kendaraan milik PT. Agincourt Resources perusahaan tambang emas, dibakar saat memasang pipa pembuangan limbah. Alih-alih mendengarkan suara warga. Pemerintah Kabupaten Tapsel dan perusahaan ternyata hanya menghentikan sementara aktivitas pemasangan pipa.
Kali ini, perusahaan justru dikawal ratusan aparat Kepolisian dan TNI, dengan memaksakan kehendak melanjutkan pemasangan pipa. Amuk warga terulang. Aksi warga pada Senin (29/10/12), diantisipasi aparat. Demo hari kedua, Selasa(30/10/12), terjadi amuk massa, setidaknya satu mobil di bakar dan empat mobil dirusak.
“Mobilisasi kekuatan aparat sehari sebelum kerusuhan di kantor Camat Batangtoru, tidak hanya bentuk pemaksaan dan arogansi juga bukti negara pemicu kerusuhan,” kata Hendrik Siregar Pengkampanye Emas Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam pernyataan kepada media di Jakarta, Rabu(31/10/12).
Dia mengatakan, kekhawatiran warga sangat beralasan. Sebab, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) seharusnya menjadi acuan rencana proyek tambang Martabe, diduga tidak memenuhi unsur keabsahan. Salah satu, tidak ada keterlibatan warga dalam penilaian amdal. “Misal, dalam dokumen daftar hadir rapat komisi Amdal 27 Juli 2012, tidak ada satu pun perwakilan warga,” ujar dia.
Bukan itu saja. Kepolisian Daerah Sumut, memanggil sekitar empat orang termasuk Ketua Komisi Penilai Amdal Kabupaten Tapsel untuk diperiksa terkait dengan Amdal perusahaan ini. Kejanggalan ini, mengindikasikan proyek tambang Martabe ini sarat manipulatif. “Sangat mungkin limbah tambang yang dibuang tidak hanya air hasil olahan. Ini menjadi salah satu kekhawatiran warga menolak pemasangan pipa.”
Hendrik menilai, pejabat pusat dan daerah, khusus kasus Batangtoru sangat tidak sensitif. “Kemarahan warga, jauh sebelumnya mesti sudah menjadi pelajaran berharga agar tidak diulang. Dengan membiarkan perusahaan melanjutkan rencana dikawal kekuatan aparat negara, secara tidak langsung memfasilitasi proses kemarahan warga.”
Untuk itu, Jatam menuntut rencana pemasangan pipa dihentikan dan operasi tambang PT. Agincourt Resources ditinjau ulang . “Hingga tidak menimbulkan kerugian material dan nyawa di kemudian hari.” Jatam juga mendesak, pemeriksaaan sekitar 24 orang di Polres Tapsel, agar mempertimbangkan dasar penolakan warga karena hak mereka tidak diindahkan.